Kini, dengan Taliban kembali mengendalikan negara, evolusi akan lebih ditentukan faktor internal daripada faktor asing: nasionalisme tulen Afghanistan berwajah Taliban.
Oleh
Jean Couteau
·4 menit baca
Lima puluh tahun yang lalu, saya pernah berkelana di Afghanistan selama lebih dari satu bulan. Sambil mencari diri, di ujung masa bersekolah, saya telah berkeputusan ”melihat-lihat” keanekaan dunia dan, dari bus ke bus, saya sampai ke negeri segala impian itu, Afghanistan. Negeri di mana memori Buddha berdampingan dengan memori suku-suku yang menaklukkan India sambil mencoba mengislamkannya.
Ketika di Kabul, kami, para travellers muda Eropa, menginap di kuil milik orang Sikh, orang India bersorban itu. Tempatnya terbuka dan karena itu menjadi juga tempat pertemuan kami dengan pemuda-pemuda Afghanistan modern yang berminat mempelajari kebudayaan Eropa.
Apa yang kerap didiskusikan? Politik. Apalagi kala itu amat banyak pemuda kaum elite adalah siswa lycée Perancis Kabul dan bisa berbahasa Perancis. Luar biasa, kan? Berada di negeri dongeng dan mampu berbicara tentang politik seperti di negeri sendiri!
Saya diundang ke rumah salah seorang rekan berdebat. Baru masuk rumahnya, yang megah itu, sosok-sosok gelap terlihat bergegas menghilang melalui pintu belakang: para wanita berburkak. Tak boleh hadir di hadapan pria. Tradisi, katanya. Namun, lain halnya soal politik. Di situ bebas! Tradisi dikutuk. Tak jauh beda dengan Latin Quarter di Paris: liberté, révolution, land-reform, emansipasi wanita. Ya! Biarpun tak ada wanita cantik mengacungkan bendera liberté; biarpun suara azan terdengar bergema-gema, ”impian revolusioner Perancis” ternyata hidup juga di negeri dongeng ini, pikirku waktu itu! Hore!
Saya lalu pulang ke Paris dan lupa semua, lama, hingga tiba-tiba terdengar berita: ada Revolusi di Afghanistan (1978). Setelah Kuba dan Vietnam. Hore! Hore! Pikir mahasiswa-mahasiswa Paris pemimpi revolusi. Tanah akan dibagi melalui land-reform dan kaum wanita dibebaskan dari burkak dan lelaki berpoligami. Akan tetapi, siapa yang menguasai tanah dan siapa beristri empat: para pemuka agama; siapa menyuarakan suara kebenaran tradisi religius? Para pemuka agama pula. Maka, pemberontakan mendidih.
Lah, belum lama, sang pemimpin revolusi, Taraki, dibunuh (1979)! Dibunuh oleh siapa? Temannya sendiri, Hafizullah Amin! Atas nama apa? Revolusi. Dari utaranya tampillah ”saudara seperjuangannya”: tentara Soviet, karena ”persaudaraan sosialis” harus global, dibantu bom kalau perlu. Gusarlah para pemuka agama, menjadi mujahidin, kecuali yang berkompromi dengan Soviet.
Lalu, muncullah Uncle Sam, yang cukup dermawan untuk memberikan senjata stinger-nya kepada mujahidin dan warlord guna merobohkan helikopter Soviet. Akhirnya, setelah tujuh tahun berperang, pergilah Soviet dan tibalah momen kekuasaan para warlord-mujahidin yang menghabisi sisa rezim komunis sebelum saling berperang demi menguasai Kabul.
Apakah mengherankan apabila Taliban muncul waktu itu? Berhadapan dengan warlord kasar dan elite tradisional belian asing? Apa respons anak-anak daerah? Apakah merangkul ”demokrasi” janji Amerika. Tidak. Ia telah menciptakan warlord. Secara mekanis, solusi dicari di dalam agama, di dalam tafsir keras yang membenarkan perlawanan, baik terhadap ideologi asing (komunisme ataupun ’demokrasi’, yang sama-sama dianggap ”kafir”) maupun terhadap kebusukan elite tradisional. Jadi, Taliban bak Frankenstein: terlahir dari kekasaran asing yang ”bermaksud baik”, tetapi bermuara busuk, yang terbawakan napas ideologis budaya Eropa.
Tak mengherankan jika dari eksesnya muncul Bin Laden dengan maha-terornya di New York (2001). Tak mengherankan pula Amerika dan NATO membalas menduduki Afghanistan dan mendirikan rezim berpernik cantik: LSM menjamur, wanita ”dibebaskan dari kegelapan”, civil society mulai berbenih. Namun, hal-hal ini tak mengubah kenyataan: kebebasan-kebebasan ”demokratis” itu tumbuh di bayangan kokangan senjata asing. Tidak berakar di masyarakat.
Kini, dengan Taliban kembali mengendalikan negara, evolusi akan lebih ditentukan faktor internal daripada faktor asing: nasionalisme tulen Afghanistan berwajah Taliban. Nasib Afghanistan ini memunculkan pertanyaan-pertanyaan makro: ngapain mahasiswa Eropa-Amerika memimpikan revolusi dan orang tua mimpi demokrasi, ngapain Rusia-Soviet lama memperjuangkan sosialisme? Adakah sisa-sisa universalisme Nasrani pada ideal-ideal luhur bermuara buruk yang membayangi ekspansi budaya Eropa itu.
Apakah budaya politik Islam lebih baik? Belum tentu. Setelah ekspansi Islam-Ottoman dipatahkan di depan Wina di Austria (1683), luapan energi Islam digali pada tafsir-tafsir yang kian membenarkan perlawanan, dari Wahabisme abad ke-18 sampai gerakan Islamis abad ke-20. Maka, saya berani bertanya: adakah kutukan historis yang melekat pada universalisme para turunan Ibrahim, yang menjadikan agama dan tradisinya lebih politik daripada spiritual. Dan, terakhir: apakah China, pada saatnya, akan terbawa pula pada universalisme yang salah kaprah itu.