Penerapan Mata Uang Digital Bank Sentral Perlu Kajian Mendalam
Penggunaan mata uang digital bank sentral atau ”central bank digital currency” berpotensi mengubah lanskap industri perbankan hingga kebijakan moneter.
Oleh
Benediktus Krisna Yogatama
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penggunaan mata uang digital bank sentral atau central bank digital currency berpotensi mengubah lanskap industri perbankan hingga kebijakan moneter. Jika salah desain dan konsep, CBDC bisa mengganggu industri perbankan dan perekonomian nasional.
Direktur Center for Information and Development Studies (CIDES) Umar Juoro mengatakan, perlu kajian mendalam dan kehati-hatian untuk menerapkan central bank digital currency (CBDC).
”CBDC ini akan merevolusi lanskap industri perbankan bahkan kebijakan. Jangan sampai ini mengganggu keberadaan industri perbankan dan perekonomian nasional,” ujar Umar pada webinar bertajuk ”Mewujudkan Bank Sentral Digital untuk Perekonomian Nasional”, Rabu (25/8/2021).
Ia menjelaskan, CBDC bisa mengganggu fungsi bank karena punya karakteristik yang berbeda dengan uang fisik yang beredar selama ini. Tak hanya itu, merilis CBDC juga berarti menambah jumlah uang yang beredar, hanya saja bentuknya tak lagi fisik. Hal ini bisa mengganggu kebijakan moneter apabila dipersiapkan kurang matang.
Direktur Eksekutif Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia (BI) Erwin Haryono sepakat dengan Umar bahwa CBDC harus didesain dengan tepat dan penuh kehati-hatian. Ia menjelaskan, meskipun secara teknologi penggunaan CBDC sudah dimungkinkan, faktanya belum banyak negara yang merilis CBDC.
”Kenapa? Karena mereka khawatir dampaknya. Kalau salah desain, itu bisa merusak bisnis industri perbankan. Misalkan BI mengeluarkan digital rupiah. Lalu orang beralih ke sana, lantas siapa yang butuh bank?” ujar Erwin.
Mengenai antisipasi perkembangan teknologi, BI saat ini fokus mendorong digitalisasi dan penguatan sistem pembayaran.
Erwin menjelaskan, ada lima inisiatif yang dilakukan BI untuk mendorong sistem pembayaran. Pertama, melakukan standardisasi sistem pembayaran seperti diatur dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 23/2021 tentang Standar Nasional Sistem Pembayaran. Dengan adanya standardisasi ini, lanjut Erwin, masyarakat bisa melakukan transaksi pembayaran tidak terbatas pada platform bank, tekfin, atau entitas e-dagang tertentu.
Kedua, mempercepat penguatan infrastruktur pembayaran digital. Erwin menjelaskan, ke depan, pihaknya berharap metode QRIS (Quick Response Indonesian Standard) tak hanya memiliki fungsi pembayaran, tetapi juga berisi data historis transaksi.
”Jadi akan tampak historis transaksi yang bisa digunakan untuk credit scoring sehingga mempermudah mereka mengajukan kredit di lembaga keuangan. Ini revolusi sistem pembayaran,” ujar Erwin.
Ketiga adalah penguatan infrastruktur pasar. Keempat, penguatan dan pemanfaatan data. Kelima adalah menyiapkan dasar hukum.