Atasi Tekanan Fiskal, BI Kembali Tanggung Bunga SBN
Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan melanjutkan koordinasi kebijakan dan kerja sama dengan mengeluarkan surat keputusan bersama yang ketiga. Kedua lembaga ini berbagi beban untuk memulihkan ekonomi nasional.
Oleh
Benediktus Krisna Yogatama
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Koordinasi menjaga fiskal dan moneter antara Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia berlanjut dengan dibuat surat keputusan bersama yang ketiga di antara kedua lembaga. Ini merupakan upaya memaksimalkan fungsi kedua lembaga negara untuk mendukung kebijakan fiskal yang berada di bawah kewenangan Kementerian Keuangan dan moneter yang berada di bawah kewenangan BI di tengah tekanan ekonomi yang dipicu pandemi Covid-19.
Pada Senin (23/8/2021), kedua lembaga ini merilis surat keputusan bersama (SKB) ketiga yang ditandatangani Menteri Keuangan dan Gubernur BI. SKB tersebut berisikan Skema dan Mekanisme Koordinasi antara Pemerintah dan BI dalam Rangka Pembiayaan Penanganan Dampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) melalui Pembelian di Pasar Perdana oleh BI atas SUN dan/atau Surat Berharga Syariah Negara yang Diterbitkan Pemerintah.
Melalui SKB ini, BI akan membeli Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 439 triliun sampai 2022. Adapun rincian pembelian SBN itu terbagi menjadi dua, yakni sebesar Rp 215 triliun untuk APBN 2021 dan Rp 224 triliun untuk APBN 2022.
”Ini merupakan bentuk koordinasi antara pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan, dan Bank Indonesia untuk ikut dalam pembiayaan anggaran penanganan Covid-19 dengan terjun ke pasar membeli SBN. Berbagi beban atau burden sharing,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada konferensi pers virtual, Selasa (24/8/2021).
Sri Mulyani menjelaskan, pembelian SBN terbagi dalam dua kluster, yakni kluster A dan kluster B. Kluster A adalah pendanaan penanganan kesehatan yang meliputi program vaksinasi dan penanganan kesehatan terkait pandemi Covid-19 lainnya. Sementara kluster B adalah penanganan kesehatan terkait pandemi Covid-19 selain kluster A dan penanganan kemanusiaan dalam bentuk pendanaan program perlindungan masyarakat/usaha kecil terdampak.
Pembelian SBN kluster A akan menggunakan Tingkat Suku Bunga Reverse Repo BI Tenor 3 Bulan dan ditanggung BI. Adapun pembelian SBN kluster B juga akan menggunakan Tingkat Suku Bunga Reverse Repo BI Tenor 3 Bulan, tetapi ditanggung oleh pemerintah.
Pembelian SBN BI pada 2021 yang senilai Rp 215 triliun dicapai dengan membeli SBN Rp 58 triliun dari kluster A dan sebesar Rp 157 triliun dari kluster B. Sementara pembelian SBN BI pada 2022 yang senilai Rp 224 triliun dicapai dengan membeli SBN sebesar Rp 40 triliun dari kluster A dan sebesar Rp 184 triliun dari kluster B.
Mulyani menjelaskan, SBN akan dijual dalam mata uang rupiah dengan tenor 5 tahun, 6 tahun, 7 tahun, dan 8 tahun. Metode pembelian SUN dan/atau SBSN dilakukan dengan cara private placement atau penempatan saham secara langsung.
Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan, penanganan pandemi dan kesehatan memberi tekanan fiskal sehingga kemampuan APBN untuk mendorong pemulihan ekonomi pun terbatas. Dari hal itulah, Perry berkoordinasi dengan pemerintah untuk mengambil langkah yang bisa dilakukan BI.
”BI merasa terpanggil dan tentu saja berkomitmen penuh bersama pemerintah untuk memenuhi panggilan negara untuk kesehatan dan kemanusiaan,” ujar Perry.
Sebagai catatan, SKB pertama dilakukan pada 16 April 2020. Adapun SKB kedua pada 6 Juli 2020. Ketiga SKB ini sama-sama mengatur soal burden sharing atau berbagi beban antara Kemenkeu dan BI dalam upaya membiayai anggaran dalam penanggulangan Covid-19.
Ia menjelaskan, pembelian SBN ini tentu akan memengaruhi keuangan BI. Namun, ia menegaskan, BI masih punya cukup modal untuk menjalankan perannya menjaga stabilitas keuangan dan nilai tukar.
Upaya membantu pembiayaan anggaran pemerintah dalam SKB III ini, lanjut Perry, bukan berarti menghapus atau menurunkan independensi BI sebagai bank sentral. Hal ini adalah bentuk burden sharing atau berbagi beban agar meringankan tekanan fiskal APBN.
Dari perhitungan Kemenkeu, dengan kerja sama ini, rasio belanja bunga terhadap produk domestik bruto (PDB) pun bisa menurun. Pada 2021, rasio belanja bunga terhadap PDB bisa turun menjadi 2,21 persen dari sebelumnya 2,40 persen; pada 2022 turun menjadi 2,19 persen dari sebelumnya 2,43 persen; pada 2023 turun menjadi 2,25 persen dari sebelumnya 2,49 persen; pada 2024 menjadi 2,22 persen dari sebelumnya 2,44 persen, dan pada 2025 menjadi 2,22 persen dari sebelumnya 2,42 persen.
Mulyani menjelaskan, ini juga merupakan salah satu upaya menjaga defisit APBN terhadap PDB maksimal 3 persen pada 2023. Adapun tahun ini defisit diperkirakan sebesar 5,82 persen dan akan menurun menjadi 4,85 persen pada 2022.
Dihubungi secara terpisah, Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, koordinasi itu merupakan bentuk soliditas koordinasi antara Kemenkeu dan BI. Keduanya punya tantangan dalam menjaga kebijakan fiskal dan moneter.
Dari sisi fiskal, APBN makin terbebani dengan makin membengkaknya anggaran belanja karena kebutuhan penanggulangan pandemi dan pemulihan ekonomi. Di sisi lain, pendapatan negara juga belum optimal karena ekonomi belum pulih.
Masuknya BI untuk pembiayaan APBN, apalagi menggunakan tingkat suku bunga Reverse Repo 3 bulan, ini akan meringankan beban bunga yang harus dibayarkan pemerintah. ”Hal ini bisa meringankan beban APBN dan memberikan ruang pada fiskal,” ujar Josua.
Selain mendukung kebijakan fiskal atau pembiayaan APBN, di sisi lain, dengan masuknya BI ke pasar SBN, secara tidak langsung pihaknya tengah menjalankan kebijakan moneter. Dalam rangka mengantisipasi perginya modal asing karena pengetatan kebijakan moneter akibat pemulihan ekonomi AS, masuknya BI ke pasar SBN turut menjaga stabilitas keuangan dan nilai tukar.
Senada dengan Josua, ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Teuku Riefky, menilai kebijakan ini memang berdampak positif pada fiskal dan moneter.
Namun, ia menilai ada hal lain yang perlu benar-benar dijaga BI, yakni soal isu independensi. ”Harus dijaga betul bahwa kebijakan ini betul-betul prudent dan BI bisa terus menjaga independensinya di masa mendatang,” ujar Riefky.