Para Penghuni Terakhir
Ancaman hilangnya wilayah pesisir ada di di depan mata. Solusi adaptif terhadap kenaikan muka air laut dan penurunan muka tanah diperlukan supaya tak ada lagi cerita penghuni terakhir dari kampung di wilayah pesisir.
Lokasi rumah Salam (76) bisa dibilang agak terpisah dari jalan utama Kampung Beting, Desa Pantai Bahagia, Muara Gembong, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.
Salam sebenarnya bukan warga Kampung Beting. Bersama istrinya, Ocah, Salam adalah penghuni terakhir kampung yang kini sudah tenggelam dan hilang. Kampung Enclek namanya.
”Dulu ada sebelas rumah. Sekarang, ya, tinggal satu,” kata Salam sambil menunjuk bekas fondasi rumah tetangganya saat ditemui pada akhir Juli lalu.
Salam yang mulai bermukim di Kampung Enclek sejak 41 tahun yang lalu merasakan betul perubahan yang terjadi di Muara Gembong. Air laut yang kian mendekat telah menenggelamkan banyak lahan tambak.
Jika melihat citra satelit Landsat tahun 1985, mungkin butuh jalan kaki 2 kilometer untuk mencapai pantai terdekat. Kini, laut telah tiba di halaman belakang rumah Salam. Bukan melebih-lebihkan, tetapi perahu yang dipakai warga mencari ikan memang terlihat terparkir di sana.
Jika melihat citra satelit Landsat tahun 1985, mungkin butuh jalan kaki 2 kilometer untuk mencapai pantai terdekat. Kini, laut telah tiba di halaman belakang rumah Salam.
Kalau air pasang sudah tiba, Salam harus pindah tidur ke atas panggung kecil atau bale di dalam rumahnya untuk menghindari genangan air. Kasur pun harus dijemur setelah beberapa hari sebelumnya dilanda banjir pasang.
”Setiap rob masuk, byur, kalo kita kasih tanggul tanah, ya mental kena ombak. Ya sudah, nongkrong saja di atas bale sama nenek,” ceritanya sambil terkekeh.
Salam tidak hanya menjadi saksi bahwa kenaikan air laut tidak hanya mengusir warga dari tempat tinggalnya, tetapi juga mencekik perekonomian. Dulu, ketika masih banyak tambak udang, ia bisa memanen 150 kilogram udang dalam semalam sebagai buruh. Kini, setelah berhektar lahan tambak tenggelam, sehari-hari ia hanya menunggu panggilan kerja serabutan sambil mencari pakan untuk kambingnya.
”Ya, ada senang ada susah mungkin,” katanya.
Tekanan finansial lebih besar dirasakan oleh para tetangga Salam yang lebih muda. Tarjo (40), misalnya, mengatakan, ketika air pasang dan banjir rob, penghasilan di laut cenderung menurun. Bahkan, dia tidak mampu membayar biaya bahan bakar dan perbekalan. Di saat normal, nelayan setiap malam bisa membawa untung hingga Rp 300.000.
”Tapi, kalau banjir, ya banyak yang enggak melaut,” timpal Taufik (46), nelayan warga Desa Pantai Bahagia lainnya. Jika tidak melaut, otomatis tidak ada penghasilan untuk keluarga.
Entah karena rumah terus terendam atau terimpit penghasilan dari laut yang terus menurun, data BPS Kabupaten Bekasi menunjukkan, jumlah penduduk Desa Pantai Bahagia saat ini turun dibandingkan dengan tahun 2014. Tujuh tahun yang lalu, jumlah penduduk mencapai 8.166 jiwa. Data terbaru, tahun 2019, jumlah penduduk telah berkurang hampir 20 persen menjadi 6.166 orang.
Ketidaknyamanan tinggal di Kampung Enclek juga tecermin pada keempat anak Salam. Dua merantau ke Bekasi dan Jakarta, sisanya tinggal di desa lain. ”Pada enggak betah,” kata Salam.
Meninggikan rumah
Dampak finansial yang nyata juga dialami oleh Munarto (50), warga Muara Angke, Pluit, Jakarta Utara. Meminjam istilahnya, warga Muara Angke dipaksa harus kaya untuk tetap bisa bertahan hidup di tengah terjangan banjir rob yang kini terjadi setiap hari.
Bagaimana tidak, penurunan tanah yang ekstrem memaksa warganya untuk terus meninggikan lantai rumah. Jika sudah terlalu dekat dengan langit-langit, rumah harus dirobohkan, lalu dibangun yang lebih tinggi. Munarto mengatakan, setiap lima tahun, lantai harus ditinggikan 1 meter.
Bangunan rumah Munarto yang baru selesai direnovasi, langit-langitnya berjarak hampir 4 meter di atas lantai. Jarak yang cukup tinggi ini cukup aman untuk meninggikan lantai 1-2 kali lagi.
”Mungkin Jakarta puluhan tahun lagi akan tenggelam. Tapi, saya percaya Muara Angke tidak akan tenggelam. Lha wong kita urug terus rumah kita ha-ha-ha,” kata Munarto sambil tertawa.
Kenaikan Air Laut
Masa depan banyak masyarakat kota pesisir Indonesia bisa jadi akan mirip dengan apa yang saat ini telah dialami oleh Salam dan warga Muara Gembong, Muara Angke, dan pesisir kota besar lainnya. Kenaikan air laut secara global akibat perubahan iklim dan penurunan muka tanah, khususnya di kota-kota besar, akan mengantarkan ancaman banjir rob yang lebih besar bagi warga.
Dalam Laporan Kajian Kelima (Fifth Assessment Report/AR5) yang dikeluarkan pada 2014 oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC)—sebuah badan PBB yang menangani tentang perubahan iklim—dunia masih mengeluarkan emisi gas rumah kaca yang terlalu besar. Penelitian tersebut meyakini suhu permukaan global pada tahun 2100 dapat melampaui 2 derajat celsius dibandingkan dengan kondisi tahun 1850-1900.
Padahal, berdasarkan Laporan Khusus Tentang Pemanasan Global, 1.5 derajat celsius yang dikeluarkan oleh IPCC pada 2018 meyakini bahwa skenario terbaik yang masih bisa diraih adalah menjaga pemanasan global tidak lebih dari 1,5 derajat celsius pada 2100.
Hasil pemodelan IPCC menyebut bahwa peningkatan suhu 1,5 derajat celsius dapat menimbulkan kenaikan air laut antara 0,26 meter dan 0,77 meter pada 2100. Rentang angka ini dinilai akan lebih rendah 0,1 meter dibandingkan dengan kenaikan air laut yang diakibatkan kenaikan 2 derajat celsius.
Meski terkesan kecil, jika kenaikan suhu dapat dijaga cukup sampai 1,5 derajat celsius, 10 juta orang akan terhindar dari bahaya yang ditimbulkan oleh kenaikan suhu 2 derajat celsius. Dampak yang dimaksud seperti badai, angin, gelombang, dan banjir rob ekstrem.
Pengikisan garis pantai, seperti yang dialami di Muara Gembong, juga akan semakin parah jika pemanasan global melebihi 1,5 derajat celsius, terlebih lagi mengingat kemungkinan penurunan muka tanah yang juga parah di daerah tersebut.
Oleh karena itu, pemerintah perlu memikirkan solusi baik yang bisa dirasakan oleh masyarakat pesisir dan juga anak cucu bangsa Indonesia 30-80 tahun ke depan. Tak hanya sekadar upaya untuk mengantisipasi kenaikan air laut, seperti tanggul, polder, atau restorasi mangrove, tetapi juga solusi untuk mengurangi penurunan muka tanah.
”Apa pun yang bisa menolong masyarakat sini, ya, silakan seperti apa. Kita, kan, sudah punya pemimpin. Masa nasib kita dibiarin gini aja. Ya kalo bisa mah,” ujar Salam, sang penghuni terakhir Kampung Enclek.