Menangkal Naiknya Air Laut
Tanggul dan polder/kolam retensi bisa memberikan manfaat langsung guna menahan ancaman kenaikan air laut. Namun, tak bisa menyelesaikan masalah penurunan muka tanah yang semakin meningkatkan kerentanan wilayah pesisir.
JAKARTA, KOMPAS — Infrastruktur menjadi andalan menangkal naiknya air laut ke wilayah pesisir. Namun, pembangunan infrastruktur harus diikuti manajemen sumber daya air untuk mengurangi penurunan muka tanah.
Kenaikan muka laut menjadi ancaman besar bagi wilayah pesisir. Pasang air laut sudah menjadi bencana. Air pasang makin luas menggenangi daratan dengan ketinggian yang terkadang mencapai 1 meter.
Dampaknya, banjir pasang tersebut menggenangi permukiman, fasilitas umum, industri, hingga jalan raya di wilayah pesisir. Banjir pasang juga bisa menggenangi wilayah yang jauh dari pantai melalui sungai/drainase.
Penyebab utama penurunan tanah adalah eksploitasi air tanah. Di urban area, hal ini menyumbang 50 persen penurunan tanah.
Fenomena banjir rob ini diperparah dengan penurunan muka tanah di beberapa wilayah pesisir. Penurunan muka tanah wajar terjadi di daerah pesisir sebagai proses kompaksi alami di tanah aluvial. Namun, menurut Heri Andreas, pakar geodesi Institut Teknologi Bandung, penyebab utama penurunan tanah adalah eksploitasi air tanah. ”Di urban area, hal ini menyumbang 50 persen penurunan tanah,” sebutnya.
Penurunan tanah ini, menurut penelitian Heri, kondisinya lebih parah daripada kenaikan air laut. Di Semarang, Surabaya, dan Jakarta, permukaan tanah menurun 15 cm per tahun. Bahkan, di Pekalongan hingga 18 cm per tahun.
Adaptasi fisik
Banjir rob makin sering terjadi di beberapa wilayah pesisir Indonesia. Beberapa kota sudah beradaptasi. Namun, banyak juga kota yang belum siap.
Kajian Kompas pada 21 ibu kota di pesisir Indonesia, 18 kota belum sepenuhnya menyiapkan upaya adaptasi naiknya air laut. Pemda yang sudah melakukan upaya antisipasi ada tiga, yaitu Semarang, Jakarta, dan Surabaya.
Upaya yang dilakukan, membangun infrastrukur fisik pengendali banjir rob, seperti tanggul laut, tanggul pantai, polder, bendung gerak, dan kolam retensi. Infrastruktur fisik tersebut memberikan manfaat langsung, bisa menahan masuknya air ke daratan.
Tidak hanya di Indonesia, pembangunan infrastruktur fisik juga dilakukan oleh kota lain di dunia yang menghadapi ancaman kenaikan muka air laut. Singapura, tahun 2008, membangun ”Marina Barrage”, sebuah bendung gerak yang dilengkapi tujuh pompa raksasa.
Venesia, Italia, sejak 2003 sudah membangun Mose, sistem bendung gerak yang terdiri dari puluhan pintu air dan dapat dinaikkan secara otomatis. Mose dirancang untuk melindungi laguna dan kota dari pasang air hingga 3 meter, sekaligus untuk mengantisipasi kenaikan 60 cm muka air laut selama 100 tahun ke depan.
Meski bangunan fisik langsung bisa menahan masuknya air laut ke darat, biaya pembangunannya cukup mahal, khususnya tanggul laut atau tanggul pantai. Sebagai gambaran, di Semarang, tanggul laut yang juga berfungsi sebagai jalan tol di Semarang-Demak sepanjang 27 km menelan investasi Rp 15 triliun.
Di sisi lain, tanggul atau infrastruktur fisik lainnya mempunyai batasan umur operasional yang biasanya 25 atau 30 tahun harus ditinjau ulang. Seperti tanggul pengaman pantai, National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) yang baru selesai dibangun Desember 2019, jebol sekitar 100 meter di sisi timur Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman, Muara Baru, Jakarta.
Infrastruktur fisik yang biaya pembangunannya lebih murah ketimbang tanggul adalah polder dan kolam retensi. Kekurangannya, memerlukan kolam besar yang butuh pembebasan lahan. Selain itu, jika kolam tidak dipelihara, timbul masalah baru, seperti penumpukan sampah dan kualitas air.
Baik polder maupun kolam retensi membutuhkan sistem pompa untuk mengatur aliran airnya. Sistem pompa menjadi masalah saat Semarang mengalami banjir awal 2021. Air laut atau limpahan air sungai yang masuk ke kolam retensi gagal dipompa keluar karena kerusakan alat dan kelalaian manusia.
Kepala Subbidang Penelitian dan Pengembangan Fisik Prasarana dan Lingkungan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Semarang M Luthfi Eko Nugroho meyakini tanggul sebagai penanganan paling cepat untuk menjaga masyarakat pesisir serta perputaran roda perekonomian kota dari genangan banjir rob. Misalnya, permukiman nelayan terbesar di Semarang, Kampung Tambaklorok, telah dipasangi struktur sheetpile untuk menahan masuknya air laut ke daratan.
Menurut Direktur Lingkungan Hidup Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas Medrilzam, kondisi sejumlah kota pesisir di Indonesia saat ini sudah tidak menyisakan pilihan lain selain tanggul sebagai upaya adaptasi terhadap kenaikan air laut sekaligus penurunan muka tanah. Tanpa solusi yang berefek secara langsung, kehidupan masyarakat di daerah tersebut bisa terganggu.
”Mau tidak mau, solusi yang dimunculkan adalah yang harus cepat dan permanen. Istilahnya, kita memberikan kepastian,” katanya.
Selain mengandalkan infrastruktur fisik, beberapa kota juga mulai melakukan restorasi mangrove di wilayah pesisirnya. Makassar, Surabaya, Tanjung Pinang, Demak, Tuban, Cirebon, dan Pekalongan, menanam mangrove untuk meredam rob masuk ke daratan.
Penurunan tanah
Selain kenaikan air laut, ancaman terdekat wilayah pesisir adalah penurunan muka tanah. Namun, pemda di wilayah pesisir belum punya upaya khusus selain menetapkan aturan pembatasan pengambilan air tanah dan pengenaan pajak.
Tanggul adalah painkiller. Kalau penurunan muka tanah bisa dihentikan, tanggul cukup dibangun sekali saja. (Heri Andreas)
Heri Andreas menilai bahwa perombakan manajemen air di Indonesia menjadi hal yang harus dilakukan setelah pembangunan tanggul. Jika eksploitasi air terus terjadi, tanggul juga akan ikut turun bersama tanah dan kehilangan fungsinya.
”Tanggul adalah painkiller. Kalau penurunan muka tanah bisa dihentikan, tanggul cukup dibangun sekali saja,” katanya.
Di luar negeri, selain infrastruktur fisik, sejumlah kota juga memiliki kebijakan pengelolaan sumber daya air sejak lama. Tokyo, misalnya, selain membangun tanggul, juga membatasi penggunaan air tanah untuk industri sejak 1950. Sebagai gantinya, sumber air bersih diambil dari sungai, air hujan, hingga teknologi daur ulang air.
Sementara itu, Hong Kong, selain tanggul, juga membangun sistem drainase antibanjir yang berfungsi mencegah rob dan banjir limpasan, sekaligus menyediakan alternatif sumber air bersih.
Selain solusi dari pemerintah, adaptasi individu juga tetap diperlukan dalam menghadapi ancaman kenaikan air laut. Masyarakat pesisir di daerah rawan bencana rob harus beradaptasi untuk tetap bisa tinggal di wilayah tersebut.
Masyarakat di Kepulauan Seribu, Makassar, Mataram, Semarang, Surabaya, Tanjung Pinang, Bangkalan, Demak, Indramayu, Tegal, dan Pekalongan telah berupaya untuk meninggikan rumah atau membangun tempat pengungsian sementara untuk menghindari genangan setiap harinya.
Namun, adaptasi individu tidak bertahan lama. Masyarakat mempunyai keterbatasan. Langkah pemerintah tetap dinanti. Baik untuk mengantisipasi naiknya air laut maupun mencegah penurunan tanah.