Kebebasan Berpendapat, antara Pidato Presiden dan Realitas
Pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo yang menyinggung soal pentingnya kritik sebagai bagian dari demokrasi dinilai tak selaras dengan realita di lapangan. Sejumlah tindakan aparat dinilai mengoyak iklim demokrasi.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·5 menit baca
Menjelang Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Ke-76 RI, Selasa (17/8/2021), muncul berita viral tentang penghapusan mural dengan pesan kritik dan masih adanya kriminalisasi dengan pasal karet di UU ITE. Di tengah perayaan kemerdekaan yang sunyi di masa pandemi, muncul pertanyaan dari masyarakat sipil. Apakah masyarakat sudah merdeka untuk menyampaikan kritik dan pendapat?
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Sustira Dirga menyampaikan, penekanan terkait kebebasan berpendapat memang sempat disinggung oleh Presiden Joko Widodo dalam pidato kenegaraan saat Sidang Tahunan MPR, Senin (16/8/2021). Presiden menyebut, mengapresiasi kritik dari masyarakat. Menurut Presiden, kritik dari masyarakat penting dan membangun budaya demokrasi. Pemerintah pun selalu menjawab kritikan dengan pemenuhan tanggung jawab seperti harapan rakyat.
Namun, menurut Sustira, yang disampaikan Presiden masih sebatas pemanis bibir. Tidak seperti yang terlihat di lapangan. Bahkan, menurut dia, ada kecenderungan, ruang kebabasan berekspresi dan menyampaikan pendapat kian dibelenggu.
”Pidato presiden kemarin masih berkebalikan dengan fakta di lapangan. Masih banyak tindakan aparat yang justru menciptakan iklim ketakutan bagi masyarakat untuk berpendapat dan berekspresi,” kata Sustira melalui keterangan tertulis.
Sebagai contoh, penghapusan mural bernada kritik di sejumlah daerah oleh TNI-Polri. Di Kota Tangerang, Banten, misalnya, mural bergambar Jokowi dengan tulisan ”404: Not Found dihapus” oleh Polres Metro Tangerang Kota. Kepolisian juga memeriksa dua saksi terkait gambar mural. Polisi menyatakan tindakan pembuatan mural dianggap sebagai tindakan menghina Presiden Jokowi sebagai lambang negara.
Tindakan penghapusan bahkan langkah penyelidikan terhadap seniman pembuat mural dianggap menciptakan iklim yang tak kondusif bagi kebebasan berpendapat dan berekspresi. Tak sejalan pula dengan semangat demokrasi yang disampaikan Presiden dalam pidato kenegaraan.
”Hal itu tak lepas dari masalah karut-marut penegakan hukum akibat rumusan norma pidana yang bermasalah dalam undang-undang. Peraturan yang paling bermasalah itu adalah UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang memuat pasal karet dan tidak sesuai dengan standar hukum pidana,” terang Sustira.
Selain norma pasal karet, penerapan UU ITE oleh aparat penegak hukum di lapangan juga masih bermasalah dan tidak sesuai dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) UU ITE yang dijanjikan pemerintah. Pemerintah berharap implementasi SKB UU ITE dapat menyelesaikan problematika UU ITE yang multitafsir. Namun, sayangnya, aturan itu tidak dilaksanakan oleh aparat penegak hukum di lapangan.
Sustira mengatakan, langkah yang tepat untuk mengatasi multitafsir pasal UU ITE harus dengan merevisi UU ITE. ICJR pun berharap, di tengah situasi pelemahan demokrasi yang terlihat saat ini ini, rencana pemerintah untuk mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang mengandung pasal pembunuh demokrasi tidak dilanjutkan.
Sebelumnya, ICJR mengidentifikasi ada sejumlah pasal yang disebutnya berpotensi mengancam demokrasi dalam RKUHP di antaranya pasal pidana penghinaan presiden dan wakil presiden, penghinaan pemerintah, penghinaan kekuasaan umum dan lembaga negara, penghinaan peradilan atau contempt of court, hingga penyelenggaraan pawai, unjuk rasa, dan demonstrasi tanpa izin.
”Jika sampai RKUHP buru-buru disahkan tanpa konsultasi publik yang mendalam, keberadaan pasal-pasal pembunuh demokrasi yang dirumuskan secara luas dan multitafsir dipastikan akan semakin mengancam kelangsungan demokrasi di Indonesia,” tegas Sustira.
Terkait iklim demokrasi di Indonesia, hasil survei terbaru The Economist Intelligence Unit (EIU) menempatkan Indonesia di peringkat ke-64 dunia. Indonesia mendapatkan skor 6,3 yang merupakan skor terendah sepanjang 14 tahun terakhir. Penilaian dari lembaga survei berbeda, yaitu Freedom House, juga memberikan penilaian yang buruk untuk akses masyarakat terhadap hak-hak politik dan kebebasan sipil di Indonesia.
Selain ICJR, Deputi Direktur Amnesty International Indonesia Wirya Adiwena juga melihat peringatan 76 tahun kemerdekaan RI diwarnai ancaman terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat. Sama seperti ICJR, salah satunya karena keberadaan pasal-pasal karet di UU ITE yang masih menjadi alat kriminalisasi pihak yang memiliki kuasa. Situasi ini terus membuat ruang kebebasan sipil di Indonesia semakin menyempit.
Data Amnesty International Indonesia menyebutkan, sepanjang 2020 setidaknya ada 132 kasus dugaan pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi dengan menggunakan pasal karet UU ITE. Total ada 156 korban termasuk di antaranya 18 aktivis dan empat jurnalis. Sementara itu, pada 2021, sudah ada 56 kasus dengan total 62 korban.
Salah satu kasus terbaru adalah tuduhan pencemaran nama baik terhadap Stevanus Mimosa Kristianto, Ketua Umum Serikat Pekerja Perjuangan salah satu bank swasta di Indonesia. Pada Februari 2019, Kristianto dan kurang lebih 50 orang lainnya berdemonstrasi untuk memprotes pemutusan hubungan kerja yang mereka anggap sepihak. Orasi itu diliput oleh sejumlah media daring. Kemudian, pada Mei 2019, pihak bank melaporkan Kristianto ke kepolisian dengan tuduhan melanggar Pasal 27 Ayat (3) UU ITE tentang pencemaran nama baik. Kristianto kemudian diperiksa dan ditetapkan menjadi tersangka oleh Polda Metro Jaya pada April 2021.
”Indonesia sudah merdeka selama 76 tahun. Namun, hak warganya atas kebebasan berekspresi masih belum sepenuhnya terpenuhi dan terlindungi,” kata Wirya.
Harapan masyarakat
Dalam momentum peringatan hari kemerdekaan ke-76 RI ini, ICJR menyerukan kepada pemerintah agar lebih konsisten dalam pernyataan dan implementasi kebijakan, terutama menanggapi kritik dari masyarakat.
Presiden harus menginstruksikan kepada Kapolri agar aparat tidak berlebihan dan sewenang-wenang dalam merespons penyampaian kritik dari masyarakat. Pemerintah seharusnya dapat memberikan perlindungan dan suasana yang kondusif agar masyarakat tetap bebas menyampaikan pendapat dan pemikirannya, sesuai prinsip demokrasi.
Harapan senada diungkapkan oleh Wirya. Menurutnya, berbagai kriminalisasi pasal karet UU ITE menunjukkan bahwa regulasi itu harus segera direvisi. Selama menunggu direvisi, pemerintah juga harus mengambil langkah konkret untuk memastikan perlindungan hak kebebasan berekspresi dengan memberikan pembebasan tanpa syarat kepada mereka yang dihukum hanya karena menyampaikan ekspresinya secara damai.
Selain itu, Amnesty International Indonesia menggelar kampanye daring suarakan kebebasan berekspresi melalui penulisan surat bertema Pesan Perubahan atau PENA yang diluncurkan pada Agustus lalu. Amnesty mengajak publik menyuarakan dukungan terhadap kebebasan berekspresi dengan mengirim surat kepada Presiden Joko Widodo dan DPR agar merevisi UU ITE, dan membebaskan mereka yang telah dikriminalisasi karena menyampaikan ekspresinya, tanpa ada niat jahat.