Saya baru selesai mendengar penjelasan seorang romo mengenai bagaimana menjadi agen kebahagiaan bagi diri sendiri dan orang lain di masa pandemi yang membuat frustrasi. Akan tetapi, sebelumnya, ia menanyakan apa arti bahagia itu? Ia kemudian menjelaskan begini. Kebahagiaan itu bukan absennya penderitaan, tetapi sebagai alat untuk menghadapi penderitaan.
Salah mengerti
Siang itu saat saya mendengar penjelasannya saya sudah mengantuk sekali. Bukan karena sesinya membosankan, tetapi satu hari sebelumnya saya tak bisa tidur semalaman. Jadi, saat mendengar itu saya diserang rasa ngantuk yang luar biasa. Akan tetapi, rasa kantuk yang super berat itu hilang mendadak karena tersentak mendengar penjelasannya soal bahagia itu.
Sebuah penjelasan yang tak pernah saya dengar sebelumnya. Karena selama 58 tahun saya hidup di dunia yang fana ini, saya berpikir bahwa bahagia itu ya... tidak hadirnya atau absennya penderitaan atau problem atau bentuk kesengsaraan lainnya. Bahagia, ya, bahagia. Tidak bahagia ya… tidak bahagia, absennya kebahagiaan.
Karena itu mata mengantuk itu tiba-tiba seperti tak bisa tertutup dan perkataan dan penjelasannya itu terus mengiang di telinga dan tak beranjak dari kepala. Bagaimana saya bisa tak mengerti tentang hal ini. Kemudian saya melihat kembali tentang sejuta kejadian pada masa lalu sampai sebelum saya mendengar penjelasan sang romo.
Selama masa panjang itu saya salah mengartikan arti bahagia. Seandainya sejak dulu saya tahu, saya tak akan berkeluh kesah dan memusuhi orang lain dan Tuhan. Ya, begitulah kalau otak hanya pas-pasan, tak mampu melihat segala sesuatu lebih teliti. Sehingga acap kali kekesalan dan ketidakbahagiaan terjadi karena tidak berpikir panjang dan salah mengartikan. Itu mengapa saya selalu iri dengan orang pandai, dan bukan dengan orang kaya.
Siang itu saya berpikir dengan IQ yang pas-pasan. Kehidupan ini kan memang merupakan kumpulan segala bentuk kebahagiaan dan kesengsaraan. Mereka bersatu tercampur sebagai konten yang mengisi kehidupan ini. Ketika saya bahagia, kesengsaraan toh tetap ada di dalam dunia ini, demikian pula sebaliknya. Mau sengsaranya seperti apa hidup saya, kebahagiaan itu tak akan pernah hilang. Ia tak bisa dinihilkan atau dilenyapkan.
Ambyar
Sekarang saya adalah penentunya dalam bersikap menghadapi kedua hal yang ekstrem itu. Sikap seperti apa yang saya pilih saat keduanya tak bisa dinihilkan. Kalau saya sekarang merasa frustrasi karena pandemi ini, sikap apa yang akan saya ambil?
Gaji sudah tak saya terima, persediaan dana semakin tipis, ke mana-mana tak semudah seperti dulu lagi, berita yang membuat perasaan lelah datang bertubi-tubi setiap detik dan datang dari segala penjuru, dan belum tentu berita itu benar, tetapi sudah mampu membuat saya patah semangat. Belum lagi mendengar berita kematian yang mengalir seperti sungai yang tak pernah kering.
Dengan kehadiran situasi yang menyengsarakan seperti itu, apakah kebahagiaan sebagai salah satu konten kehidupan itu hilang? Tentu tidak. Lha wong itu tak dapat dihilangkan kok. Akan tetapi, kalau itu tak bisa dihilangkan, mengapa saya tak bisa merasakan kebahagiaan di tengah kesengsaraan?
Siang itu terlintas di benak saya bahwa saya sebagai penentu sikap telah memilih dan kemudian mengizinkan perasaan tidak bahagia mendominasi. Sehingga konten yang satu lagi yang bernama kebahagiaan tertutup dengan dominasi negatif dari pilihan saya itu.
Kalau saja tingkat intelektual saya enggak jongkok-jongkok amat, kesengsaraan yang tak dapat dinihilkan seperti halnya kebahagiaan, tak akan menjadi pilihan saya dan tak akan saya izinkan untuk mendominasi. Jadi, saya ini salah memilih sikap dan solusi. Keadaan negatif saya pecahkan dengan sikap negatif. Yaaaa.... ambyarrrr.
Sekarang saya mengerti mengapa romo di atas mengatakan bahwa kebahagiaan itu merupakan senjata untuk menghadapi kesengsaraan atau penderitaan. Kalau ia dipakai sebagai senjata, berarti saya harus membuatnya berfungsi. Caranya adalah dengan memberi kesempatan kebahagiaan untuk mendominasi.
Selama ini saya marah-marah, saya kesal, saya menyalahkan manusia dan mempertanyakan Tuhan tentang jalannya kehidupan, dan membuat saya tak bisa menjadi agen kebahagiaan untuk diri saya sendiri dan orang lain. Ternyata semua jalan keluar sudah disediakan kehidupan, giliran saya untuk lebih peka dan cerdik memilih senjata dan solusi.
Tiba-tiba ada suara nyaring yang terdengar di lubuk hati. ”Ya, enggak mungkinlah kamu cerdik. IQ cuma segitu doang mau dapat solusi yang tepat. Haloooo….”