Tumbuhkan Kepemimpinan Pancasila untuk Atasi Persoalan Bangsa
“Dibutuhkan pemimpin yang beradab. Yang ketika akan berbuat kejahatan, dia dibendung dan dihalangi oleh norma-norma Pancasila,” kata Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Untuk mengatasi permasalahan politik, demokrasi, dan tata kelola negara yang akut, dibutuhkan kepemimpinan formal berdasarkan Pancasila. Kepemimpinan Pancasila bisa ditumbuhkan melalui sistem pendidikan diklat untuk membentuk mental individu dan memperbaiki sistem yang buruk.
Pandangan tersebut terungkap dalam diskusi daring bertema ”Tata Kelola Negara Berdasarkan Paradigma Pancasila” yang digelar Aliansi Kebangsaan, Rabu (11/8/2021). Sejumlah narasumber yang hadir ialah Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra; peneliti politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Siti Zuhro; pengajar kebijakan publik Universitas Indonesia, Eko Prasodjo; serta Guru Besar Ilmu Politik dan Keamanan Universitas Padjadjaran Muradi.
Azyumardi mengatakan, untuk mengatasi permasalahan bangsa yang akut seperti korupsi, tata kelola pemerintahan yang kurang efektif, serta penegakan hukum yang tidak adil, dibutuhkan kepemimpinan publik berlandaskan Pancasila. Pemimpin yang dibutuhkan tidak hanya yang pandai berteori, tetapi juga mempraktikkan kelima sila Pancasila dalam kinerjanya. Misalnya, sikap antikorupsi dengan tidak mencuri atau menyalahgunakan aset publik. Pemimpin harus memiliki mental dan karakter yang beradab. Dengan begitu, mereka memiliki filter untuk tidak melakukan kejahatan, misalnya korupsi.
”Dibutuhkan seorang pemimpin yang beradab. Yang ketika akan berbuat kejahatan, dia dibendung dan dihalangi oleh norma-norma Pancasila. Pemimpin seperti ini tentu bisa dibentuk oleh sistem pendidikan,” ujar Azyumardi.
Azyumardi memberikan contoh polemik seragam anggota DPRD Kota Tangerang, Banten, yang memakan dana miliaran rupiah, menunjukkan bahwa wakil rakyat hanya memenuhi kemauan sendiri. Mereka tidak merepresentasikan keinginan rakyat yang diwakili.
Perilaku mereka jauh dari norma sila kelima tentang keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Di tengah masa sulit karena pandemi Covid-19, uang negara justru dihamburkan untuk sesuatu yang tak mendesak. Perilaku itu, lanjutnya, juga menunjukkan anggota DPRD tak menunjukkan kepemimpinan publik yang baik.
”Ketidakadilan telah merajalela di Indonesia. Pejabat yang korupsi dana bansos hanya dituntut hukuman 11 tahun. Sementara ada warga biasa yang melakukan kejahatan bisa dituntut hukuman seumur hidup hingga hukuman mati. Ini menunjukkan bahwa perilaku eksekutif, legislatif, dan yudikatif sangat jauh dari kepemimpinan Pancasila,” kata Azyumardi.
Azyumardi mengusulkan para intelektual bangsa harus bisa merumuskan cara agar Pancasila bisa diaktualisasikan bukan hanya sebagai pemanis bibir (lip service). Pancasila harus dihidupkan di tengah masyarakat melalui pendidikan karakter baik formal maupun informal. Generasi penerus bangsa harus dibentuk karakternya agar menjadi calon pemimpin yang beradab.
Eko Prasojo mengatakan, kepemimpinan Pancasila bisa menjadi solusi untuk mendobrak sistem pemerintahan yang telanjur korup. Sebab, jika hanya mengandalkan kesadaran individu, maka akan terbentur dengan sistem politik yang korup. Selama ini, reformasi birokrasi menjadi lebih bersih, efektif, dan efisien hanya menjadi jargon semata, minim implementasi.
Namun, jika birokrasi bisa dibenahi secara utuh, mereka bisa terhindar dari intervensi kepentingan politik dan oligarki. Ini penting karena birokrasi adalah pengelola anggaran negara. Apabila birokrasi kuat, dan tidak goyah oleh intervensi politik, pelayanan publik akan lebih optimal dan efektif.
”Ini bisa dilakukan dengan cara sistem pendidikan diklat kepemimpinan Pancasila. Jadi, perbaikan tidak hanya menyasar individu tertentu, tetapi juga sistem birokrasinya,” kata Eko.
Sementara itu, Siti Zuhro mengatakan, demokrasi di Indonesia saat ini masih sekadar prosedural, belum mencapai demokrasi substansial. Demokrasi memakan waktu, energi, dan anggaran yang besar, tetapi belum berhasil menciptakan kepemimpinan yang diharapkan masyarakat. Pemerintahan belum sepenuhnya efektif, tetapi malah semakin koruptif.
”Mengapa pemilu belum bisa menghasilkan pemerintahan yang sinergis dan efektif? Seharusnya, pemilu langsung bisa menghasilkan pemerintahan yang seperti itu,” ujar Zuhro.
Berdasarkan risetnya di LIPI, Zuhro berpandangan, ada sejumlah hal yang bisa dilakukan untuk memperbaiki demokrasi di Indonesia. Pertama memperkuat sistem presidensial, dengan menyederhanakan sistem multipartai. Penataan ini dinilai penting untuk mengatur mekanisme check and balances di parlemen sehingga sistem presidensial lebih kuat.
Mekanisme komplain rakyat terhadap anggota DPR yang tidak berperforma baik di parlemen juga dibutuhkan. Dengan begitu, wakil rakyat memiliki evaluasi kinerja dari konstituennya.
Selain itu, juga diperlukan penataan kembali sistem pemilu. Pemilu harus berdampak pada terwujudnya sistem pemerintahan yang baik. Misalnya, pemilu nasional perlu diselenggarakan dengan jeda 2,5 tahun dari pemilu lokal/daerah. Hal ini untuk mengevaluasi partai-partai yang kurang perform agar tidak dipilih lagi pada pemilu skala lokal atau daerah.