Lonjakan Industri Migas di Jatim Berpotensi Pulihkan Ekonomi
Produksi migas di Jatim berpotensi melonjak seiring meningkatnya kegiatan pengeboran. Meski demikian, terdapat sejumlah tantangan untuk mengoptimalkan kontribusi migas dalam memulihkan ekonomi yang terkontraksi pandemi.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI/AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·4 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Produksi minyak dan gas di Jawa Timur berpotensi besar ikut memulihkan pertumbuhan ekonomi yang terkontraksi akibat pandemi Covid-19. Namun, sejumlah tantangan masih harus diselesaikan, seperti harga gas yang ideal untuk menghasilkan produk yang kompetitif.
Hal itu mengemuka pada webinar bertema ”Meneropong Lonjakan Pasokan Minyak Dan Gas di Jawa Timur” pada Selasa (27/7/2021). Acara ini digelar harian Kompas Biro Jatim.
Sejumlah narasumber hadir adalah Wakil Gubernur Jatim Emil Elestianto Dardak, Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi Jawa-Bali-Nusa Tenggara (Jabanusa) Nur Wahidi, serta Direktur Utama PT Petrokimia Gresik Dwi Satriyo Annurogo. Selain itu, ada juga Direktur Pascasarjana Universitas Airlangga Profesor Badri Munir Sukoco dan Ketua Forum Kehumasan Industri Hulu Migas Jabanusa Ichwan Arifin.
Emil mengatakan, pertumbuhan ekonomi Jatim pada triwulan pertama tahun ini terkontraksi minus 0,44 persen atau lebih baik dari triwulan IV 2020 tercatat minus 2,64 persen. Kontraksi ekonomi terjadi karena implikasi pandemi Covid-19 terhadap aktivitas ekonomi, terutama perdagangan, industri pengolahan, dan akomodasi.
Melambatnya laju aktivitas ekonomi itu berdampak pada serapan produksi migas, terutama gas. Padahal, Jatim merupakan produsen migas berkontribusi besar terhadap produksi nasional. Kini, terdapat 26 kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) migas di Jatim. Sebanyak 18 KKKS melakukan eksploitasi dan delapan KKKS lainnya masih tahap eksplorasi.
”Jatim memiliki cadangan total minyak sebesar 264,1 juta barel dan cadangan gas sebesar 5.377,9 miliar kaki kubik (BCF). Rata-rata produksinya 232.842 barel minyak per hari (BOPD) dan gas 504,96 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD),” ujar Emil.
Mantan Bupati Trenggalek itu menambahkan, pasokan gas di Jatim berpotensi bertambah seiring mulai dioperasikannya sejumlah proyek gas pada akhir tahun ini. Lonjakan pasokan gas diprediksi mencapai 200 MMSCFD pada 2022 dan 2023. Hal itu bisa dioptimalkan untuk mendorong pertumbuhan sektor-sektor ekonomi terutama industri pengguna gas.
Pemprov Jatim telah merancang sejumlah kawasan industri baru yang dipastikan memerlukan dukungan pasokan migas. Kawasan industri itu antara lain di Tuban, Lamongan, Madiun, Nganjuk, dan Probolinggo. Selain itu, sejumlah kawasan industri eksisting juga berencana melakukan pengembangan seperti di Gresik, Sidoarjo, Pasuruan, dan Surabaya.
”Pengembangan sejumlah kawasan industri itu memerlukan dukungan jaringan gas yang terintegrasi dari hulu ke hilir. Disisi lain, terdapat persoalan di lapangan yang butuh perhatian serius diantaranya mendorong agar harga gas di Jatim semakin kompetitif bagi dunia industri,” kata Emil.
Pemerintah telah memberikan harga gas khusus untuk tujuh sektor industri dan kelistrikan yakni 6 dollar AS per juta british thermal unit (MMBTU) sejak April 2020. Tujuh sektor industri itu meliputi industri pupuk, petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet.
Akan tetapi, regulasi itu belum bisa diterapkan di Jatim. Hal itu dikeluhkan oleh sejumlah pelaku usaha seperti industri baja di Sidoarjo. Mereka menerima harga gas yang jauh diatas harga khusus sehingga produk yang dihasilkan kurang kompetitif. Padahal, harga khusus itu diperlukan untuk mempercepat pemulihan ekonomi yang terkontraksi akibat pandemi.
Salah satu konsumen gas terbesar di Jatim adalah PT Petrokimia Gresik dengan konsumsi mencapai 144 MMSCFD atau sekitar 25 persen dari total konsumsi gas di Jatim. Gas tersebut diolah sebagai bahan baku produksi pupuk. Pupuk ini diproduksi untuk mendukung ketahanan pangan nasional.
Dwi Satriyo Annurogo mengatakan, pihaknya sangat tergantung dengan pasokan gas dalam proses produksi. Petrokimia mendapat penugasan memproduksi 5,4 juta ton pupuk dari total alokasi pupuk subsidi nasional sebesar 9 juta ton setahun. Artinya, produksi pupuk ini tidak boleh terganggu dalam kondisi pandemi sekalipun.
”Petrokimia terus berkoordinasi dengan SKK Migas dan Kementerian ESDM untuk menjamin suplai gas, terutama saat ada kendala di lapangan, agar bisa segera teratasi sehingga tidak sampai mengancam produksi pupuk,” ucap Dwi Satriyo.
Sementara itu, Nur Wahidi pihaknya optimistis produksi migas bisa ditingkatkan dan mencapai visi produksi minyak 1 juta BOPD serta gas 12.000 MMSCFD pada 2030. Upaya yang dilakukan untuk mencapai target tersebut, antara lain, optimalisasi produksi lapangan eksisting, transformasi sumber daya kontijen ke produksi, hingga eksplorasi untuk penemuan besar.
”Aktivitas pengeboran eksploitasi akan terus ditingkatkan hingga diatas 1.000 sumur pengeboran tiap tahunnya. Tahun ini ditargetkan 600 sumur. Kegiatan workover dan well services akan meningkat sejalan dengan peningkatan pengeboran sumur,” kata Nur Wahidi.
Dia menambahkan, saat ini, produksi gas di Jatim mencapai lebih dari 600 MMSCFD. Sementara konsumsi atau serapan gas hanya di kisaran 500 MMSCFD sehingga terjadi surplus. Hal itu ditengarai disebabkan berkurangnya aktivitas industri karena pandemi Covid-19.
Terkait kebijakan harga gas 6 dollar per MMBTU menjadi tantangan tersendiri dalam implementasinya di lapangan. Dia berharap, ada titik temu antara KKKS selaku produsen gas dengan industri selaku konsumen. Hal itu penting agar KKKS tetap bisa membiayai eksplorasinya dan industri di daerah bisa tumbuh optimal dan berdaya saing tinggi.
Masih terkait polemik kebijakan pemerintah, Profesor Badri berpendapat kepastian pasokan gas dan tarif atau harga menjadi komponen penting bagi pengguna atau konsumen dari kalangan dunia usaha termasuk sektor industri strategis. Kedua hal tersebut menentukan peran industri pengembangan ekonomi regional di Jatim.