Sebanyak 90 Persen Startup Berakhir dengan Kegagalan
Di balik gemerlap cerita sukses perusahaan rintisan bidang teknologi atau "startup", terdapat kisah pendiri yang harus selalu fleksibel terhadap hal baru dan siap gagal.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Berdasarkan data startuprangking.com yang diakses Jumat (16/7/2021), jumlah usaha rintisan bidang teknologi atau startup di Indonesia mencapai 2.252 perusahaan. Jumlah ini tergolong besar, jika dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lainnya, seperti Singapura (1.013), Vietnam (179), Thailand (135), Filipina (283), dan Malaysia (279).
Tidak ada data pasti berapa banyak perusahaan rintisan bidang teknologi di Indonesia yang gagal. Namun menurut Direktur Bisnis Digital Telkom Indonesia Fajrin Rasyid yang pernah menjadi Co-Founder Bukalapak, tingkat kegagalan perusahaan rintisan bidang teknologi baik di Indonesia maupun rata-rata global sangat tinggi, mencapai 90 persen.
"Membangun startup itu tinggi risiko, meski keuntungannya juga tinggi," ujarnya saat mengisi diskusi daring "Startup Building Experience from The Founders" Jumat (16/7/2021), di Jakarta.
Diskusi ini merupakan rangkaian dari program pelatihan keterampilan digital "Muda Maju Bersama 1.000 Startup" yang diselenggarakan Gojek bersama Telkom Indonesia melalui Indonesia Telecommunication & Digital Research Institute.
Koordinator Pemberdayaan Kreativitas Teknologi Informasi dan Komunikasi Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) Sonny Hendra Sudaryana, di kesempatan terpisah, pernah mencontohkan dari 1.200 startup yang mengikuti program pelatihan, jumlah perusahaan yang masih beroperasi, bertumbuh pesat, dan mendapat pendanaan kurang dari 20 persen.
"Bisa jadi ekosistem industri digital semakin ke sini semakin kompetitif. Namun, saya selalu percaya bahwa ide solusi teknologi dan eksekusinya selalu butuh validasi dari publik. Jika, (ide dan eksekusi) tidak menarik, perusahaan rintisan bidang teknologi ya tidak akan pivot," ujar Sonny.
Sayangnya, pemahaman seperti itu hingga sekarang belum sepenuhnya disadari oleh anak muda, walaupun kisah-kisah kegagalan perusahaan rintisan bidang teknologi sudah banyak diberitakan. Co-Founder dan CEO Gojek Kevin Aluwi merasa, banyak anak muda cenderung hanya melihat kisah sukses perusahaan rintisan bidang teknologi menjadi perusahaan berskala besar.
Salah satu momen yang membekas terjadi pada kurun waktu 2015 - 2016. Pada periode itu, Gojek sedang tumbuh cepat dan pesat, tetapi beberapa kali hampir bangkrut karena kehabisan uang.
Di balik kesuksesan Gojek yang kini punya perusahaan vertikal integrasi dengan Tokopedia, yaitu, GoTo, Kevin mengungkapkan sejumlah momen kegagalan. Salah satu momen yang membekas terjadi pada kurun waktu 2015 - 2016. Pada periode itu dia mengakui Gojek sedang tumbuh cepat dan pesat, tetapi beberapa kali hampir bangkrut karena kehabisan uang.
Senada dengan Sonny, berdasarkan pengalamannya, hal pertama yang harus diketahui oleh anak muda yang berniat membangun perusahaan rintisan bidang teknologi adalah menemukan masalah masyarakat. Kriteria masalahnya pun harus spesifik dan telah akut dikeluhkan banyak warga.
Setelah itu merumuskan solusi. Produk harus selalu menjadi jalan keluar dari problem yang dirasakan masyarakat. Di fase ini, menurut Fajrin, anak muda semestinya tidak tergesa-gesa mencari dana ke investor atau bank.
"Pengalaman saya ikut mengembangkan Bukalapak, ketika solusi produk tercetus, tim harus terbentuk. Tapi mencari anggota tim yang mau diajak kerja sama tidak mudah. Susahnya adalah mencari sosok yang bisa melengkapi kemampuan dan keterampilan teknologi digital agar ide solusi bisa terealisasi," kata dia.
Berbicara mengenai keterampilan teknologi digital, lanjut Fajrin, anak muda yang ingin mendirikan perusahaan rintisan bidang teknologi tidak harus memiliki secara spesifik keahlian itu. Akan tetapi, individu bersangkutan perlu punya pengetahuan dan pemahaman terkait keterampilan digital, seperti analisa data berukuran besar dan pemasaran digital.
Meski demikian, dia memandang, apabila seorang anak muda punya keahlian lain lalu ditambah spesifik bidang teknologi digital itu akan lebih bagus. Dia lantas mencontohkan gagasan produk teknologi kesehatan. Jika pendirinya punya pendidikan kedokteran sekaligus keterampilan bidang teknologi digital, Fajrin menilai hal itu adalah nilai tambah yang positif.
"Apa yang saya rasakan selama lebih dari lima tahun di perusahaan rintisan bidang teknologi, saya benar-benar dituntut fleksibel terbuka belajar hal-hal baru dari pemasaran digital, analisa, sampai manajemen produk, meskipun, ada tim lain yang khusus mengerjakan bidang-bidang tersebut," tegas dia.
Apa yang saya rasakan selama lebih dari lima tahun di perusahaan rintisan bidang teknologi, saya benar-benar dituntut fleksibel terbuka belajar hal-hal baru dari pemasaran digital, analisa, sampai manajemen produk, meskipun, ada tim lain yang khusus mengerjakan bidang-bidang tersebut.
Pandangan senada disampaikan oleh Kevin. Mental seperti itu perlu dibentuk. Salah satunya dengan membudayakan membaca dan menganalisa data (data driven).
"Kalaupun sudah punya kemampuan itu, dia harus fleksibel bekerja sama dengan orang di fungsi (divisi) lain," tutur dia.
Dengan memiliki sikap seperti itu, menurut Kevin, anak muda juga akan belajar bahwa mendirikan ataupun mau bergabung ke tim di perusahaan rintisan bidang teknologi selalu siap menghadapi duka. Salah satu wujudnya berupa kegagalan.
Adapun Sonny berpandangan, anak muda sekarang dimudahkan mendirikan perusahaan rintisan bidang teknologi karena ekosistem industri digital di Indonesia semakin matang. Ini ditandai oleh semakin maraknya program pembinaan dan akselerasi bisnis usaha rintisan yang datang dari pemerintah, swasta, ataupun kolaborasi keduanya. Akses pendanaan juga semakin mudah diperoleh yang ditandai oleh kemunculan perusahaan modal ventura masuk ke tanah air.
Anak muda tidak perlu khawatir. Informasi pembinaan dan pendanaan melimpah. Sebanyak 40 persen pasar ekonomi digital di Asia Tenggara berada di Indonesia. Pandemi Covid-19 dengan segala permasalahannya memicu adopsi digital semakin tinggi.
"Artinya, masih banyak peluang ide solusi teknologi dibuat oleh anak muda. Namun, mereka harus sadar bahwa semakin matang ekosistem industri digital Indonesia berarti kompetisi sesama pemain semakin ketat," imbuh Sonny.