Bantuan pembiayaan rumah bersubsidi tidak mencukupi kebutuhan masyarakat berpenghasilan rendah untuk mengakses rumah. Dampaknya, rumah subsidi berpotensi tak terserap.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pasokan rumah bersubsidi untuk masyarakat berpenghasilan rendah diprediksi tidak sepenuhnya terserap tahun ini. Program bantuan pembiayaan rumah subsidi yang dialokasikan pemerintah masih belum mencukupi permintaan masyarakat, meskipun daya beli masyarakat selama pandemi cenderung menurun.
Pemerintah telah menggulirkan sejumlah skema bantuan pembiayaan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Tahun ini, bantuan pembiayaan perumahan untuk 222.876 unit. Bantuan itu terdiri dari empat program. Program tersebut adalah Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) Rp 16,6 triliun untuk 157.500 unit disertai dengan subsidi bantuan uang muka Rp 630 miliar.
Berikutnya, bantuan pembiayaan perumahan berbasis tabungan (BP2BT) Rp 1,6 triliun untuk 39.996 unit. Sementara tabungan perumahan rakyat (tapera) dari dana masyarakat senilai Rp 2,8 triliun untuk 25.380 unit.
Sekretaris Jenderal Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Daniel Djumali mengemukakan, alokasi FLPP sebanyak 157.000 unit dinilai tidak mencukupi kebutuhan masyarakat berpenghasilan rendah untuk memiliki rumah bersubsidi. Ia memprediksi, dampak kekurangan kuota pembiayaan rumah bersubsidi akan terlihat mulai Agustus 2021.
Di sisi lain, kekurangan kuota pembiayaan rumah subsidi itu akan semakin mengganggu arus kas pengembang rumah bersubsidi apabila akad kredit menjadi tertunda. ”Pemerintah perlu mengantisipasi terjadinya kekurangan kuota pembiayaan rumah bersubsidi. Apalagi di tengah situasi sulit PPKM,” kata Daniel, Jumat (16/7/2021).
Direktur Utama Pusat Pengelolaan Dana Pembiayaan Perumahan (PPDPP) Arief Sabaruddin mengemukakan, selama semester I (Januari-Juni) 2021, jumlah pendaftar FLPP untuk 196.242 unit. Ini melampaui kemampuan fiskal pemerintah untuk FLPP tahun ini sebanyak 157.500 unit. Adapun realisasi FLPP per 16 Juli sudah 98.001 unit rumah atau 62,2 persen dari target.
Kelebihan pendaftar FLPP itu diprediksi menyebabkan ada kelompok sasaran yang tidak terlayani.
Kelebihan pendaftar FLPP itu diprediksi menyebabkan ada kelompok sasaran yang tidak terlayani. ”Kami melayani kelompok sasaran tidak hanya yang terdaftar pada 2021, tetapi juga kelanjutan (carry over) dari 2020 dan 2019,” kata Arief, dalam diskusi Prolab Property ”Apa Kabar Rumah Rakyat”, Kamis malam.
Arief mengakui, masa pandemi Covid-19 ditenggarai menurunkan daya beli masyarakat dan permintaan rumah bersubsidi. Dalam kondisi pandemi dan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyaraat (PPKM) darurat, pengajuan skema bantuan rumah bersubsidi hanya 1.200-1.400 pendaftar per hari. Jumlah itu menurun dibandingkan pendaftar harian pada awal 2021 sekitar 2.000 pendaftar per hari. Sebelum pandemi di awal tahun 2020, rata-rata pendaftar rumah subsidi 2.500-3.000 orang per hari.
Adapun jumlah rumah tapak subsidi yang ditawarkan pengembang 457.765 unit. Ketersediaan anggaran pemerintah untuk pembiayaan perumahan hanya 222.876 unit. Oleh karena itu, pihaknya memprediksi masih ada pasokan rumah subsidi pengembang yang tak terserap. ”Sekitar 50 persen rumah yang ditawarkan pengembang tidak akan terserap tahun ini,” ujar Arief.
Di sisi lain, ia menyoroti masih terdapat sejumlah temuan terkait persoalan kualitas bangunan. Pemerintah berperan memastikan rumah bersubsidi memenuhi persyaratan administrasi dan teknis bangunan, melalui pengawasan tata bangunan dan keandalan bangunan untuk kepentingan keselamatan dan kesehatan penghuni.
”Masih banyak perumahan subsidi tidak memenuhi persyaratan teknis. Anggaran (bantuan pembiayaan perumahan) tahun ini Rp 19,1 triliun harus dipertanggungjawabkan kepada negara. Maka harus tepat sasaran dan tepat kualitas,” ujar Arief.
Pembiayaan bergeser
Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Eko D Heripoerwanto mengemukakan, ekosistem pembiayaan perumahan bersubsidi untuk masyarakat direncanakan berubah, sehingga pembiayaan rumah bersubsidi jangan hanya difokuskan pada Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP).
Eko menambahkan, perubahan struktur pembiayaan diarahkan ke tapera. Saat ini, proyek inisiasi penyaluran pembiayaan tapera tengah dilakukan oleh Badan Pengelola (BP) Tapera, Bank Tabungan Negara, dan Perum Perumnas sejumlah 11.000 unit, dan sampai akhir tahun diharapkan bisa mencapai 56.000 unit.
Pemerintah juga berencana melebur skema FLPP yang saat ini dipegang oleh Pusat Pengelolaan Dana Pembiayaan Perumahan (PPDPP) ke BP Tapera. Meski, saat ini cakupan tapera baru melayani aparatur sipil negara.
”Ekosistem pembiayaan perumahan akan berubah, dalam 2-3 tahun ke depan diharapkan berjalan. Jangan hanya fokus pada serapan FLPP, karena masih ada skema (pembiayaan) lain. Pengembang perlu menyesuaikan diri dengan ekosistem yang baru,” kata Eko.