Momentum Pariwisata Ramah Muslim di Kala Pandemi
Sejumlah gagasan dalam konsep pariwisata ramah Muslim tetap selalu relevan, bahkan di tengah normal baru karena pandemi Covid-19.
Pariwisata ramah Muslim menjadi konsep yang kini jamak disebut di kalangan industri pariwisata. Konsep ini dirasa bisa diterima oleh pelaku usaha ataupun wisatawan. Di tengah pandemi Covid-19 yang masih berlangsung, konsep ini semakin menemukan momentumnya.
Direktur Industri Produk Halal Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) Afdhal Aliasar, Rabu (1/7/2021), di Jakarta, menjelaskan, sebelumnya ada konsep pariwisata halal. Namun, konsep ini menjadi perdebatan dan memicu multiinterpretasi. Misalnya, implementasi ”halal” dalam konsep pariwisata tak jarang membingungkan wisatawan.
Pariwisata ramah Muslim dinilai lebih pas dan inklusif. Mengutip laporan riset Global Muslim Travel Index 2019 yang disusun MasterCard-Crescentrating (April 2019), wisatawan Muslim, seperti konsumen lainnya, tidak homogen dalam memenuhi kebutuhan berbasis agama. Kebutuhan ini umumnya dikelompokkan dalam kategori ”perlu dimiliki”, ”bagus untuk dimiliki”, dan ”senang dimiliki” untuk membantu penyedia layanan memprioritaskan implementasi.
Kategori ”perlu dimiliki” mencakup layanan makanan halal dan fasilitas shalat, sedangkan kategori ”bagus untuk dimiliki” terdiri dari fasilitas berbuka puasa dan ruang bersuci (washroom) dengan kecukupan air. Adapun kategori ”senang dimiliki” meliputi ketiadaan aktivitas non-halal serta fasilitas dan jasa rekreasi.
Dalam perkembangannya, MasterCard-CrescentRating menemukan tiga kebutuhan baru yang mesti ada dalam pariwisata ramah Muslim, yakni tidak ada fobia Islam, penyebab sosial, dan pengalaman Muslim lokal. Penyedia usaha jasa pariwisata, termasuk perhotelan, perlu memenuhi kebutuhan tersebut.
Tiga kebutuhan baru yang mesti ada dalam pariwisata ramah Muslim, yakni tidak ada fobia Islam, penyebab sosial, dan pengalaman Muslim lokal. Penyedia usaha jasa pariwisata, termasuk perhotelan, perlu memenuhi kebutuhan tersebut.
Dalam laporan riset Global Muslim Travel Index (GMTI) 2019 disebutkan, pada 2018, diperkirakan ada 140 juta kunjungan wisatawan Muslim internasional. Diprediksi, ada 230 juta jumlah kunjungan pada tahun 2026. Laporan Perjalanan Muslim Digital Mastercard-Crescentrating 2018 memperkirakan bahwa wisatawan Muslim akan menghabiskan 180 miliar dollar AS pada tahun 2026 untuk pembelian perjalanan daring.
Tidak banyak perubahan pada negara-negara tujuan atau destinasi (inbound) pariwisata ramah Muslim terbaik dibandingkan dengan laporan GMTI 2018. Sepuluh tujuan teratas non-anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) tetap sama, antara lain Spanyol, Perancis, dan Rusia. Sepuluh tujuan teratas ini menyumbang 22 persen dari destinasi pariwisata ramah Muslim. Iran, Uzbekistan, dan Indonesia masuk dalam sepuluh besar negara tujuan OKI dan menyumbang 36 persen dari total destinasi pariwisata ramah Muslim.
GMTI 2019 menempatkan Malaysia di posisi teratas bersama Indonesia sebagai destinasi pariwisata ramah muslim. Peningkatan peringkat Indonesia mencerminkan upaya mereka mendidik industri tentang peluang yang disajikan oleh pasar perjalanan Muslim. Sebelumnya, Indonesia berada di peringkat kedua pada 2018 dan ketiga pada 2017.
Namun, GMTI tahun ini menurunkan posisi Indonesia ke peringkat ke-4 dalam daftar destinasi wisata ramah Muslim. Faktor kesiapan industri pariwisata menghadapi pandemi Covid-19 menjadi salah satu pertimbangan pada pengukuran kali ini. Indikator ini antara lain mencakup pencegahan, deteksi, dan kontrol Covid-19.
Kesadaran yang sama
Afdhal mengatakan, hal terpenting dalam pengembangan pariwisata ramah Muslim adalah adanya kesadaran yang sama antara pemerintah daerah dan pelaku usaha jasa pariwisata tentang karakteristik wisatawan, baik mancanegara maupun nusantara. Dengan demikian, mereka bisa memberikan pelayanan kebutuhan wisatawan ramah Muslim secara optimal. Hal seperti inilah yang menurutnya kerap kurang maksimal terimplementasi di Indonesia.
”Wisatawan mancanegara yang kebetulan Muslim datang ke Sumatera Barat. Pelaku industri pariwisata di sana kan tidak mungkin setiap hari menyajikan rendang kepada mereka. Harus tahu kebiasaan wisatawan bersangkutan sesuai asal negaranya,” kata Afdhal.
Indonesia sendiri sempat memiliki pengukuran serupa GMTI yang dinamakan Indonesia Muslim Travel Index (IMTI) dengan sasaran destinasi yang dianggap masuk kategori pariwisata ramah Muslim. Ada sepuluh destinasi, yaitu Lombok (Nusa Tenggara Barat), Aceh, Riau dan Kepulauan Riau, Jakarta, Sumatera Barat, Jawa Barat, Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur (Malang area), dan Sulawesi Selatan (Makassar dan sekitarnya).
Pada IMTI 2019, lima destinasi yang meraih skor IMTI teratas adalah Lombok, Aceh, Riau dan Kepulauan Riau, Jakarta, serta Sumatera Barat.
Pengukuran seperti itu menindaklanjuti tonggak sejarah pengembangan pariwisata halal di Indonesia yang dimulai sejak Desember 2012 dengan melakukan peluncuran pariwisata syariah. Ini berlanjut pada tahun 2013, bekerjasama dengan Majelis Ulama Indonesia menyelenggarakan Global Halal Forum yang dihadiri perwakilan lebih dari 25 negara.
Kemudian, pada 2014 telah ditetapkan Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor 2 Tahun 2014 tentang Pedoman Penyelenggaraan Usaha Hotel Syariah yang bertujuan memberikan panduan bagi industri hotel untuk menyediakan fasilitas dan pelayanan yang sesuai dengan ketentuan syariah.
Langkah strategis Kementerian Pariwisata berlanjut pada 2018 dengan menetapkan 10 destinasi unggulan pariwisata halal di Indonesia yang meliputi Provinsi Aceh, Sumatera Barat, Riau dan Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Selatan. Langkah strategis ini kemudian dilanjutkan dengan penandatanganan MOU antara Kementerian Pariwisata dan 16 pemerintah daerah terkait pengembangan pariwisata halal di Indonesia.
Direktur Wisata Minat Khusus Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf/Baparekraf) Alexander Reyaan, secara terpisah, mengatakan, pemajuan pariwisata ramah Muslim tidak lagi berbasis destinasi. Pengelompokkan daerah dengan embel-embel ”destinasi pariwisata halal” dianggap kurang ideal untuk jangka panjang.
Pemajuan pariwisata ramah Muslim tidak lagi berbasis destinasi. Pengelompokkan daerah dengan embel-embel ”destinasi pariwisata halal” dianggap kurang ideal untuk jangka panjang.
”Pendekatan kami sekarang, gagasan pariwisata halal merujuk pada seperangkat layanan tambahan (extended services) terkait amenitas, daya tarik wisata, dan aksesibilitas yang ditujukan dan diberikan untuk memenuhi pengalaman, kebutuhan, dan keinginan wisatawan Muslim,” katanya.
Layanan tambahan yang dimaksud tetap mengacu ke kategori kebutuhan ”perlu dimiliki”, ”bagus untuk dimiliki”, dan ”senang dimiliki”. Jasa usaha pariwisata berupa hotel yang punya target pasar wisatawan Muslim harus memenuhi tiga kebutuhan itu.
Dengan kata lain, Alexander mengatakan bahwa kebijakan Kemenparekraf/BPEK menguatkan konsep pariwisata ramah Muslim. Gagasan ”halal” lebih diterapkan ke produk, bukan ke destinasi, misalnya makanan-minuman halal yang disajikan oleh restoran di hotel.
Pada 5 Mei 2021, Kemenparekraf/BPEK menandatangani nota kerja sama dengan Badan Pengelola Masjid Istiqal (BPMI). Ruang lingkupnya terdiri dari penelitian pariwisata ramah Muslim, promosi, dan fasilitasi akses pembiayaan.
Kemenparekraf juga telah menyusun dan menetapkan Rencana Strategis Pengembangan Pariwisata Halal Tahun 2019-2024 serta Panduan Penyelenggaraan Pariwisata Halal yang diharapkan mampu memperkuat pemahaman tentang pariwisata halal bagi pelaku industri pariwisata di Indonesia sekaligus menjadi petunjuk.
Baca juga: Banda Aceh Diminta Garap 55 Juta Wisatawan Muslim Nusantara
Pandemi Covid-19
Baca juga: Wisata Halal Jadi Opsi Sumber Pertumbuhan Ekonomi
Di tengah pandemi Covid-19, Afdhal menilai gagasan-gagasan di balik konsep pariwisata ramah Muslim semakin relevan. Sebagai contoh, kebutuhan dengan toilet bersih dengan air lancar. Kebutuhan ini sejalan dengan protokol kesehatan Covid-19.
Begitu pula dengan makanan-minuman halal yang sedari awal menekankan higienitas. Pelaku industri produk makanan-minuman yang telah mengantongi sertifikasi produk halal menyadari bahwa halal merupakan reputasi. Dengan adanya pandemi Covid-19, siapa pun warga, termasuk wisatawan, mencari makanan dan minuman yang sehat yang artinya diproses dengan benar, bersih, dan higienitas.
”Konsep pariwisata ramah Muslim bersifat inklusif. Artinya, siapa pun latar belakang agama dan keyakinan sebenarnya cocok dengan konsep itu, apalagi era sekarang. Ketersediaan makanan dan minuman halal ataupun toilet bersih dengan kelancaran air bersih di destinasi bisa dinikmati siapa saja, tidak harus wisatawan beragama Islam,” katanya.
Konsep pariwisata ramah Muslim bersifat inklusif. Artinya, siapa pun latar belakang agama dan keyakinan sebenarnya cocok dengan konsep itu, apalagi era sekarang.
Namun, dengan konsep pariwisata ramah Muslim, Afdhal memandang, sertifikasi hotel halal bukan solusi. Sertifikasi hotel halal boleh saja diterapkan. Hanya saja, penerapan sertifikasi hotel halal ini juga berpotensi mendorong pariwisata menjadi eksklusif.
Seperti diketahui, sampai saat ini, terdapat proses sertifikasi hotel syariah yang mengacu pada fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 108 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pariwisata Berdasarkan Prinsip Syariah. Sejumlah hotel di Indonesia telah mengantongi sertifikasi hotel syariah, antara lain Hotel Sofyan, Grand Dafam Q Hotel Banjarbaru Banjarmasin, dan Hotel Dafam Fortuna Malioboro Yogyakarta.
Sisanya, hotel lain memutuskan klaim sendiri bahwa manajemennya menganut prinsip pariwisata ramah Muslim. Salah satu tandanya terlihat dari sertifikasi halal makanan dan minuman di restoran mereka.
Alexander pun mempunyai pendapat senada. Strategi pengembangan produk pariwisata ramah Muslim dari Kemenparekraf/BPEK senada dengan pariwisata pada umumnya, yaitu terdiri dari pilar adaptasi (pemulihan pariwisata), inovasi (diversifikasi dan digitalisasi), dan kolaborasi. Untuk pilar adaptasi, secara khusus, dia menjelaskan arahan kebijakannya, pelaku industri pariwisata ramah Muslim tetap disiplin menerapkan protokol kesehatan.
”Berinovasi berarti memperkuat pariwisata berbasis digital dengan memaksimalkan penggunaan teknologi digital untuk promosi. Kolaborasi berarti menjalankan kerja sama dengan akademisi, pelaku bisnis, pemerintah, media, dan komunitas,” imbuh Alexander.
Berinovasi berarti memperkuat pariwisata berbasis digital dengan memaksimalkan penggunaan teknologi digital untuk promosi. Kolaborasi berarti menjalankan kerja sama dengan akademisi, pelaku bisnis, pemerintah, media, dan komunitas
Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Perkumpulan Pariwisata Halal (PPHI) Riyanto Sofyan saat dihubungi Selasa (29/6/2021), di Jakarta, mengatakan, dengan adanya pembatasan sosial karena pandemi Covid-19, pariwisata ramah Muslim akan kesusahan jika hanya mengandalkan wisatawan mancanegara. Sama seperti pariwisata pada umumnya, pariwisata ramah Muslim perlu memperkuat pelayanan wisatawan nusantara/domestik.
Menurut dia, apabila dihitung nilai pasar, belanja wisatawan mancanegara mencapai sekitar 16 miliar dollar AS dan 20 persen di antaranya dari wisatawan Muslim. Sementara wisatawan Nusantara mencapai 17-18 miliar dollar AS dan 80 persen di antaranya dari wisatawan Muslim.
”Kita perlu meningkatkan ataupun memperbaiki suplai pariwisata ramah Muslim untuk wisatawan Muslim Nusantara, seperti produk wisata berbasis alam terbuka atau glamping dan desa ramah wisata Muslim. Kita bisa menguatkan promosi berkolaborasi dengan penyedia agen perjalanan daring (OTA). Pergerakan wisatawan Nusantara bisa berjalan lancar asal tidak ada penyekatan (pembatasan sosial),” ujar Riyanto.
Selama pandemi Covid-19 pula, upaya yang tetap bisa dijalankan pelaku industri ramah Muslim bersama pemerintah adalah penguatan kapasitas dan mutu produk yang mendukung pemenuhan kebutuhan pariwisata ramah Muslim. Sebagai contoh, penerapan protokol kesehatan berbasis kebersihan, kesehatan, keamanan, dan kelestarian lingkungan (CHSE). Contoh lain, asistensi ke pemerintah daerah terkait penerapan pedoman pariwisata ramah Muslim yang salah satunya menyasar pada produk makanan-minuman halal.
Dia mengakui, sampai sekarang terdapat sejumlah hotel melakukan klaim mandiri manajemennya menerapkan pariwisata halal ataupun konsep pariwisata ramah Muslim. Sementara di masyarakat, tidak semuanya paham konsep itu. Oleh karena itu, PPHI berpendapat tetap harus diselenggarakan sosialisasi pedoman penyelenggaraan pariwisata ramah Muslim.
”Hotel yang sudah menganut syariah sesuai fatwa MUI 108 tetap berlanjut proses pengurusan baru ataupun perpanjangan sertifikasinya,” ujarnya.
Di luar suplai produk dan kapasitas pelaku pariwisata ramah Muslim, Riyanto memandang pengusaha pariwisata ramah Muslim sekarang juga bertahan hidup di tengah pandemi Covid-19. Masing-masing mengusahakan berbagai cara agar tidak ada pemutusan hubungan kerja karyawan. Untuk itu, antara lain dipromosikan penyelenggaraan layanan kebutuhan pertemuan dan staycation wisatawan berkeluarga.
Direktur PT Metropolitan Golden Management (Horison Group) Basari Bachri, saat dihubungi Rabu (30/6/2021), di Jakarta, mencontohkan, Hotel Aziza Horison Solo yang telah menerapkan syariah selama pandemi Covid-19 tetap mempunyai okupansi yang positif. Sampai Juni 2021, tingkat okupansinya masih berkisar 42 persen. Jaringan hotel Horison Group lainnya yang reguler, di luar Bali, juga masih meraih okupansi rata-rata 62 persen.
Menurut Basari, implementasi konsep pariwisata ramah Muslim menjadi faktor penyebab okupansi hotel di Horison Group masih positif. Konsep itu sejalan dengan beberapa substansi protokol kesehatan Covid-19, seperti ketersediaan air bersih untuk cuci tangan.