IPO Perusahaan Teknologi Besar Akan Majukan Pasar Modal Indonesia
Penawaran umum saham perdana perusahaan teknologi berstatus ”unicorn” di bursa saham Indonesia akan mampu memikat investor asing masuk ke Tanah Air.
Oleh
Mediana
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perusahaan teknologi nasional yang melakukan penawaran umum saham perdana di Bursa Efek Indonesia berpotensi menarik lebih banyak investor asing dan ritel. Instrumen investasi lain yang ada di pasar modal juga akan bisa menikmati penciptaan nilai.
Managing Director PT Mandiri Sekuritas Silva Halim di sela-sela webinar ”Menanti IPO Perusahaan Big Tech”, Kamis (15/7/2021), di Jakarta, menyampaikan hal tersebut. Instrumen lain pasar modal yang dia maksud antara lain berupa reksa dana.
Kendala aktivitas ekonomi berbasis internet di Indonesia tidak lagi menjadi isu besar. Penetrasi pengguna internet telah mencapai lebih dari setengah populasi penduduk. Sebanyak 37 persen konsumsi layanan digital datang dari pengguna baru yang 56 persen di antaranya berasal dari kota kecil.
Hampir 90 persen nasabah layanan keuangan terbiasa bertransaksi melalui internet. Warga yang dulunya tergolong kategori tidak memiliki rekening bank ataupun sudah mempunyai, tetapi belum mendapat layanan bank maksimal, lalu memiliki ponsel pintar, mereka akan cepat beradaptasi bertransaksi e-dagang.
Selain perusahaan teknologi bervaluasi satu miliar dollar AS (unicorn) dan bervaluasi sepuluh miliar dollar AS (decacorn), Silva menyebutkan, Indonesia memiliki sejumlah perusahaan rintisan bidang teknologi yang mempunyai kinerja bagus dan siap mengejar pertumbuhan, seperti perusahaan teknologi berstatus unicorn ataupun decacorn. Mereka berlatar belakang sektor pendidikan, kecantikan, dan kesehatan.
Amazon, misalnya, memerlukan waktu enam tahun setelah penawaran umum saham perdana (IPO). Contoh lain ialah Tesla yang baru membukukan keuntungan sepuluh tahun setelah 10 tahun IPO.
Berdasarkan pengalaman perusahaan teknologi yang sudah melantai di bursa saham, Silva menjelaskan bahwa mereka butuh waktu untuk memperoleh keuntungan. Amazon, misalnya, memerlukan waktu enam tahun setelah penawaran umum saham perdana (IPO). Contoh lain ialah Tesla yang baru membukukan keuntungan sepuluh tahun setelah 10 tahun IPO.
Penyebabnya ialah perusahaan teknologi bersangkutan harus terlebih dulu meningkatkan skala bisnis, membentuk ekosistem produk, dan mempunyai basis pelanggan loyal. Dengan demikian, investor asing ataupun ritel akan percaya.
CEO Citibank Indonesia Batara Sianturi mengatakan, suntikan pendanaan investor asing ke perusahaan rintisan bidang teknologi di Asia Tenggara telah mencapai lebih dari 40 miliar dollar AS. Nilai ini tidak termasuk perusahaan yang akan melantai di bursa saham dan GoTo.
Suntikan pendanaan investor asing ke perusahaan rintisan bidang teknologi di Asia Tenggara telah mencapai lebih dari 40 miliar dollar AS. Nilai ini tidak termasuk perusahaan yang akan melantai di bursa saham dan GoTo.
Pandemi Covid-19 memberikan berkah bagi industri teknologi digital di Asia Tenggara. Konsumsi layanan di platform e-dagang sampai transaksi di aplikasi teknologi finansial meningkat. Suntikan investasi ke perusahaan rintisan pun tetap berjalan.
”Dengan adanya beberapa perusahaan teknologi besar akan IPO, apalagi di Indonesia, kami juga optimistis semakin banyak investor masuk ke Tanah Air. Itu berdampak positif ke pasar saham Indonesia,” ujar Batara.
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Hoesen menyampaikan, OJK menyadari masih banyak infrastruktur pendukung yang diperlukan, baik dari sisi regulasi, kebijakan, maupun sistem.
Untuk regulasi, dia menyebut perlu penyempurnaan, seperti menyangkut persyaratan IPO yang harus mencatatkan laba dan penerapan dual-class of share (DCS) dengan multiple voting shares (MVS). DCS merupakan struktur permodalan saham kelas ganda yang melibatkan paling sedikit dua klasifikasi saham berbeda. Sementara MVS merupakan suatu jenis saham yang memiliki lebih dari satu hak suara untuk setiap lembar saham.
”Regulasi seperti itu untuk melindungi visi dan misi perusahaan, memperhatikan pemegang saham minoritas, serta menyeimbangkan kepentingan perusahaan teknologi yang menyandang gelar unicorn atau decacorn dengan investor publik,” kata Hoesen.
Komisaris Bursa Efek Indonesia (BEI) Pandu P Sjahrir mengatakan, secara infrastruktur, IPO perusahaan unicorn ataupun decacorn harus disiapkan secara matang.
”Kami (BEI) siap menyambut IPO unicorn. Kalau ditanya mengenai antusias investor, kami mengamati generasi milenial sangat antusias berinvestasi ketika mereka tahu akan ada kabar unicorn akan IPO di BEI. Hal ini sebenarnya sejalan dengan generasi muda yang semakin banyak mau berinvestasi di instrumen pasar modal dalam beberapa tahun terakhir,” ujarnya.