Pembubaran Lembaga Adhokrasi
Ada tiga agenda bagi pemerintah. Yakni, menetapkan kriteria, menyiapkan tim evaluasi kelembagaan berkualitas dan berintegritas, dan melakukan evaluasi menyeluruh lembaga-lembaga pemerintahan auksiliari tanpa terkecuali.

Awal Juni 2021, Presiden Jokowi mengirim sinyal untuk kembali menerbitkan kebijakan pembubaran sejumlah lembaga pemerintah demi perampingan birokrasi. Hanya disebut, akan dibubarkan tiga lembaga yang ada pada satu kementerian. Namun, begitu muncul isu bahwa yang hendak dibubarkan adalah Dewan Pers, Komisi Penyiaran Indonesia, dan Badan Aksebilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti), Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) segera membantah, dan sinyal itu nampaknya meredup.
Lima puluh tiga
Sejak memimpin pemerintahan, Presiden Jokowi secara total telah menerbitkan enam kebijakan untuk membubarkan 53 lembaga pemerintahan.
Peraturan Presiden (Perpres) No 176 Tahun 2014 membubarkan 10 lembaga, Perpres No 16 Tahun 2015 membubarkan dua lembaga, Perpres 116 Tahun 2016 membubarkan sembilan lembaga, Perpres 124 Tahun 2016 membubarkan satu lembaga, Perpres 21 Tahun 2017 membubarkan satu lembaga, dan melalui Perpres 82 Tahun 2020 dibubarkan18 lembaga.
Terakhir, melalui Perpres 112 Tahun 2020, dibubarkan 10 lembaga, yaitu Dewan Riset Nasional (DRN), Dewan Ketahanan Pangan (DKP), Badan Pengembangan Wilayah Surabaya -Madura (BPWS), Badan Standardisasi dan Akreditasi Nasional Keolahragaan (BSANK), Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI), Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN), Badan Pertimbangan Telekomunikasi (BPT), Komisi Nasional Lanjut Usia (Komnas Lansia), Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI), Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI).
Kecuali Badan Pertimbangan Telekomunikasi (BPT), yang didirikan pada era Orde Baru, seluruh lembaga yang dibubarkan lainnya adalah produk Orde Reformasi dan pasca-reformasi. Dari seluruh presiden, era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang paling banyak mendirikan lembaga yang banyak disebut sebagai “lembaga negara auksiliari”.
Pada hemat saya, yang dimaksud “lembaga negara” tersebut seharusnya adalah “lembaga pemerintahan”, karena tugas dan pertanggungjawabannya kepada Eksekutif.
Sementara lembaga negara terbatas kepada “Trias Politika” plus-plus, yaitu Eksekutif-Legislatif-Yudikatif, plus lembaga Akuntatif, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), plus lembaga keuangan negara, yaitu Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Beberapa lembaga lain, seperti Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Pemilihan Umu (KPU), dan Ombudsman Republik Indonesia (ORI), cenderung berada pada ranah “abu-abu”, kluster “plus” ketiga dari Trias Politika ala Indonesia.
Model pembuatan kebijakan
Ada pendapat, bahwa bertaburannya lembaga pemerintah “tambahan” atau auksiliari mencerminkan model pembuatan kebijakan (policy making) dari Presiden sebagai penentu kebijakan tertinggi (top policy maker /TPM).
TPM yang deliberatik — yaitu percaya bahwa pembuatan kebijakan melalui proses jejaring publik adalah yang terbaik, sebagai konsekuensi berubahnya prinsip government menjadi governance (Marten Hajer & Hendrik Wagenar, Deliberative Policy Analysis: Understanding Governance in the Network Societies, 2003)— menyukai pembentukan lembaga adhokrasi-auksiliari.
Sementara TPM yang institusionalis, atau menggantungkan kepada kewenangan kelembagaan pemerintah, cenderung meniadakan lembaga auksiliari, kembali ke penguatan lembaga pemerintah yang ada atau birokrasi.
Dari sini, publik dapat memahami karakter policy makers-nya. Pertanyannya, mana yang lebih baik. Atau, tepatnya, mana yang lebih efektif. Atau, dalam bahasa ringkas: lebih baik mana: banyak lembaga pemerintah auksiliari atau sedikit, atau kalau perlu tidak ada?
Publik biasanya terjebak pada pertanyaan ini, kemudian membanding-bandingkan presiden-presidennya, dan kemudian para makelar politik menjadikan sebagai “amunisi” untuk saling menembaki “lawan”-nya. Ini yang tidak perlu menjadi wacana hari ini.
Birokrasi dan adhokrasi
Warren Bennis dalam The Temporary Society (1968), kemudian Alvin Toffler dalam The Future Shock (1970), memperkenalkan adhocracy, sebagai antitesa bagi birokrasi. Sebuah organisasi yang sangat luwes, hierarki pendek, dan bersifat sementara. Sebuah premis yang ekstrem, yang menawarkan kematian bagi birokrasi.
Kebencian yang didasari bobroknya birokrasi di negara maju tahun 1970-an. Sebuah premis yang diperbaiki oleh “Bapak Manajemen” Peter Drucker dalam The New Realities (1989). Bagi Drucker, birokrasi atau pemerintah akan tetap ada, karena ada tugas-tugas yang tidak mungkin dilakukan selain pemerintah, yaitu tugas yang bersifat “suci” bagi masyarakat dan pekerjaan pelayanan publik yang ada sejak manusia belum lahir, lahir, hidup, mati, dan setelah mati.
Dus, bagi setiap negara, memang perlu ada keduanya. Pertama, birokrasi, sebagai organisasi yang ada selamanya, karena ada tugas pelayanan publik yang selamanya, yang tidak mungkin diganti oleh mekanisme pasar. Kedua, ada adhokrasi, organisasi yang bersifat sementara, khususnya dengan bentuk “semi pemerintah” atau auksiliari yang dibuat dengan misi melayani kepentingan publik atau kepentingan pemerintah yang sementara atau tak selamanya. Artinya, organisasi ini akan bubar jika misi atau alasan keberadaannya sudah dicapai.
Ini adalah model justifikasi pertama, yang dieksekusi dalam bentuk pembubaran Badan Pengembangan Wilayah Surabaya-Madura (BPWS) dan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo. Justifikasi model kedua adalah karena ada duplikasi tugas kementerian dan lembaga adhokrasi auksiliari.
Ini menjadi kritikal, karena keberadaan lembaga semi-pemerintah ini tidak membantu meningkatkan efektivitas kebijakan terkait dan menciptakan pemborosan anggaran negara secara sah. Model ini digunakan untuk membubarkan Badan Pertimbangan Telekomunikasi dan Dewan Ketahanan Pangan.
Namun di luar itu, model ketiga, adalah karena lembaga tersebut cenderung menjadi lembaga “partisan” yang “menyaingi” pemerintah. Ada lembaga adhokrasi auksiliari yang dianggap menjadi “perwakilan” kelompok kepentingan tertentu, sehingga akhirnya menghambat kebijakan yang baik dari pemerintah. Di masa lalu, salah satunya adalah lambatnya eksekusi kebijakan digitalisasi pertelevisian.
Kriteria
Jadi, ada tiga kriteria disarankan untuk membuat kebijakan pembubaran suatu organisasi pemerintahan adhokrasi auksiliari atau “semi pemerintah”. Pertama, kriteria ketercapaian misi, kedua kriteria duplikasi, dan ketiga kriteria kontestasi. Dengan kriteria ini, Presiden lebih memiliki dasar yang kuat untuk menetapkan kebijakannya.
Bagaimana dengan Dewan Pers, KPI, dan Bakti? Ketiganya perlu mengukur diri pada tiga kriteria tersebut. Apakah misinya sudah tercapai? Apakah ada duplikasi dengan pemerintah? Apakah pernah menjadi pesaing pemerintah? KPI cenderung berhadapan dengan kriteria tiga. Bakti cenderung dengan kriteria pertama, plus kecenderungan terkini membuka peran sebagai “operator” daripada perintis.
Dewan Pers? Ada kriteria khusus: relevansi. Pada saat media cetak semakin pasti tergusur karena hadirnya internet, lembaga ini perlu ditransformasikan ke bentuk baru yang lebih relevan. Kecuali pers sebagai media cetak mati, maka demikian pula Dewan Pers.
Dus, ada tiga agenda terkini bagi pemerintah. Yakni, menetapkan kriteria, menyiapkan tim evaluasi kelembagaan yang berkualitas dan berintegritas, dan melakukan evaluasi menyeluruh lembaga-lembaga pemerintahan auksiliari yang ada, tanpa kecuali. Tujuannya agar publik tahu, kapan lembaga-lembaga itu seharusnya dibubarkan, atau jika pun harus dilanjutkan sampai kapan dan mengapa. Karena tidaklah bijak, pemerintah membentuk lembaga yang kemudian menyandera mereka sendiri secara anggaran, pelaksanaan tugas, dan tata kelola yang baik.
Riant Nugroho Ketua Umum Masyarakat Kebijakan Publik Indonesia