Dengan ”ngerujak”, kita akan lebih tangguh menahan rasa pedas, tabah menahan asam, sabar menahan rasa asin, dan bersukacita bersama menangguk rasa manis.
Oleh
Dwi Bayu Radius, Riana A Ibrahim, Putu Fajar Arcana
·6 menit baca
Dalam sepiring rujak ada rasa asam, pedas, asin, dan manis. Inilah kecapan rasa yang mewakili pasang surut kehidupan. Oleh sebab itu, jika ingin ”ngerujak” alias rujakan, harus dilakukan secara bersama-sama (kecuali saat pandemi). Kita akan lebih tangguh menahan rasa pedas, tabah menahan asam, sabar menahan asin, dan bersukacita bersama menangguk rasa manis.
Racikan rujak cuka bali berisi irisan buah, seperti mangga muda, pepaya mengkal, mentimun, bengkuang, dan kedondong yang disiram kuah dari cuka kelapa. Cuka dibuat dari tuak kelapa yang disimpan selama 2-3 hari dalam guci. Lalu, racikan itu dilengkapi bumbu-bumbu, seperti gula merah, terasi bakar, cabai, dan terkadang diberi ulekan pisang batu muda.
Soal kuah, ini menjadi penentu aroma dan rasa rujak. Selain cuka, ada rujak bali yang berkuah dari kaldu kuah ikan pindang. Dengan isian yang sama, rujak kuah pindang memiliki cita rasa sedikit berbeda. Ada dominasi rasa kaldu pindang berempah di tengah rasa asam, pedas, asin, dan manis.
Kedua jenis rujak ini, menurut penulis kebudayaan Bali, I Wayan Juaniarta, menjadi favorit warga Bali. Kedua rujak ini mudah ditemui di warung-warung di pinggir jalan sampai kafe-kafe yang khusus menyediakan aneka rujak.
Rasa asam, pedas, asin, dan manis itu, kata Juniarta, simbol dari pasang surut kehidupan manusia. ”Jadi, rujak enggak cuma makanan penyelia di jeda makan siang dan makan malam, tetapi kita juga diajarkan menghayati kehidupan. Karena itulah muncul istilah ngerujak, makan rujak bersama-sama,” katanya.
Warung rujak Bu Lely, di Banjar Tengah Sesetan, Denpasar, sudah ada sejak puluhan tahun. ”Tapi rujak kuah pindang selalu paling favorit,” katanya, Jumat (9/7/2021), di Denpasar. Setiap hari, ia bisa membuat sampai 15 porsi rujak pindang, 10 porsi rujak bulung boni dengan harga Rp 5.000-Rp 10.000 per porsi.
Nah, soal rujak bulung boni ini juga sesuatu yang berbeda. Bahan utamanya adalah rumput laut jenis hijau yang mirip dengan tangkai buah boni. Sebagian besar rujak bulung boni dijajakan di sekitar Denpasar Selatan atau daerah-daerah pesisir Bali selatan.
Kios cerita
Khazanah rujak menyimpan cerita pada kios-kios yang bertahan puluhan tahun. Tak sekadar hidangan selingan, santapan itu juga merefleksikan keguyuban.
Demi keguyuban itu, Sriyanto (56) sibuk menyiapkan Rujak Jangkung menjelang malam pada akhir April 2021. Ia adalah pemilik usaha Rujak Jangkung, sekompleks dengan bioskop Metropole XXI, Jakarta, tetapi tak lantas bertopang dagu. Bersama dua karyawannya, mereka menuntaskan pesanan untuk pengunjung yang ramai.
Rujak sudah siap disajikan sekitar lima menit saja setelah dipesan. Sepiring penuh buah-buahan yang padat didampingi secawan saus pekat berwarna coklat tua. Nanas, mangga, jambu kristal, belimbing, pepaya, bengkuang, dan semangka terlihat sangat menggiurkan.
Sedikit kecut buah-buahan itu berpadu dengan pedas, asam, sekaligus manis campuran pekat berwarna coklat tua yang terdiri dari asam, cabai, kacang tanah, garam, dan gula jawa. Jika sedang musim atau setiap Februari-Maret, Sriyanto menambahkan jeruk bali.
Hidangan yang paling sering dipesan adalah rujak campur seharga Rp 33.000 per porsi. Sekitar 70 persen konsumen memesan rujak tersebut. ”Saya juga menyediakan rujak mangga jambu. Makanan lain, rujak mangga. Harga semuanya sama,” kata Sriyanto.
”Sekarang, sekitar 125 porsi terjual per hari. Waktu belum pandemi, setiap hari saya bisa menjual sampai 300 porsi,” ucapnya. Ia tetap bersyukur seraya mengenang perjalanannya sebagai pedagang. Sriyanto berjualan rujak sejak tahun 1986 dengan gerobak.
”Waktu itu, hanya 40 porsi rujak terjual setiap hari. Saya bergantian mangkal di pojok bioskop dan Puskesmas Menteng,” ucapnya. Ia baru berjualan permanen setelah disediakan gerai dengan sistem bagi hasil pada 2013. Sriyanto gembira karena penjualan rujaknya meningkat. Ia mempertahankan rasa bumbu dan buah-buahannya sejak berjualan pertama kali.
Sejak 1960-an
Rujak Kolam Medan pun tak kalah menggugah selera dengan potongan buah dan bumbu yang menggunung. Kacang tanah yang ditumbuk kasar menyelipkan sensasi kriuk-kriuk. Irisan kedondong, bengkuang, jambu air, nanas, pepaya muda, mangga mengkal, dan jambu biji tersaji beralaskan daun pisang.
Segar, masam, dan pedas berpadu bumbu pekat. Racikan gula kelapa dan aren itu melengkapi rujak yang dihidangkan di atas piring melamin. ”Silakan, Pak, ada rujak reguler, spesial, kacang mete, serut, dan tumbuk. Mau pedas, sedang, atau biasa juga boleh,” kata pegawai menyapa pengunjung dengan ramah.
Di kedai yang berada di ITC Mangga Dua, Jakarta, itu, tersedia 10 meja dan 25 kursi. Tak sampai lima menit setelah dipesan, rujak sudah diantar. ”Paling favorit rujak reguler. Campuran semua buah, harganya Rp 33.000 seporsi,” kata pemilik Rujak Kolam Medan, Rossy Rohayatun (50).
Lebih kurang 20 tahun lalu, ia meneruskan resep dan usaha itu dari orangtuanya. Rujak tersebut punya sejarah panjang sejak berdiri tahun 1960-an. ”Dulu dijual di Sumatera, tapi sudah enggak. Di Jabodetabek, Rujak Kolam Medan sudah membuka 11 cabang. Rasa dan variasi buahnya masih sama,” katanya.
Ada pula Rujak Muaro Padang yang mampu bertahan lebih dari tiga dekade. Berawal dari gerobak di dekat Pasar Bendungan Hilir, Jakarta, usaha itu berkembang menjadi warung sederhana yang terus menetap di kawasan tersebut.
Siang itu, tak banyak pelanggan di warung milik Syahroni tersebut. Bayu (25) yang kini bertanggung jawab menjalankan usaha ini menjelaskan, porsi yang dijualnya merosot sekitar 20 persen. Itu pun terbantu penjualan via daring menggunakan ojek daring.
Seporsi rujak potong berisi belimbing, pepaya, kedondong, bengkuang, mangga, jambu air, dan nanas terhidang di atas meja. Paduannya bumbu rujak pedas serta legit dari campuran gula merah, cabai, kacang tanah tumbuk, dan kacang tanah utuh. Segar rasanya saat menggigit renyah buah segar dengan sensasi asam manis dipadu bumbunya.
Menu andalannya, rujak ulek, tentu tak bisa dilewatkan. Jika rujak potong dinikmati dengan dicocol, semua bumbu rujak ulek dicampur langsung dengan ragam buah yang sudah dipotong kecil dan diulek. Nikmatnya berbeda, tetapi tak hilang kesegarannya lewat sepiring rujak yang dibanderol Rp 35.000 itu.
Menurut dosen mata kuliah Makanan dan Kebudayaan Program Studi Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran, Bandung, Hardian Eko Nurseto, makanan yang dikonsumsi mentah dan diberi bumbu seperti rujak bisa didapati di seluruh dunia.
Masyarakat Sunda, misalnya, biasa menyantap rujak sambil botram (makan bersama) di teras rumah bersama tetangga seraya bertukar informasi. ”Soal kehidupan dan kondisi sekitar, berita terkini, semua tumpah dalam kata sambil mencocol sambal rujak dengan mangga muda,” ucapnya.
Layaknya aneka buah yang berpadu dalam rujak, demikian pula interaksi sosial, mulai dari kekeluargaan, antartetangga, hingga pertemanan yang menyatu lewat santapan itu. ”Diwadahi botram yang sangat menyenangkan. Kumpul bersama dengan membawa makanan masing-masing,” katanya.
Berdasarkan buku Aneka Rujak dan Asinan yang ditulis Lilly T Erwin dan diterbitkan PT Gramedia Pustaka Utama tahun 2013, Indonesia memiliki banyak variasi rujak dan asinan. Pencuci mulut itu termasuk paling digemari dengan keragaman bumbunya.
Di buku itu saja tercantum 13 resep rujak, seperti buah, gobet, gohu, degan, seger, nanas, tumbuk, aceh, dan jambu batu. Selain itu, tertera pula rujak berbahan baku nonbuah, di antaranya juhi, tahu, cingur, pengantin, dan bermacam-macam asinan.