Redup, Penelitian Perbuahan di Tengah Pandemi
Di tengah optimisme mendifusikan inovasi untuk intensifikasi pertanian beragam buah, pandemi merundung peneliti. Mereka harus tetap berkarya.
Di tengah optimisme mendifusikan inovasi untuk intensifikasi pertanian beragam buah, pandemi sekonyong-konyong merundung peneliti. Dana penelitian terpaksa dipangkas, tetapi mereka tetap berkarya melalui kemitraan seraya menyimpan harap alokasi tersebut bisa terpenuhi dengan memadai.
Otto Endarto dengan semangat menunjukkan metode pikung atau pijit dan lengkung. Peneliti madya Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika (Balitjestro) Kementerian Pertanian (Kementan) itu menggenggam dahan pohon jeruk lalu membengkokkannya hingga sedikit gemeretak.
”Setelah pikung diaplikasikan, harapannya keluar atau menginduksi bunga,” katanya di Kota Batu, Jawa Timur, Rabu (5/5/2021). Tanaman distimulus untuk berbuah lebih awal. Hasilnya, tanaman yang belum berbuah lantas keluar tunas baru diikuti bunga.
”Sudah terbukti. Beberapa petani mengeluh, pohon jeruknya yang berumur lima atau enam tahun belum menghasilkan. Begitu dipikung bisa berbuah,” kata Otto. Ia lantas menjelaskan pikung yang memacu karbohidrat menjadi gula dan menghasilkan buah.
Otto lalu memaparkan sitara atau sistem tanam rapat, teknik untuk mengatasi persoalan lahan terutama di Jawa yang semakin sempit tanpa mengurangi volume produksi jeruk. ”Setiap hektar, normalnya ditanami 400 tanaman jeruk. Dengan sitara, bisa menjadi 1.000 tanaman,” ucapnya.
Jeruk umumnya berbuah setelah berumur tiga tahun. Pada usia itu, antartanaman belum bersinggungan. Sitara diterapkan dengan pemangkasan. ”Begitu masuk tahun ketujuh, terjadi kompetisi. Jadi, ada dahan yang dipotong agar produksinya tetap bagus dan stabil,” ucapnya.
Di pelataran Balitjestro itu, pohon jeruk yang berderet dan rimbun menggamblangkan uraian Otto. Buah yang menguning tampak lebat dan tak lama lagi bisa dipetik. ”Kami mantapkan lagi dengan bujangseta atau buah berjenjang sepanjang tahun,” katanya.
Bujangseta menjawab tantangan mengisi pasar lokal yang sering dipenuhi jeruk impor setiap Oktober hingga Februari lantaran menyusutnya pasokan domestik. ”Inovasi-inovasi itu bisa diimplementasikan petani dengan pola pikirnya sehingga paling luas diterima dan dianggap rasional,” katanya.
Baca Juga: Jeli Membidik Potensi Penjualan Buah-buahan Saat Pandemi
Di Kelurahan Temas, Kecamatan Temas, Kota Batu, Suswanto (55) dengan antusias menjelaskan perkebunan jeruknya yang tampak subur. ”Saya mempraktikkan pikung dan bujangseta mulai tahun 2018. Waktu Februari sampai April lalu, panennya 3 ton,” katanya sambil tersenyum.
Jeruk yang dibudidayakan di lahan seluas 5.000 meter persegi itu dijual seharga Rp 16.000 per kilogram (kg). Ia tak sabar menanti panen pada November nanti. ”Harga diperkirakan bisa mencapai 20.000 per kg karena perkebunan yang berbuah sedikit,” kata Suswanto yang menanam 360 pohon jeruk itu.
Bujangseta, sitara, dan pikung hanya sekelumit dari khazanah riset Balitjestro. Sejak berdiri pada 2006, balai itu juga memiliki aksesi atau semacam jenis untuk jeruk terbanyak yang mencapai 257 macam. Belum lagi, hasil penelitian terhadap lengkeng, apel, anggur, dan stroberi.
”Manfaat selain menekan impor, misalnya ekonomi, sebab bujangseta diharapkan mencegah ulah spekulan. Kalau stok memadai tentu harga stabil,” kata Otto. Di sela secercah harapan kemandirian beragam buah lokal, pagebluk tiba-tiba merundung peneliti.
”Sudah dua tahun, penelitian yang basic (mendasar) tak ada biaya sama sekali. Tahun 2020, benar-benar cut (dipotong),” ucapnya. Kendati demikian, Otto terus berupaya meretas kemandekan lewat riset pengembangan dengan menggandeng sejumlah mitra, seperti BUMN, pemda, dan swasta.
”Memang situasional karena pandemi, tapi kendalanya dana riset masih kecil. Ekspektasinya, dinaikkan dan sesuai kebutuhan,” katanya. Otto enggan menyebutkan dana penelitian Balitjestro, tetapi besarannya tak melampaui 20 persen dari daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA).
Balitbu tropika
Sri Hardiati tak kalah antusias mencari buah salak yang sudah ranum. Ia hendak membuktikan tuturannya. Perempuan yang karib disapa Atik itu menuju rumpun pohon salak. Dipetiknya salak paling besar.
”Ayo, coba. Manis, kan? Dagingnya tebal, renyah, dan tak sepat,” kata peneliti Balai Penelitian Buah (Balitbu) Tropika Kementan itu seraya menyodorkan salak di Kebun Percobaan Aripan, Kabupaten Solok, Sumatera Barat. Saat dibuka, janji Atik tak meleset.
Salak itu berlabel Sari Intan 541. Buah varietas unggul ini merupakan persilangan antara salak gondok/bali dan pondoh. Daging tebal diturunkan dari salak gondok, sedangkan manis dan renyah dari pondoh.
Salak gondok berdaging tebal, tetapi ada yang rasanya sepat, sementara salak pondoh manis dan renyah, tetapi dagingnya tipis. Persilangan ini menjawab kebutuhan konsumen yang banyak menyukai salak berdaging tebal, renyah, dan manis.
”Varietas ini dilepas tahun 2010,” ujar Atik. Ada pula varietas unggul Sari Intan 295 dan Sari Intan 48 yang juga berdaging tebal, manis, dan renyah.
Balitbu Tropika juga punya pisang Indonesia (INA) 03 yang dilepas tahun 2016. Keunggulan persilangan pisang ketan dan pisang kalkuta ini, antara lain, tahan terhadap penyakit layu fusarium, produktivitas tinggi, enak, dan pohonnya tak terlalu tinggi. ”INA 03 mulai dikembangkan di Lampung untuk demplot. Benihnya mulai diproduksi perusahaan mitra kami di Lampung,” kata Ellina Mansyah, Kepala Balitbu Tropika.
Baca Juga: Eksotika Buah Nusantara
Buah-buahan tersebut hanya segelintir dari varietas unggul Balitbu Tropika yang beroperasi sejak tahun 1984. Balai ini fokus pada penelitian dan penyediaan benih sumber tanaman buah tropis, seperti durian, manggis, pisang, salak, mangga, nanas, dan rambutan.
Menurut peneliti Balitbu Tropika, Niluh Putu Indriyani, setidaknya ada 53 varietas unggul tanaman buah tropis yang telah dilepas atau didaftarkan. Beberapa tanaman hasil persilangan dalam tahap evaluasi sebelum dilepas.
Akan tetapi, di tengah upaya itu, pandemi meredupkan asa peneliti. Akibat refocusing anggaran pada Mei 2020, 13 judul penelitian yang direncanakan sejak Januari sebelumnya terpaksa ditunda.
”Refocusing tahun 2020 menghabiskan semua penelitian. Tinggal menyisakan anggaran operasional kantor dan gaji karyawan,” kata Ellina.
Baca Juga: Ikhtiar Melegitkan Budidaya Nanas
Badai refocusing anggaran juga melanda tahun 2021. Anggaran penelitian kembali ada walau hanya untuk enam judul penelitian prioritas atau hampir membuahkan hasil. Itu pun kegiatannya ada yang dipangkas. Ellina berharap tahun ini tak ada refocusing kedua agar penelitian berjalan sesuai rencana.
Untuk menyiasati keterbatasan itu, peneliti melakukan penelitian mandiri. Penelitian memanfaatkan sumber daya dan fasilitas yang tersedia. Selain itu, beberapa kerja sama penelitian dengan pusat penelitian luar negeri masih berlangsung.
Pandemi juga berdampak pada Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) IPB University. Dana penelitian dan kerja sama yang dialokasikan untuk lembaga itu pada 2020 sebesar Rp 108 miliar. Jumlah itu menurun dibandingkan tahun 2019 sebesar Rp 150 miliar.
”Dampaknya, sebagian penelitian dibatalkan atau ditunda pada tahun berikutnya,” kata Kepala LPPM IPB University Ernan Rustiadi. Ia berpendapat, penelitian sering dikorbankan saat krisis sebab dianggap tak berdampak langsung terhadap lapangan kerja, pertumbuhan ekonomi, dan penanggulangan kemiskinan.
Ernan memahami jika anggaran pemerintah difokuskan untuk kesehatan. Namun, jika dilihat faktanya, pertanian mampu tumbuh saat pandemi. Pertanian menjadi penyangga masyarakat jatuh ke garis kemiskinan. Sektor yang bisa mempertahankan faktor itu perlu mendapatkan prioritas di antara penelitian-penelitian lain.
Ia mencontohkan callina sebagai inovasi buah IPB University yang paling luas diterima petani. Banyak varietas baru yang belum digunakan. ”Kalau tak salah, IPB University punya sekitar 70 varietas unggul, mulai padi, cabai, hingga ayam yang produktivitasnya tinggi,” katanya.
Penurunan anggaran penelitian juga dialami Puslitbang Hortikultura Kementan. Sebelum pandemi, alokasi itu sekitar Rp 3-4 miliar per tahun. ”Sekarang, turun drastis jadi Rp 1-2 miliar. Perkiraannya sekitar itu,” kata Kepala Puslitbang Hortikultura Kementan M Taufiq Ratule.
Lembaga tersebut banyak melakukan diseminasi. Hampir tak ada riset pada tahun 2020. Di sela redupnya penelitian karena pandemi, peneliti diminta mengintensifkan kerja sama. ”Bisa dengan swasta dan luar negeri. Jangan tergantung APBN. Tulis juga data-data buat publikasi. Harus tetap semangat,” ujarnya.