Ditangkap di Singapura, Adelin Lis Segera Dibawa ke Indonesia
Terpidana kasus pembalakan liar Adelin Lis akhirnya tertangkap di Singapura setelah 14 tahun buron. Kejaksaan Agung akan membawa pengusaha kayu itu kembali ke Jakarta untuk menjalani hukuman 10 tahun penjara.
Oleh
TRI AGUNG KRISTANTO/NOBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Buronan dalam kasus pembalakan liar di Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara, Adelin Lis yang tertangkap di Singapura, segera dipulangkan ke Indonesia. Kejaksaan Agung mengupayakan pemulangan pengusaha asal Sumut, yang dihukum oleh Mahkamah Agung selama 10 tahun penjara itu, pada Juni ini, langsung ke Jakarta untuk menjalani hukuman. Adelin ditangkap otoritas Singapura pada 4 Maret karena menggunakan paspor palsu.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung (Kejagung) Leonard Eben Ezer Simanjuntak, Rabu (16/6/2021) di Jakarta, membenarkan kabar penangkapan Adelin Lis yang sudah diburu kejaksaan sejak tahun 2008. ”Begitu ada kabar Adelin Lis tertangkap, kejaksaan berkoordinasi dengan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Singapura dan Pemerintah Singapura agar segera bisa memulangkan Adelin,” jelasnya.
Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin memerintahkan Adelin dibawa ke Jakarta dan menjalani hukumannya di lembaga pemasyarakatan (LP) di Ibu Kota. Perintah itu disampaikan setelah anak Adelin Lis bernama Kendrik Ali meminta kepada Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara untuk memberikan surat perjalanan laksana paspor agar ayahnya bisa kembali ke Medan. Melalui kantor pengacara Parameshwara and Partners, Adelin Lis meminta untuk dapat menjalani hukuman di Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Gusta, Medan.
Menurut Leonard, Jaksa Agung menginginkan Adelin Lis bisa dijemput langsung oleh aparat penegak hukum dari Indonesia. ”Pengalaman 2006 ketika Adelin Lis hendak ditangkap di KBRI Beijing, ia bersama pengawalnya melakukan perlawanan dan memukuli Staf KBRI Beijing dan melarikan diri,” ujarnya menerangkan. Kejaksaan berharap dukungan dari Pemerintah Singapura agar Adelin bisa segera diterbangkan ke Jakarta.
Dihubungi secara terpisah, Duta Besar Republik Indonesia untuk Singapura Suryopratomo menegaskan, KBRI Singapura siap mendukung pelaksanaan penegakan hukum yang dilakukan Kejaksaan Agung sebagai lembaga penegak hukum tertinggi di Indonesia.
Paspor palsu
Penangkapan Adelin Lis bermula ketika ia melarikan diri dan kemudian memalsukan paspor dengan menggunakan nama Hendro Leonardi. Adelin ditangkap pihak imigrasi Singapura pada 2018 karena pihak imigrasi Singapura menemukan data yang sama untuk dua nama yang berbeda.
Pihak Imigrasi Singapura pun mengirimkan surat kepada Atase Imigrasi Kedutaan Besar Republik Indonesia di Singapura untuk memastikan kebenaran dua nama yang berbeda sebagai sosok yang sama. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Imigrasi kemudian dipastikan bahwa dua nama tersebut merupakan orang yang sama. Adelin Lis disebut memberi keterangan palsu karena Ditjen Imigrasi tidak pernah mengeluarkan surat untuk orang bernama Hendro Leonardi.
Dalam persidangan, Adelin Lis mengaku bersalah. Atas dasar itu, Pengadilan Singapura pada 9 Juni 2021 menjatuhkan hukuman denda 14.000 dollar Singapura atau sekitar Rp 140 juta yang dibayarkan dua kali dalam periode satu pekan. Pengadilan juga mengembalikan paspor atas nama Hendro Leonardi kepada Pemerintah Indonesia dan mendeportasi Adelin Lis.
Menurut Leonard, Kedutaan Besar Republik Indonesia di Singapura telah berkoordinasi dengan Jaksa Agung Singapura untuk menyampaikan keinginan Jaksa Agung RI agar diizinkan melakukan penjemputan khusus bagi buronan tersebut. Demikian pula rekam jejak kejahatan Adelin Lis juga telah disampaikan ke Kejaksaan Agung Singapura.
Sementara, Jaksa Agung Singapura menyampaikan sangat memahami kasus ini. Namun, wewenang untuk repatriasi ada di otoritas Imigrasi Singapura (ICA) dan Kementerian Dalam Negeri (Ministry of Home Affairs) Singapura.
Dalam proses tersebut, pada 16 Juni 2021, pihak Kementerian Luar Negeri Singapura tidak memberi izin untuk penjemputan secara langsung. Sesuai dengan aturan hukum Singapura, Adelin Lis hanya akan dideportasi dengan menggunakan pesawat komersial.
Sementara untuk diketahui, Adelin Lis merupakan pemilik PT Mujur Timber Group dan PT Keang Nam Development Indonesia yang diduga melakukan pembalakan liar di hutan Mandailing Natal sehingga merugikan negara Rp 227 triliun. Sejak Maret 2006, ia ditetapkan sebagai buron dan kemudian tertangkap saat melakukan perpanjangan paspor di Beijing, China pada akhir tahun 2006 (Kompas, 6/11/2007).
Setelah melalui proses persidangan, pada 5 November 2007, majelis hakim Pengadilan Negeri Medan yang diketuai Arwan Bryn memutus Adelin bebas dari semua dakwaan. Padahal, jaksa menuntut Adelin dengan hukukan 10 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan. Jaksa juga menuntut terdakwa wajib membayar ganti rugi dana provisi sumber daya alam senilai Rp 119,8 miliar serta dana reboisasi 2,9 juta dollar AS. Sejak sidang terakhir di Pengadilan Negeri Medan itu, keberadaan Adelin tak diketahui lagi.
Sementara jaksa yang tak puas mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). MA kemudian memutus Adelin bersalah dan menjatuhkan hukuman 10 tahun penjara serta membayar uang pengganti Rp 119,8 miliar dan dana reboisasi 2,938 juta dollar AS. Namun, kejaksaan kesulitan mengeksekusi Adelin, yang kini tak diketahui keberadaannya (Kompas, 2/8/2008).
Vonis terhadap Adelin diputuskan oleh majelis Hakim Agung yang terdiri dari Bagir Manan (Ketua Majelis), Djoko Sarwoko, Artidjo Alkostar, Harifin A Tumpa, dan Mansyur Kartayasa.
Tahun 2008, kejaksaan juga mendata aset kekayaan Adelin agar bisa dieksekusi, tanpa menunggu ia tertangkap. Eksekusi itu untuk membayar uang pengganti kerugian negara dan mengantisipasi hilangnya aset yang sudah disita.
Apresiasi
Sementara Ketua Komisi Kejaksaan Barita Simanjuntak mendengar bahwa tim kejaksaan telah menangkap Adelin Lis. Barita mengapresiasi penangkapan terpidana yang menjadi buron sejak tahun 2007. Sebab, penangkapan dilakukan di luar negeri atau lintas negara yang tingkat kesulitannya lebih tinggi.
”Setelah sekian lama karena kami tahu kejaksaan juga bekerja keras. Karena ini lintas negara, perlu prosedur formal ataupun nonformal yang secara konsisten dan bijaksana dilakukan karena terkait dengan hubungan antarnegara sehingga kesulitannya lebih tinggi,” kata Barita.
Di sisi lain, Barita mengapresiasi penangkapan tersebut karena kejaksaan selaku aparat penegak hukum yang berwenang melakukan eksekusi terhadap putusan yang berkekuatan hukum tetap, bukanlah pemegang otoritas pusat (central authority). Adapun pemegang otoritas pusat adalah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Dengan demikian, untuk melakukan penangkapan buronan di luar negeri, kejaksaan harus berkoordinasi dengan instansi-instansi lain yang tentu memerlukan waktu. Bukan tidak mungkin, lanjut Barita, hal itu menjadi celah yang kemudian dimanfaatkan para pelaku kejahatan untuk melarikan diri dalam waktu yang lama di luar negeri. Oleh karena itu, Barita berharap agar ke depan kejaksaan menjadi pemegang otoritas pusat karena memang memiliki kewenangan untuk melakukan eksekusi.