Batas Penghasilan MBR untuk KPR Bersubsidi Diperbarui
Pemerintah menetapkan batasan maksimal penghasilan untuk kategori masyarakat berpenghasilan rendah penerima manfaat rumah subsidi. Penetapan batas penghasilan perlu memerhitungkan keterjangkauan rumah bersubsidi.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·3 menit baca
Jakarta, Kompas - Pemerintah memperbarui batasan penghasilan untuk kategori masyarakat berpenghasilan rendah yang menjadi sasaran program kepemilikan rumah bersubsidi. Masyarakat berpenghasilan rendah dapat mengakses fasilitas kredit pemilikan rumah (KPR) bersubsidi ataupun bantuan stimulan rumah swadaya.
Perubahan kriteria besaran penghasilan untuk masyarakat berpenghasilan rendah atau MBR tertuang dalam Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Nomor 411/KPTS/M/2021 tentang Besaran Penghasilan Masyarakat Berpenghasilan Rendah dan Batasan Luas Lantai Rumah Umum dan Rumah Swadaya tanggal 7 April 2021.
Berdasarkan ketentuan tersebut, batasan maksimal penghasilan per bulan untuk kategori MBR umum yang masih lajang adalah Rp 6 juta per bulan. Adapun kategori MBR umum yang belum menikah di wilayah Papua dan Papua Barat, batas penghasilannya maksimum Rp 7,5 juta per bulan.
Sementara, batasan penghasilan untuk MBR yang telah menikah, serta satu orang peserta Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) ditetapkan sebesar Rp 8.000.000 per bulan. Sedangkan, kategori MBR umum yang menikah dan satu orang peserta Tapera yang tinggal di Papua dan Papua Barat ditetapkan memiliki maksimal penghasilan sebesar Rp 10 juta per bulan.
Aturan tersebut juga menetapkan batasan luas lantai untuk pemilikan rumah umum dan satuan rumah susun bagi MBR paling luas yakni 36 meter persegi (m2), serta pembangunan rumah swadaya bagi MBR memiliki luas lantai maksimum 48 me2.
Sebelumnya, pemerintah menetapkan masyarakat dengan penghasilan maksimal Rp 8 Juta sudah bisa memiliki rumah subsidi tapak ataupun rumah susun (rusun). Keputusan tersebut tertuang dalam Keputusan Menteri PUPR Nomor 242/KPTS/M/2020.
Direktur Pelaksana Pembiayaan Perumahan Direktorat Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Kementerian PUPR Haryo Bektimartoyodo, mengemukakan, pembaruan itu diharapkan mendorong keterjangkauan dan cakupan MBR untuk pemilikan rumah bersubsidi. Ia menambahkan, terdapat perubahan kategori batas penghasilan antara MBR berstatus lajang dan menikah.
“(Penyesuaian) itu keadilan terhadap kebutuhan pengeluaran rumah tangga dan lajang yang berbeda, termasuk pengeluaran perumahan,” ujar Haryo, saat dihubungi, Kamis (10/6/2021).
Secara terpisah, Ketua Umum Lembaga Pengkajian Bidang Perumahan, Permukiman, dan Pembangunan Perkotaan (The HUD Institute) Zulfi Syarif Koto, mengemukakan, penetapan batas penghasilan MBR penerima fasilitas rumah bersubsidi perlu memperhitungkan harga patokan rumah bersubsidi. Sementara, harga patokan rumah bersubsidi perlu memperhitungkan komponen biaya produksi, seperti harga lahan, bahan bangunan, upah tenaga kerja, serta biaya perizinan.
“Tanpa keseimbangan harga dan penghasilan, alokasi bantuan rumah subsidi sulit tepat sasaran,” kata Zulfi.
Ia menambahkan, MBR dengan penghasilan maksimum Rp 4 juta per bulan selama ini masih kesulitan menjangkau harga rumah bersubsidi. Besaran cicilan KPR sekitar 30 persen dari penghasilan, sedangkan kelompok itu juga harus memenuhi biaya hidup sehari-hari, transportasi, dan pendidikan. Oleh karena itu, pemerintah perlu mendorong skema kepenghunian melalui pembangunan rumah susun sewa. (LKT)