Hari sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Kabut masih menyelimuti Dusun Golak, Bandungan, Jawa Tengah. Bubur rames yang tersaji di atas kerupuk opak sudah masuk ke dalam perut. Saya dan teman lama menikmati sarapan dan kemudian melakukan olahraga jalan kaki. Udara sangat sejuk, bahkan bisa dikatakan dingin, terutama buat saya, yang biasa tinggal di Jakarta yang panas terik seperti sedang berdiri di depan kompor menyala.
Penat jiwa raga
Setiap orang yang berpapasan dengan kami selalu berwajah gembira dan memberi salam dengan kata ”monggo”. Bahkan, beberapa di antaranya berbincang singkat saat kami berpapasan dengan mereka. Kami tak mengenal mereka sebelumnya, tetapi keramahan yang spontan yang jarang, bahkan mungkin hilang dari kehidupan sehari-hari di kota besar, membuat saya merasa benar-benar bertemu dengan sesama manusia yang menyapa dengan kemanusiaannya.
Saya sedang melarikan diri dari hiruk pikuk kota metropolitan dan segala problema yang tengah saya hadapi. Saya memutuskan pergi ke dusun itu dan tinggal beberapa hari di rumah teman yang luas dan asri karena saya membutuhkan sebuah siraman yang menyegarkan mata.
Bagi mereka yang tinggal di Jakarta, saya tak perlu lagi menjelaskan bagaimana berisik dan sibuknya kota besar itu. Belakangan, meski telah diimbau untuk tetap menjaga kesehatan karena pandemi ini, Jakarta telah kembali pada kondisi awal.
Jalan macet di mana-mana, orang mulai sibuk dengan kegiatan yang selama ini dilakukan di dalam rumah. Kalau Anda mengunjungi mal pada akhir pekan atau tempat hiburan, ”berjuta” manusia dengan masker terlihat berkumpul tanpa merasa bahwa ancaman masih saja ada di depan mata.
Setelah enam bulan sejak awal tahun saya tak pergi ke mana-mana, penat juga melihat tempat tinggal kecil dengan ruang terbatas itu. Meski setiap hari saya bisa berjalan kaki di lapangan tenis yang berdiri di halaman belakang apartemen, atau berjalan kaki di jalan raya sambil mengisap debu dan suara bising kendaraan yang lalu lalang, itu juga telah membuat kebosanan datang semakin lama semakin cepat.
Belum lagi dengan kondisi kesehatan saya yang mengharuskan saya melakukan pemeriksaan kesehatan di beberapa rumah sakit. Bertemu dengan beberapa dokter, memeriksa darah di beberapa laboratorium, dan melihat hasil pemeriksaan serta mendengar omongan dokter mengenai hasil pemeriksaan itu. Semuanya harus saya akui sungguh membuat penat batin.
Mencuci jiwa raga
Maka, pada satu Selasa pagi, saya terbang ke dusun ini. Terletak di dataran tinggi yang memiliki hawa sangat sejuk, bahkan pada malam hari suhu bisa semakin rendah. Selimut tebal yang menutupi badan pun masih belum mampu memberikan rasa hangat. Apalagi dengan musim hujan yang datang di tengah musim yang seharusnya kemarau, dusun itu terasa seperti lemari pendingin. Air kamar mandi seperti air es, betul-betul menyetrum.
Saya tinggal di rumah teman dengan halamannya yang tak hanya luas, tetapi juga dipenuhi dengan berbagai tanaman, pepohonan, dan bunga-bunga, yang sekarang ini saya yakin kalau membeli di toko tanaman akan menjadi mahal sekali. Saya membayangkan teman-teman saya yang lagi kegandrungan akan tanaman, pasti akan dengan semangat mengambil bibitnya untuk dibawa pulang. Halaman luas itu terawat dengan rapi dan membiarkan daun-daun tumbuh dengan apa adanya.
Pada pagi hari, saya sarapan di teras depan rumah melihat kebun rimbun itu. Burung-burung berkicau seperti sebuah paduan suara yang tak berhenti. Angin dingin terasa menciumi wajah dan badan. Sungguh sebuah keadaan yang tak pernah saya dapati di Jakarta.
Keramahan warga di sekitar rumah itu, seperti saya katakan di atas, sungguh ramah yang tak dibuat-buat. Saya mendengar cerita teman saya pada malam hari tentang kerukunan dan toleransi yang luar biasa di dusun ini. Saya geleng kepala dibuatnya.
Saya senang bahwa saya memutuskan untuk melarikan diri sejenak. Bukan untuk menghindari problem, tetapi untuk mendapat kesegaran baru, semangat baru, nilai-nilai baru, jalan keluar baru untuk digunakan menghadapi problem sama yang tak ada solusinya.
Melarikan diri memberikan kesempatan kepada saya untuk tidak bercokol terus-menerus dalam sebuah situasi yang sama dan berharap sebuah solusi baru akan terjadi.
Melarikan diri justru untuk menemukan solusi baru ketika solusi yang itu-itu saja tak lagi bisa menolong. Pertemuan dengan beberapa teman yang sudah lama tak saya kunjungi dan mendengar cerita bagaimana mereka mendapatkan jalan keluar untuk problem kehidupan yang mereka hadapi, betul-betul sebuah pengalaman yang tak ternilai. Kadang solusi yang mereka ceritakan tak pernah terpikirkan oleh saya sebelumnya.
Melarikan diri itu adalah waktunya cuci mata, cuci telinga, cuci jiwa raga. Saya telah terbiasa di kota besar dengan keramahan yang palsu. Saya terbiasa dengan hidup hanya memikirkan kebutuhan diri sendiri. Inilah gunanya melarikan diri. Untuk mengingatkan kembali bahwa yang dibuat-buat dan yang egois itu tak bisa dianggap lumrah untuk dilakukan.