Darurat Perlindungan Anak di Aceh
Kasus kekerasan terhadap anak di Provinsi Aceh terjadi bertubi-tubi. Pemerintah kabupaten dan kota di Aceh masih belum mengarusutamakan perlindungan anak dalam kebijakan pembangunan daerahnya.
Kasus kekerasan terhadap anak di Provinsi Aceh terjadi bertubi-tubi, mulai dari kekerasan fisik, pelecehan seksual, hingga pemerkosaan. Hal ini menunjukkan pemerintah, warga, dan keluarga belum mampu melindungi anak. Anak-anak butuh perlindungan, bukan kekerasan.
Pada akhir Mei 2021 ada tiga kasus kekerasan terhadap anak di Aceh yang muncul ke publik, yakni kekerasan fisik terhadap MF (13), seorang anak di Kabupaten Aceh Utara, sodomi terhadap seorang anak usia 8 tahun di Kota Lhokseumawe, dan pemerkosaan terhadap seorang anak usia 16 tahun di Banda Aceh.
Di Aceh Utara, Minggu (23/5/2021), MF mengalami kekerasan fisik dan psikis oleh massa. Dia ditangkap warga karena mengambil uang dari kotak amal masjid.
Setelah Kompas menelusuri lebih jauh, ternyata MF berasal dari keluarga disharmonis dan miskin. Orangtuanya telah bercerai. MF pernah disuruh mencari uang dengan berjualan sate dan dia tidak memperoleh hak pendidikan. Hingga kini dia belum bisa membaca dan menulis.
Dalam kasus MF, kekerasan dan pengabaian hak terhadap dirinya terjadi di ranah domestik (keluarga) dan di ruang publik.
Sementara kasus sodomi menimpa seorang anak di Lhokseumawe. Pelakunya adalah AM yang berusia 21 tahun. Mereka ditemukan oleh petugas satpam di dalam toilet masjid tanpa busana. AM telah melakukan pencabulan terhadap korbannya sebanyak delapan kali.
Baca juga : Siswi Melahirkan di Sekolah, Potret Buruk Perlindungan Anak di Aceh
Sementara di Banda Aceh, korban diperkosa sebanyak tiga kali oleh pacarnya. Korban dijanjikan akan dinikahi, padahal dia masih di bawah umur. Orangtua korban melaporkan pelaku kepada polisi.
Sebelumnya publik dikagetkan dengan kasus pemerkosaan yang terdakwanya adalah ayah kandung dan paman korban di Kabupaten Aceh Besar. Namun, dalam persidangan, hakim menjatuhkan vonis bebas bagi kedua terdakwa. Kini proses hukum berlanjut ke tingkat kasasi.
Empat kasus tersebut hanya sebagian kecil kasus kekerasan terhadap anak di Aceh. Data dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Aceh, pada 2017-2020 kekerasan terhadap anak terjadi sebanyak 2.946 kasus.
Selama empat tahun, kasus yang paling banyak terjadi adalah kekerasan psikis 837 kasus, pelecehan seksual (671), kekerasan fisik (405), dan pemerkosaan (289).
Kasus-kasus tersebut tersebar di 23 kabupaten/kota di Aceh. Lima daerah kasus tertinggi adalah Kota Banda Aceh (198 kasus), Aceh Utara (160), Bireuen (128), Bener Meriah (98), dan Aceh Barat Daya (86).
Baca juga : Kekerasan terhadap Anak di Aceh Terus Terjadi
Dari data yang dicatat oleh DP3A Aceh pada 2017-2020, bisa disimpulkan bahwa kekerasan berbasis seksual (pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemerkosaan, sodomi, dan inses) sangat tinggi, mencapai 1.100 kasus. Nyaris separuh dari total kasus kekerasan.
Komitmen rendah
Tingginya kasus kekerasan terhadap anak karena perlindungan dan penegakan hukum masih lemah. Pemerintah kabupaten dan kota tidak menunjukkan komitmen kuat untuk melindungi anak dari kekerasan.
Direktur Flower Aceh Riswati menuturkan, secara umum banyak pemkab/pemkot yang belum menjadikan isu perlindungan anak sebagai arus utama dalam pembangunan. Hal itu terlihat dari minimnya alokasi anggaran untuk program perlindungan anak.
Baca juga : Perkawinan Anak di Aceh Masih Marak
Jika mereka melindungi, berikan anggaran yang memadai, buat mekanisme perlindungan, sediakan psikolog, dan kebijakan lain.
Riswati mengatakan, sejauh ini komitmen kepala daerah di kabupaten/kota di Aceh untuk melindungi perempuan dan anak hanya sebatas narasi, belum pada aksi. ”Jika mereka melindungi, berikan anggaran yang memadai, buat mekanisme perlindungan, sediakan psikolog, dan kebijakan lain,” ucapnya.
Dari 23 kabupaten/kota di Aceh, hanya lima daerah yang ditetapkan sebagai kabupaten/kota layak anak (KLA), yaitu Langsa, Aceh Besar, Aceh Barat, Banda Aceh, dan Bireuen, dengan predikat pratama atau level satu. Untuk tingkat provinsi, Aceh belum menjadi provinsi layak anak.
KLA diberikan bagi daerah yang mampu merencanakan, menetapkan, dan menjalankan seluruh program pembangunan dengan berorientasi pada pemenuhan hak anak.
Ada lima kluster pemenuhan hak anak, yakni hak sipil dan kebebasan (kluster I), lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif (kluster II), kesehatan dasar dan kesejahteraan (kluster III), pendidikan, pemanfaatan waktu luang, dan kegiatan budaya (kluster IV), serta perlindungan khusus (kluster V).
Baca juga : Setelah Dua Tahun, Pelaku Pemerkosa Anak di Aceh Ditangkap
Sebelumnya Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Aceh Nevi Ariani mengatakan, komitmen kepala daerah kabupaten/kota masih rendah. Ia menyebutkan, dukungan politik dari kepala daerah dan DPRD sangat dibutuhkan untuk menyukseskan agenda perlindungan anak.
Selain persoalan komitmen pemkab/pemkot yang rendah, penegakan hukum juga masih lemah. Sanksi terhadap pelaku kekerasan terhadap anak masih lemah.
Dualisme regulasi
Di Aceh, kasus kekerasan seksual terhadap anak dapat dijerat menggunakan UU Perlindungan Anak atau Perda Syariat Islam Qanun Jinayah. Perbedaan hukumannya, pada UU Perlindungan Anak, hukuman bagi pelaku adalah penjara; sedangkan dalam qanun, hukuman berupa cambuk/denda/kurungan.
Jika dijerat menggunakan qanun, sidang dilakukan oleh hakim Mahkamah Syar’iyah. Namun, apabila menggunakan UU Perlindungan Anak, sidang dilakukan oleh hakim pengadilan negeri.
Pada beberapa kasus kekerasan seksual terhadap anak, pelaku divonis dengan hukuman cambuk. Setelah dicambuk, terdakwa dibebaskan. Namun, belakangan, Mahkamah Agung mengeluarkan instruksi agar pada kasus kekerasan seksual vonis berupa kurungan.
Anggota Masyarakat Sipil Aceh untuk Penghapusan Kekerasan Seksual, Azharul Husna, mengatakan, Qanun Jinayah masih lemah. Perkara kekerasan seksual pada anak yang telah diatur oleh UU Perlindungan Anak seharusnya tidak perlu lagi dimasukkan dalam qanun.
Baca juga : Seorang Ibu Akan Tetap Rindu pada Anaknya
Dalam UU Perlindungan Anak, hukumannya lebih berat, yakni penjara. Adapun qanun memberikan opsi hukuman cambuk atau penjara. ”Kami mendesak Pemerintah Aceh untuk merevisi Qanun Jinayah dengan mencabut Pasal 47 dan Pasal 50,” ucap Husna.
Pengalaman hakim Mahkamah Syar’iyah yang terbiasa menangani perkara perdata besar kemungkinan rendah pengalaman dalam menangani perkara pidana, termasuk kekerasan seksual terhadap anak.
Pasal 47 mengatur sanksi bagi pelaku pelecehan seksual pada anak dan Pasal 50 mengatur pasal pemerkosaan terhadap anak. Aturan turunan dari qanun terkait restitusi bagi korban hingga kini juga belum disahkan.
Anggota Komisi Pengawasan Perlindungan Anak Aceh, Firdaus Nyak Idin, juga mendesak pemerintah agar penegakan hukum kasus kekerasan seksual terhadap anak dikembalikan ke hakim pengadilan negeri. Ia meragukan kapasitas hakim Mahkamah Syar’iyah dalam menyelesaikan kasus serius seperti itu.
”Pengalaman hakim Mahkamah Syar’iyah yang terbiasa menangani perkara perdata besar kemungkinan rendah pengalaman dalam menangani perkara pidana, termasuk kekerasan seksual terhadap anak,” ujar Firdaus.
Sementara itu, Kepala Dinas Syariat Islam Aceh Alidar berpendapat, dua pasal yang diusul hapus dari Qanun Jinayah tetap akan dipertahankan. ”Saya sepakat revisi. Namun bukan dihapus pasal, tetapi diperkuat,” ucapnya.
Alidar mengatakan, peraturan gubernur tentang restitusi bagi korban kekerasan seksual sedang disusun. ”Qanun Jinayah ini adalah keistimewaan Aceh untuk menerapkan syariat Islam,” ujarnya.
Benteng keluarga
Ketua Penggerak Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Aceh Dyah Erti Idawati mengatakan, pemberdayaan keluarga menjadi salah satu jalan untuk melindungi dan memastikan hak anak terpenuhi. Keluarga yang harmonis dan ekonomi keluarga yang berkecukupan berdampak baik pada tumbuh kembang anak.
Dyah menuturkan, keluarga adalah benteng utama melindungi anak dari kekerasan. Ia berharap, pemerintah desa melibatkan PKK untuk melakukan pemberdayaan keluarga, terutama bagi perempuan.