Aku Menyesal Mencuri dari Kotak Amal, Aku Ingin ke Pesantren
MF dipukuli massa setelah mencuri uang dari kotak amal masjid di Desa Cempedak, desa tetangga. Anak dari keluarga yang tidak harmonis dan miskin ini menyesal dan berharap bisa meneruskan pendidikan di pesantren.
Oleh
ZULKARNAINI
·4 menit baca
Perjalanan hidup MF (13), seorang anak laki-laki di Desa Rawa Itek, Kecamatan Jambo Aye, Kabupaten Aceh Utara, Provinsi Aceh, sungguh pilu. Orangtuanya bercerai, ia dipaksa bekerja, ditelantarkan oleh ibu, dan putus sekolah. MF adalah korban dari kehidupan keluarga yang disharmonis.
MF baru saja mengalami pengalaman buruk. Karena mencuri uang dari kotak amal masjid di Desa Cempedak, desa tetangga, dia dipukuli, diikat, dan ditakut-takuti dengan pistol. MF diadili oleh massa melalui pengadilan jalanan.
Saat ditemui di rumahnya, Selasa (1/6/2021), dia terlihat murung. Sejak peristiwa perundungan terjadi pada Minggu (23/5), dia lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Mereka tinggal di rumah tipe 36, bantuan Pemprov Aceh.
”Lon meunyesai. Lon ingin duek bak dayah (Aku menyesal. Aku mau masuk ke pesantren),” kata MF pelan.
MF mengambil uang dari kotak amal untuk membeli gawai. Dia ingin memiliki gawai untuk bermain gim daring, seperti teman seusianya. Karena ayah tak memiliki uang, dia nekat mengambil Rp 1,5 juta dari kotak amal masjid.
Aksi MF terekam kamera pemantau. Beberapa hari kemudian saat kembali ke masjid untuk mengambil lagi, MF ditahan oleh warga. Di depan massa, MF seperti terdakwa yang tak bisa membela diri.
”Saya dipukul, tapi tidak ingat berapa kali,” ujar MF.
MF mengambil uang dari kotak amal untuk membeli gawai. Dia ingin memiliki gawai untuk bermain game daring seperti teman seusianya. Karena ayah tak memiliki uang, dia nekat mengambil Rp 1,5 juta dari celengan masjid.
Rekaman video saat MF dibentak, ditampar, dan tangan diikat beredar cepat di media sosial. Dalam video itu juga terlihat ada oknum polisi memperlihatkan pistol untuk menakut-nakuti MF. Oknum polisi tersebut kini diperiksa oleh petugas Bidang Profesi dan Pengamanan (Propam) Polda Aceh.
Sementara kasus pencurian uang celengan masjid dan perundungan diselesaikan secara damai. Keluarga MF mengembalikan uang dan pelaku perundungan meminta maaf.
Kepala Kepolisian Sektor Jambo Aye Ajun Komisaris Ahmad Yani mengatakan, keluarga korban, pelaku, dan aparat desa sepakat menyelesaikan secara musyawarah.
Keluarga disharmonis
Kompas mewawancarai MF didampingi oleh M Nazar (50), ayahnya, dan Atun Sofa Rahayu (45), bibinya. Sejak enam bulan lalu, Nazar mengalami gangguan jiwa. Ragam persoalan rumah tangga membuatnya depresi. Kini, dia lebih banyak melamun dan tidak bisa bekerja.
MF anak kedua dari tiga bersaudara. Saat usianya 6 tahun, ayah dan ibunya bercerai. Nazar sempat menikah lagi, tetapi lagi-lagi dia ditinggal pergi oleh sang istri. Persoalan ekonomi keluarga yang buruk membuat rumah tangga itu ambruk.
MF dan kakaknya diboyong oleh ibu ke Medan, Sumatera Utara. Adapun anak bungsu tinggal di Aceh Utara. Di Medan, MF disuruh berjualan sate keliling sehingga jarang masuk sekolah.
MF anak kedua dari tiga bersaudara. Saat usianya 6 tahun, ayah dan ibunya bercerai. Nazar sempat menikah lagi, tetapi lagi-lagi dia ditinggal pergi oleh sang istri. Persoalan ekonomi keluarga yang buruk membuat rumah tangga itu ambruk.
Pada pertengahan 2019, ibunya mengantar MF kembali ke keluarga ayah di Aceh Utara. Namun, karena pandemi Covid-19, MF tidak bisa bersekolah lancar. Hingga kini, MF belum bisa membaca dan menulis.
Atun mengatakan, pihaknya telah memaafkan pelaku perundungan. Yang dikhawatirkan kini bagaimana kelanjutan pendidikan MF dan adiknya.
”Mereka ini anak-anak yang kurang kasih sayang orangtua dan keluarga miskin. Selama ini kami membantu, tetapi keadaan ekonomi kami juga pas-pasan,” ujar Atun.
Atun berharap pemerintah atau dermawan yang mau memfasilitasi pendidikan MF dan adiknya. MF ingin masuk ke pesantren, sedangkan adiknya masih kelas II SD.
Atun mengatakan peristiwa yang menimpa MF akan menjadi pengalaman hidup. Dia meyakini MF akan berubah menjadi anak yang lebih baik.
Pengajar ilmu sosiologi Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Fajri, mengatakan, anak yang menjadi korban kekerasan akan mengalami trauma, sikap tidak percaya diri, dan membatasi diri bergaul dengan lingkungan. Kondisi ini yang tidak lepas dari faktor kemiskinan akan menghambat tumbuh kembang anak. Oleh sebab itu, pemerintah harus memperbaiki ekonomi dan pendidikan mereka.
Dalam kasus yang menimpa MF, menurut dia, tidak masalah jika diselesaikan melalui musyawarah sesuai dengan kearifan lokal. Namun, Fajri berharap pemerintah menjamin pendidikan korban, memperbaiki ekonomi keluarga, dan melakukan sosialisasi perlindungan anak kepada warga.
Wakil Bupati Aceh Utara Fauzi Yusuf mengatakan, dia sangat prihatin dengan peristiwa itu. Fauzi meminta dinas sosial untuk menangani masalah itu.
Pemkab akan mencari pesantren atau yayasan yang cocok bagi MF. Ini harus menjadi beban dan tanggung jawab pemerintah.
Fauzi mendukung keinginan MF untuk masuk ke pesantren. Pemkab akan mencari pesantren atau yayasan yang cocok bagi MF. ”Ini harus menjadi beban dan tanggung jawab pemerintah,” kata Fauzi.
Sementara itu, anggota Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, Aulia, mengatakan, dalam peristiwa itu terdapat dua kasus, yakni anak yang melakukan pencurian dan orang dewasa melakukan kekerasan terhadap anak.
Anak sebagai pelaku pelanggaran hukum dapat diselesaikan melalui skema keadilan restoratif, apalagi itu hanya pidana ringan. Namun, orang dewasa melakukan kekerasan terhadap anak termasuk dalam kejahatan berat sehingga harus dihukum.
”Seharusnya tidak perlu menunggu laporan sebab barang bukti video dan saksi cukup untuk memproses pelaku,” kata Aulia.
Aulia mengatakan, anak yang mengalami kekerasan akan menerima dampak jangka panjang, dia akan tertekan secara psikologis dan cenderung muncul stigma dari lingkungan.
Aulia menambahkan, seharusnya warga tidak merespons pelanggaran hukum dengan kekerasan. Hal itu sama dengan warga menghakimi tersangka di luar pengadilan resmi.
Menurut Aulia, penegakan hukum harus dilakukan agar kekerasan terhadap anak dapat ditekan. Kasus kekerasan terhadap di Aceh cukup tinggi. Data dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, sejak 2018 hingga 2020 kekerasan terhadap anak terjadi sebanyak 1.687 kasus. Bentuk kekerasan juga beragam, seperti pelecehan seksual, penelantaran, eksploitasi ekonomi, dan kekerasan fisik.