Pariwisata Perlu Terobosan Kebijakan agar Tetap Hidup
Sejumlah akademisi dan pelaku usaha berharap pemerintah mencari terobosan untuk menjaga agar sektor pariwisata dan ekonomi kreatif bisa tetap hidup di tengah pandemi Covid-19. Beberapa cara bisa ditempuh sebagai solusi.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 yang tidak menentu mendorong pembatasan pergerakan masyarakat terus dijalankan guna meredam penularan. Pemerintah diharapkan punya terobosan kebijakan agar sektor industri pariwisata dan ekonomi kreatif tetap bisa hidup.
Dosen Universitas Prasetiya Mulya, M Setiawan Kusmulyono, Kamis (3/6/2021), di Jakarta, berpendapat, ada empat kunci yang seharusnya dipertimbangkan pemerintah saat ini, yaitu pariwisata teritorial, digitalisasi, kolaborasi, dan insentif usaha. Pariwisata teritorial berarti pariwisata dalam area tertentu saja, seperti Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi), Gerbangkertasusila (Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, dan Lamongan), Medan Raya, serta Joglosemar (Yogyakarta, Solo, dan Semarang).
Oleh karena kebijakan pembatasan sosial ada di mana-mana, maka harapannya adalah wisatawan lokal area yang tidak lintas provinsi. Lalu, kata Setiawan, fokus ekonomi kreatif harus menyasar segmen lokal ini dengan segala selera yang ada.
Digitalisasi adalah salah satu cara untuk dapat melawan pembatasan sosial. Arus barang tetap dapat dilayani. Hal ini berarti semua aktor usaha pariwisata wajib memiliki layanan digital, dari profil hingga pemesanan.
Kolaborasi berarti sesama pelaku jasa usaha pariwisata saling mendukung. Misalnya, kafe di Bali yang terkenal dapat berkolaborasi dengan kafe di Jakarta untuk menghadirkan suasana ataupun makanan.
”Jika ketiga langkah di atas sudah dilaksanakan, langkah keempat adalah memberikan insentif usaha bagi pelaku usaha, seperti keringanan Pajak Pertambahan Nilai dan sejenisnya. Hal ini untuk menjaga daya beli masyarakat yang sekarang seharusnya mulai mempertimbangkan konsumsi sekunder dan tersier,” ujar Setiawan.
Lebih jauh, dia memandang, setiap daerah harus mampu berdikari di wilayah masing-masing. Pemerintah daerah bersama pelaku jasa pariwisata dan ekonomi kreatif setempat fokus menggarap pasar sehingga ketika pandemi Covid-19 usai, mereka dapat meraup keuntungan lebih banyak dengan akses wisatawan antardomestik dan mancanegara.
Secara khusus, menyangkut ekonomi kreatif, Setiawan berpendapat bahwa pendekatan kebijakan yang diambil pemerintah semestinya fokus ke peningkatan konsumsi warga. Namun, jika tidak diperkuat dengan kesinambungan usaha yang memastikan konsumsi dapat hidup, strategi ini sulit berhasil.
”Seandainya (pemerintah) mempromosikan ekonomi kreatif suatu wilayah untuk dikunjungi, tetapi pembatasan sosial masih berjalan, tentu pergerakan orang tetap terbatas. Oleh karena itu, keempat langkah tersebut dapat menjadi salah satu alternatif untuk bertahan dalam situasi seperti sekarang,” ujarnya.
Kepala Pusat Studi Pariwisata Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Janianton Damanik berpendapat senada. Pemerintah daerah secara khusus perlu menciptakan pasar jasa usaha pariwisata dan ekonomi kreatif di wilayahnya. Sebagai contoh, pemerintah daerah kabupaten/kota memberikan insentif kunjungan wisata bagi warga. Cara ini juga membantu usaha jasa pariwisata tetap bisa hidup.
Hanya saja, tidak semua kepala daerah mempunyai visi pariwisata dan ekonomi kreatif secara berkelanjutan. Kalaupun ada, kepala daerah bersangkutan cenderung mengedepankan pola pikir menggaet investor dan mengejar profit ekonomi. ”Padahal, pariwisata dan ekonomi kreatif sejatinya merupakan social development,” kata Janianton.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, terdapat 13 jenis usaha pariwisata. Ke-13 jenis usaha pariwisata yang dimaksud meliputi, antara lain, penyediaan akomodasi, jasa perjalanan pariwisata, serta penyelenggaraan hiburan dan rekreasi. Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran mengatakan, beberapa jenis usaha pariwisata tersebut di antaranya mulai gulung tikar satu per satu. Hal tersebut berdampak pada nasib kesejahteraan pekerja.
Dia menggambarkan, dari aspek penyediaan akomodasi, rata-rata tingkat okupansi hotel saat ini di bawah 30 persen. Dengan okupansi sebesar itu, Maulana memperkirakan saat ini sudah ada sekitar 300.000 orang tidak lagi bekerja.
Tren orang tinggal dan berlibur atau staycation di hotel cenderung dilakukan oleh sebagian kecil kelompok masyarakat. Kategori hotel yang sanggup mengikuti tren itu biasanya hotel bintang tiga atau lebih.
”Sektor industri pariwisata membutuhkan pergerakan orang. Kunjungan membuat transaksi sektor ekonomi kreatif tercipta. Pada saat pemberlakuan kebijakan pelarangan mudik, tetapi pariwisata tetap diperbolehkan buka, mungkin hanya jasa penyelenggara hiburan dan rekreasi yang mendapatkan untung,” ujar Maulana.
Menurut dia, pelonggaran perjalanan wisatawan tetap diperlukan agar sektor industri pariwisata dan ekonomi kreatif tetap hidup. Rumusan kebijakan pemerintah seperti itu perlu didukung dengan pemberlakuan protokol kesehatan yang ketat. Pemerintah daerah semestinya terus didorong mendukung hal itu, yakni dimulai dari memfasilitasi vaksinasi bagi pekerja di sektor industri tersebut.
Pelonggaran perjalanan wisatawan tetap diperlukan agar sektor industri pariwisata dan ekonomi kreatif tetap hidup.
Koreksi
Sebelumnya, saat rapat kerja bersama Komisi X DPR RI, Rabu (2/6/2021), di Jakarta, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf/Baparekraf) Sandiaga Uno mengatakan, perbatasan internasional masih ditutup. Ditambah lagi, prediksi Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Organisasi Pariwisata Internasional (UNWTO) terbaru menyebutkan bahwa kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) belum tentu pulih hingga 2024.
Pihaknya telah melakukan koreksi target kunjungan wisman beserta penerimaan devisa pariwisata. Target devisa pada 2021 semula 4,8 miliar-8,5 miliar dollar AS dikoreksi menjadi 0,3 miliar-0,41 miliar dollar AS. Sementara target capaian devisa tahun 2022 dikoreksi dari 10,6 miliar-11,3 miliar dollar AS menjadi 0,83 miliar-1,44 miliar dollar AS.
Target kunjungan wisman pada 2021 juga dikoreksi, yaitu dari semula 4 juta-7 juta orang menjadi 1,5 juta-2,1 juta orang. Lalu, target pada 2022 dikoreksi dari 8,5 juta-10,5 juta wisman menjadi 4,2 juta-5,9 juta wisman. ”Kita perlu memberikan semangat kepada para pelaku pariwisata dan ekonomi kreatif melalui kebijakan-kebijakan sehingga mereka tidak hanya dapat bertahan, tetapi juga dapat meraih peluang untuk jadi pemenang,” kata Sandiaga.