Bergesernya dominasi pembelian SBN dari perbankan ke BI jelas merupakan fenomena yang positif. Hal Ini mengindikasikan perbankan mulai mengurangi pembelian SBN.
Oleh
M Fajar Marta
·4 menit baca
Realisasi defisit anggaran negara pada 2020 mencapai Rp 956,3 triliun, atau lebih dari tiga kali lipat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Defisit anggaran melonjak tinggi karena pemerintah harus membiayai penanganan pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional yang sebesar Rp 695,2 triliun pada 2020.
Untuk membiayai defisit tersebut, pemerintah pun berutang besar-besaran dengan menerbitkan surat utang negara yang dikenal dengan nama Surat Berharga Negara (SBN). Total SBN yang diterbitkan secara neto oleh pemerintah pada 2020 mencapai Rp 1.177,2 triiun, yang tercatat sebagai yang terbesar sepanjang sejarah republik. Jumlah tersebut lebih dari tiga kali lipat dibandingkan penerbitan SBN pada tahun-tahun sebelumnya. Sebagai perbandingan, pada 2019 penerbitan SBN neto sebesar Rp 402 triliun.
Dengan menerbitkan SBN yang sebagian besar berdenominasi rupiah, pemerintah menginginkan pihak pemberi utang adalah institusi-institusi dan masyarakat Indonesia sendiri. Lalu, pihak mana saja yang banyak menyerap SBN sepanjang 2020?
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, perbankan menjadi pembeli SBN neto terbanyak pada 2020 yang mencapai Rp 753,4 triliun. Pembeli kedua terbanyak adalah Bank Indonesia selaku bank sentral sebanyak Rp 234,71 triliun. Berikutnya adalah asuransi, dana pensiun, dan reksadana sebesar Rp 101,1 triliun. Adapun sisanya dibeli oleh perorangan dan lembaga-lembaga lain.
Tahun 2021
Adapun tahun 2021, pemerintah berencana menerbitkan SBN sebesar Rp 1.207,3 triliun guna menutup defisit yang diproyeksikan senilai Rp 1.006,4 triliun. Seperti halnya tahun 2020, tahun ini anggaran belanja pemerintah juga masih difokuskan untuk menangani pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional dengan alokasi sebesar Rp 699,43 triliun.
Per 20 Mei 2021, SBN neto yang diterbitkan pemerintah sebesar Rp 304 triliun atau 25,2 persen dari proyeksi keseluruhan tahun.
Berbeda dengan tahun 2020, tahun ini terlihat perbankan tak lagi dominan menguasai lelang SBN. Hingga 20 Mei 2021, SBN neto yang dibeli perbankan sekitar Rp 104 triliun, tak terpaut jauh dengan pembelian BI yang sebesar Rp 88,53 triliun.
Adapun asing masih mencatat net sell sebesar Rp 23,16 selama tahun berjalan. Sejak September 2020, investor asing sebenarnya mulai masuk kembali ke Indonesia seiring dilonggarkannya pembatasan sosial yang mendorong mobilitas masyarakat dan aktivitas perekonomian.
Namun, investor asing kembali ragu-ragu membeli SBN melihat penanganan pandemi yang tidak konsisten sehingga kasus Covid-19 di Indonesia yang sebelumnya melandai kembali berfluktuatif. Belakangan, seiring meningkatnya perekonomian Amerika Serikat (AS), investor asing malah lebih banyak lagi memindahkan portofolio investasinya dari Indonesia ke AS.
Bergesernya dominasi pembelian SBN dari perbankan ke BI jelas merupakan fenomena yang positif. Hal Ini mengindikasikan perbankan mulai mengurangi pembelian SBN. Ada dua alasan bagi perbankan melakukan hal ini.
Pertama, porsi SBN terhadap aset produktif perbankan sudah terlampau tinggi. Pada akhir 2020, porsi SBN mencapai 15 persen, melonjak tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yang berkisar 9 persen.
Kedua, perbankan mulai mengalokasikan lebih banyak likuiditasnya untuk penyaluran kredit seiring makin meningkatnya aktivitas perekonomian pada 2021.
Sepanjang 2020, perbankan bisa dibilang menggunakan hampir seluruh likuiditasnya untuk memborong SBN. Alokasi dana untuk penyaluran kredit sangat minim akibat rendahnya permintaan kredit dari sektor riil dan juga perilaku perbankan yang lebih senang membeli SBN didasarkan pertimbangan risiko dan keuntungan.
Bila kasus Covid-19 bisa dikendalikan dan momentum pemulihan terjaga, permintaan kredit diperkirakan bakal meningkat pesat mulai triwulan II-2021. Hal ini sejalan dengan pertumbuhan ekonomi triwulan kedua yang ditargetkan mencapai 7 persen.
Sejumlah indikator memang mengindikasikan pemulihan ekonomi yang terus bergulir mulai dari membaiknya tingkat konsumsi, meningkatnya purchasing manager index manufaktur, pemulihan aktivitas investasi, hingga ekspor yang terus bertumbuh.
Uang beredar
Dengan menurunnya pembelian SBN oleh perbankan, BI pun menjadi andalan pemerintah untuk menyerap SBN yang diterbitkan sepanjang tahun ini. Berbeda dengan pembelian oleh perbankan atau institusi lain, pembelian SBN oleh BI memiliki dampak moneter, yakni meningkatnya uang beredar di masyarakat. Semakin banyak BI membeli SBN, semakin banyak pula uang yang beredar. Ini karena setiap BI membeli SBN di pasar perdana maka setiap itu pula terjadi proses penciptaan uang.
Meningkatnya uang beredar pada gilirannya akan mendorong inflasi, yang apabila tidak terkendali akan menjadi bumerang bagi perekonomian. Dalam kondisi ekonomi yang masih lesu seperti sekarang, dampak terhadap inflasi mungkin belum akan terasa. Namun, saat ekonomi telah pulih, ekses likuiditas harus ditarik kembali agar tak berdampak buruk bagi perekonomian.