Kopi Arab Panjunan, Mengalirkan Hangatnya Keberagaman
Kopi Arab dari Cirebon lebih dari sekedar minuman biasa. Dari sana mengalir hangatnya keberagaman sejak dulu kala.
Kopi Arab di Masjid Merah Panjunan, Kota Cirebon, Jawa Barat, tidak hanya menghangatkan tubuh setelah menunaikan ibadah malam selama bulan suci Ramadhan. Kopi berisi rempah-rempah Tanah Air itu juga menyuburkan keberagaman di “Kota Wali”.
Shalat tarawih di Masjid Panjunan malam itu, Selasa (11/5/2021), diikuti lebih dari 20 jemaah. Sebagian besar warga keturunan Arab. Bertubuh tinggi, hidung bangir, dan berjenggot. Beberapa di antaranya menggosok giginya dengan kayu siwak, sikat gigi khas Timur Tengah.
Setelah shalat Tarawih 23 rakaat pukul 21.15, jemaah bergeming di masjid. Sapuan angin tak mampu membuat kaki beranjak. Mereka duduk, berzikir, dan menunggu hidangan kopi Arab. ”Wis ana tah kopie (kopinya sudah ada belum)?” ucap Muhammad Jafar bin Abdurahman (32), pengurus masjid yang juga keturunan Arab kepada jemaah.
Meskipun disebut kopi Arab, bukan berarti kopinya diimpor dari Arab. Malah, semuanya berasal dari dalam negeri. Bubuk kopinya dibeli dari warung-warung setempat. Adapun campurannya adalah rempah-rempah, seperti jahe, salam, kayu manis, dan kapulaga.
Itu sebabnya, rasanya seperti wedang. Ketika melintasi tenggorokan, kopi itu langsung menghangatkan tubuh. Aromanya tajam, membuat betah menghirupnya. Setengah gelas kopi gratis itu pun menemani jemaah mengobrol semalam suntuk.
”Disajikan setelah tarawih agar jemaah segar dan kuat menunaikan ibadah malam,” kata Jafar yang dikerap disapa Habib Shodiq. Bulan suci Ramadhan memang kerap diisi dengan iktikaf di masjid serta shalat Tahajud tengah malam.
Kebiasaan minum kopi setelah tarawih bermula dari Timur Tengah. Warga keturunan Arab di Panjunan lalu mengadopsinya dengan beberapa penyesuaian. ”Dulu, kopi dan beberapa rempahnya dari sana (Arab). Tapi, harganya lumayan (mahal),” kata Shodiq yang kakeknya masih kelahiran Timur Tengah.
Kopi di Arab berbeda karena tidak disangrai sampai matang. Warnanya kekuningan, bukan hitam pekat. Selain persoalan harga, kopi khas di sana juga tidak begitu lekat dengan lidah penduduk setempat sehingga bahan yang digunakan berasal dari lokal.
Meski demikian, penyajiannya tidak berbeda. Awalnya, air dipanaskan bersama gula merah dan jahe. Porsi jahe disesuaikan selera, tapi biasanya tak terlalu banyak agar tidak terasa pedas. Selanjutnya, bahan rempah lainnya dimasukkan, seperti biji kapulaga. Setelah direbus lagi, kopi disaring dan siap dinikmati.
Apakah minuman itu sudah ada sejak masa Sunan Gunung Jati?
Pembuatnya adalah keluarga besar mendiang Habib Abdurahman Alkaff, ayah Shodiq. Saat ini, ibu Shodiq, Zaenab yang berusia sekitar 60 tahun, rutin membikin kopi Arab selama Ramadhan. Ia tidak tahu pasti kapan tradisi minum kopi Arab berlangsung di Masjid Merah Panjunan. Namun, kebiasaan itu sudah ada sebelum ia lahir.
Bahkan, dalam arsip Kompas (13/9/2008), Habib Abdurahman menyebut, kebiasaan tersebut sudah berusia lebih dari seabad. Apakah minuman itu sudah ada sejak masa Sunan Gunung Jati (SGJ), pimpinan Cirebon, sekira abad ke-15 seperti usia Masjid Merah Panjunan? Abdurahman kala itu hanya mengatakan, SGJ yang berasal dari Arab pasti suka minum kopi.
Percampuran
Panjunan memang sejak berabad silam dikenal sebagai kampung Arab. Perintisnya, Syarif Abdurrahman dari Arab yang dikenal sebagai Pangeran Panjunan. Nama Panjunan berasal dari kata anjun yang berarti tanah liat atau gerabah. Syarif Abdurrahman tidak hanya menyebarkan Islam, tetapi juga mengembangkan kerajinan gerabah.
Pada 1480, dia membangun Masjid Merah Panjunan, lebih tua dibandingkan Masjid Agung Sang Cipta Rasa di dekat Keraton Kasepuhan. Masjid Panjunan juga dikenal sebagai masjid abang (merah) karena dindingnya berupa bata merah. Wali Sanga, sembilan tokoh besar penyebar Islam di Jawa, kerap bermusyawarah di sana.
Baca juga: Masjid Agung Sang Cipta Rasa, Warisan Wali untuk Indonesia
Kehadiran bangsa Arab berlangsung sejak abad ke-15 ketika Pelabuhan Cirebon disinggahi pedagang berbagai negara. Salah satu yang diperjualbelikan tak lain rempah-rempah. Pustaka Negarakretabhumi Parwa 1 Sargah 3 menyebutkan, pada 1447, 106 warga Cirebon berasal dari Jawa, Sumatera (16), Semenanjung Malaka (4), India (2), Persia (2), Syam (3), Arab (11), dan China (6).
Profesor Dadan Wildan dalam bukunya, Sunan Gunung Jati: Petuah, Pengaruh, dan Jejak-jejak Sang Wali di Tanah Jawa menuliskan, selain punya pelabuhan besar, Cirebon dikunjungi banyak bangsa karena suasana yang kondusif. ”Bahkan, banyak pedagang asing menetap di Cirebon,” tulisnya.
Itu sebabnya Pangeran Sulendraningrat menyebut Cirebon berasal dari kata sarumban (pusat tempat percampuran penduduk) yang kemudian menjadi caruban sebelum dikenal sebagai Cirebon. Meskipun Pelabuhan Cirebon kini sepi, hanya didominasi bongkar muat batubara, wujud keberagaman di Cirebon masih lestari.
Dinding Masjid Panjunan, misalnya, dihiasi keramik dari China dan Belanda. Naniek Harkantiningsih dalam tulisan ”Seni Hias Tempel Keramik Kesultanan Cirebon: Toleransi dalam Kebinekaan”, yang diterbitkan Kapata Arkeologi Volume 13 pada 2 November 2017 mencatat hal luar biasa.
Di dekat mihrab masjid, terdapat tegel keramik cerita Alkitab, yakni Daud sedang memainkan kecapi di hadapan Raja Saul dan disaksikan oleh seseorang yang berlari di sisi Raja. Setiap tarawih, imam masjid juga berganti dari umur 30-an hingga lebih 50 tahun. Dari warga setempat sampai imam keturunan Arab.
Begitupun dengan kopi Arab yang merupakan perpaduan Timur Tengah dengan rempah-rempah lokal. Selain Ramadhan, kopi itu juga bisa dipesan untuk acara lain, seperti tahlilan. ”Makanya, kopi ini juga biasa disebut kopi tahlilan. Pemesannya bukan hanya warga keturunan Arab,” ungkap Shodiq.
Tidak hanya itu, penyajian kopi juga mencerminkan kesetaraan. Tidak peduli anak kecil hingga warga lanjut usia, kopi yang disuguhkan kepada jemaah tarawih semuanya setengah gelas. ”Dapatnya rata semua. Kalau penuh, kami juga khawatir ada yang enggak suka. Nanti mubazir,” katanya.
Jika kopinya habis dan persediaan masih ada, jemaah bisa minta tambah. Namun, ini agak sulit. Tidak jarang warga meminta kopi itu saat pengurus masjid membawanya dari rumah Shodiq, sekitar 50 meter dari masjid. ”Kalau yang kritik kopi Arab enggak ada. Yang ada ketagihan,” ungkap Shodiq diikuti tawa.
Muhammad Irfan (49), penjaga masjid, mengaku jatuh hati dengan kopi Arab. ”Kopinya enak di perut, buat hilangin masuk angin dan mag. Pernah saya coba racik sendiri dengan bahan yang sama, tetapi, rasanya tetap beda,” ujarnya.
Kopi itu hanya satu dari sekian hal yang ia nikmati. Hal lainnya adalah perhatian pengurus masjid, baik keturunan Arab dan warga setempat, yang membolehkannya tinggal di masjid lima tahun terakhir. Sebelumnya, ia banyak tidur di emperan toko dan pusat perbelanjaan yang memadati Panjunan.
Di ujung malam Ramadhan, menikmati kopi Arab bersama Irfan dan jemaah lain di Masjid Merah Panjunan seperti mencicipi keberagaman di Indonesia. Rasanya, menghangatkan dan menyegarkan.
Baca juga: Kedua Kalinya Idul Fitri Kala Pandemi, Berikut Kisahnya dari Seluruh Penjuru Tanah Air