Benahi Mekanisme Insentif dan Lindungi Tenaga Kesehatan
Mekanisme pembayaran insentif tenaga kesehatan harus dibenahi agar pembayaran insentif bisa dilakukan lebih cepat. Selain insentif, tenaga kesehatan juga berhak atas perlindungan.
Oleh
Ahmad Arif
·5 menit baca
ISTIMEWA/NAKES COVID-19
Tenaga kesehatan ingin insentif segera dibayarkan.
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Kesehatan dituntut mempercepat dan membenahi mekanisme pembayaran insentif kepada tenaga kesehatan, termasuk yang bertugas di Rumah Sakit Darurat Covid-19 Wisma Atlet. Tenaga kesehatan yang menuntut haknya atas insentif juga wajib dilindungi.
Pelaksana Tugas Kepala Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia (PPSDM) Kementerian Kesehatan Kirana Pritasari, dalam pertemuan pers secara daring, Selasa (11/5/2021), mengatakan, ada tunggakan insentif untuk tenaga kesehatan (nakes) tahun 2020 sebesar Rp 1,48 triliun yang sebagian besar untuk pembayaran bulan Desember. Karena menunggak, anggarannya kemudian diblokir.
Namun, Kemenkes sudah mengajukan review kepada Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) agar blokir anggaran pada Badan PPSDM dibuka. ”Hingga saat ini sudah sebesar Rp 1,097 triliun yang dibuka blokirnya sehingga secara keseluruhan tinggal Rp 382,8 miliar yang masih harus di-review,” kata Kirana.
Ia mengatakan, dari total tunggakan sebesar Rp 1,48 triliun, anggaran yang sudah disetujui untuk dibayarkan sebesar Rp 790,28 miliar untuk 124.855 nakes. ”Artinya, kami sudah mengajukan proses ke Kementerian Keuangan dan disetujui. Kami menunggu hasilnya yang biasanya membutuhkan proses satu-dua hari ke depan,” ujarnya.
Kirana menambahkan, pembayaran tunggakan insentif nakes di Rumah Sakit Darurat Covid-19 Wisma Atlet untuk Desember 2020 sebesar Rp 11,8 miliar sudah dibayarkan langsung ke rekening nakes.
Adapun untuk pembayaran insentif nakes tahun 2021, Kirana mengatakan, usulan insentif yang masuk sekitar Rp 1,04 triliun. Namun, yang disetujui verifikator pusat sebesar Rp 717,5 miliar untuk 120.613 nakes. ”Untuk yang Rp 717,5 miliar ini tidak perlu direvisi oleh BPKP, ini anggaran yang efektif yang bisa dilakukan proses pembayaran,” katanya.
Kepala Bidang Pengawasan Instansi Pemerintah Bidang Polhukam BPKP Iwan Taufiq Purwanto mengatakan, insentif nakes yang sudah direview sebesar Rp 1,097 triliun untuk 167.231 nakes atau sekitar 75,48 persen dari total tunggakan tahun 2020. ”Sisanya sebanyak Rp 382 miliar, di antaranya belum ada data pendukung dari fasilitas kesehatan dan instansi pengusul,” ucapnya.
Iwan mengatakan, BPKP telah menyelesaikan review tunggakan insentif nakes secara bertahap, yaitu dua kali di bulan April dan dua kali di bulan Mei. Review dilakukan bertahap karena kelengkapan data dan dokumen pendukung tunggakan insentif nakes dari Badan PPSDM Kemenkes juga disampaikan secara bertahap. Selain itu, pengajuannya belum didukung sistem teknologi informasi secara penuh dari Badan PPSDM.
Dokter di RSDC Wisma Atlet, Helmi, mengusulkan perbaikan regulasi sehingga pemberian insentif bisa lebih adil dan transparan. ”Kalau boleh saran, ada keseimbangan antara rumah sakit darurat dan definitif. Di Wisma Atlet tidak bergaji dan hanya dapat insentif. Kalau telat (insentifnya), ya sudah. Kalau di RS lain masih ada gaji plus insentif. Saat awal keterlambatan, ada relawan pergi dan pindah ke RS definitif,” tuturnya.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Tenaga medis keluar dari mobil ambulans sebelum memasuki Rumah Sakit Darurat Covid-19 atau RSDC Wisma Atlet di Kemayoran, Jakarta Pusat, Sabtu (5/12/2020).
Lindungi nakes
Dalam pertemuan pers secara terpisah, Koalisi Warga untuk Keadilan Tenaga Kesehatan Indonesia meminta agar pemberian insentif kepada nakes dibenahi. Kepala Advokasi dan pengacara Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Nelson Nikodemus Simamora, mengatakan, tenaga kesehatan tidak bisa diminta memaklumi lambatnya pencairan insentif dalam waktu berbulan-bulan dengan alasan mereka mengabdikan diri untuk kemanusiaan. ”Insentif tersebut merupakan kewajiban yang harus diberikan oleh negara, serta merupakan hak nakes yang rela membahayakan dirinya demi keselamatan warga negara,” katanya.
Selain itu, Nelson juga meminta nakes yang meminta haknya atas insentif dilindungi. ”Kami menyayangkan adanya tekanan, intimidasi, dan tidak diperpanjangnya kontrak tenaga kesehatan di Wisma Atlet yang menyuarakan hak atas insentif. Apalagi, mereka menyampaikan tuntutannya secara damai,” ujar Nelson.
Di Wisma Atlet tidak bergaji dan hanya dapat insentif. Kalau telat, ya sudah. Kalau di RS lain, masih ada gaji plus insentif.
Menurut dia, pada 7 Mei 2021, LBH mendapatkan permintaan bantuan dari salah satu nakes di Wisma Atlet karena adanya ancaman. ”Pelapor yang menyuarakan keterlambatan pembayaran mendapatkan intimidasi dan sedang diperiksa polisi dengan alasan pelanggaran kode etik,” tuturnya.
Padahal, menurut Nelson, kalau ada pelanggaran kode etik, seharusnya ditangani organisasi profesi. ”Ini cenderung teror dan upaya pembungkaman. Apalagi, nakes ini kemudian diambil kartu pengenalnya, disuruh membuat surat pernyataan, dan akhirnya tidak diperpanjang kontraknya,” ucapnya.
Nakes di Wisma Atlet yang tidak diperpanjang kontraknya ini dalam pertemuan pers mengatakan, ”Kami di RS Lapangan itu hanya terima insentif, tidak menerima gaji yang biasanya terjadi di RS. Kami belum menerima ini sejak Desember, sebagian bahkan sejak November. Namun, saat bersuara, ada tekanan dari berbagai pihak,” tuturnya.
Humas RSDC Wisma Atlet Letkol Laut M Arifin mengatakan, nakes yang tidak diperpanjang kontraknya ini dinilai menyalahi aturan. ”Dia mengundang media tanpa berkoordinasi dengan saya, itu menyalahi,” kata Arifin.
Arifin menambahkan, untuk tunggakan insentif di Wisma Atlet mayoritas sudah dibayarkan sejak kemarin. ”Kalau masih ada yang terlewat (belum dibayar), masih akan terus diupayakan,” ujarnya.
Kompas
Infografik penyaluran insentif dan santunan tenaga kesehatan dalam penanganan Covid-19.
Arifin berharap soal ini sudah selesai dan tidak jadi bahan yang berkepanjangan sehingga mereka bisa berkonsentrasi menghadapi efek lonjakan Covid-19 setelah Lebaran. ”Angka mulai naik dan dipastikan angka terus akan naik ke depan,” ujarnya.
Benahi penyaluran
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, mengatakan, tunggakan pembayaran dan intimidasi terhadap nakes menunjukkan kegagalan pemerintah dalam menjamin keamanan nakes. ”Presiden perlu lebih tegas soal ini. Mungkin ada yang sudah dibayar, tetapi ternyata masih sangat banyak nakes yang mengeluh belum mendapatkannya. Padahal, sudah sangat jelas aturannya, nakes ini harus dibayar insentifnya,” tuturnya.
Kurnia juga mengharapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menelisik lebih lanjut, apakah keterlambatan ini hanya sekadar masalah administrasi atau ada pihak tertentu yang menjadikan ini sebagai ajang korupsi. ”Anggaran Covid-19 yang sangat besar. Jangan sampai perkara bansos ini terjadi juga dalam insentif nakes. KPK jangan hanya pencegahan,” kata Kurnia.
Firdaus Ferdiansyah mengatakan, selain kelancaran pembayaran insentif, juga perlu diselidiki masih adanya pemotongan. ”Banyak laporan yang masuk ke kami adanya pemotongan insentif untuk nakes sehingga mereka tidak menerima sesuai haknya,” ucapnya.
Sekalipun sudah ada aturan baru tentang transfer insentif ke rekening nakes, menurut Firdaus, ada nakes di Jawa Timur yang melaporkan diminta mengambil insentif dan memberikannya ke fasilitas kesehatan tempatnya bekerja. Uang itu kemudian dipotong sebagian.