DPRA Aceh, akhir Februari, akan mulai membahas revisi Qanun Perda Hukum Jinayat dengan memperberat hukuman bagi pelaku kejahatan seksual pada anak di Aceh.
Oleh
ZULKARNAINI
·4 menit baca
KOMPAS/ZULKARNAINI
Anak-anak tengah bermain sepatu batok kelapa di Desa Nusa, Lhoknga, Aceh Besar, Aceh, Sabtu (16/4/2016).
BANDA ACEH, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat Aceh akan segera membahas revisi Qanun atau Perda Hukum Jinayat yang berfokus pada hukuman pelecehan seksual pada anak mulai akhir Februari. Pihak legislatif menginginkan hukuman bagi pelaku kejahatan seksual pada anak diperberat.
Ketua Komisi I DPR Aceh Muhammad Yunus, Selasa (15/2/2022), mengatakan, pembahasan revisi Qanun Hukum Jinayat direncanakan akan dimulai pada akhir Februari. Pembahasan difokuskan pada dua pasal, yakni Pasal 47 dan Pasal 50. Pasal-pasal itu mengatur tentang hukuman bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak.
”Kami belum bisa menyebutkan apa hukuman yang diperberat. Mungkin saja kebiri,” kata Yunus.
Yunus mengatakan, revisi Qanun Hukum Jinayat mendesak dilakukan karena kasus kejahatan seksual pada anak kian masif terjadi, sementara sanksi dalam qanun dianggap lemah.
Di Provinsi Aceh, kasus kejahatan seksual terhadap anak diadili menggunakan qanun, bukan Kitap Undang-undang Hukum Pidana dan UU Perlindungan Anak. Surat edaran dari Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung mengarahkan agar perkara yang diatur dalam qanun dijerat dengan qanun dan diadili oleh hakim pengadilan agama.
Namun, belakangan para pihak di Aceh mempersoalkan penggunaan qanun sebab hukumannya lebih ringan dibandingkan dengan UU Perlindungan Anak. Dalam qanun disebutkan, hukuman bagi pelaku ialah cambuk atau denda atau penjara. Qanun tidak mengatur pemberatan hukuman dan restitusi bagi korban.
Hal itu berbeda dengan UU Perlindungan Anak yang memberikan peluang bagi hakim untuk menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup dan pemberatan hukuman jika pelaku adalah orang dekat korban.
Yunus mengatakan, ada permintaan dari organisasi masyarakat sipil untuk menghapus Pasal 47 dan Pasal 50. Namun, dia menilai akan sulit menghapus pasal tersebut.
Jika dua pasal itu dihapus, proses hukum perkara kekerasan seksual pada anak akan kembali menggunakan UU Perlindungan dan kewenangan mengadili kembali ke pengadilan negeri. ”Bukan dihapus pasal, melainkan ditambah poin untuk memperberat hukuman,” kata Yunus.
Bukan dihapus pasal, melainkan ditambah poin untuk memperberat hukuman. (Muhammad Yunus)
Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Aceh Tarmizi Yakub mengatakan, qanun jinayat memiliki banyak kelemahan sehingga dianggap tidak berpihak kepada korban.
Dia mencontohkan kasus pelecehan seksual terhadap anak di Bireuen yang sedang dia tangani. Pihak kejaksaan tidak mau melimpahkan berkas ke pengadilan karena tidak cukup alat bukti. Padahal, jika merujuk pada UU Perlindungan Anak, kasus itu sudah lengkap syarat untuk menuju persidangan.
Tarmizi berharap proses hukum perkara kekerasan seksual pada anak dikembalikan ke pengadilan negeri dengan menggunakan UU Perlindungan Anak. ”Saya pesimistis revisi qanun akan memperkuat perlindungan terhadap korban,” kata Tarmizi.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Warga melintas di dekat poster yang berisi kecaman praktik kejahatan seksual terhadap anak di perempatan Pingit, Yogyakarta, Jumat (9/5). Peningkatan kewaspadaan pada lingkup keluarga perlu ditingkatkan seiring kian maraknya pengungkapan praktik kejahatan seksual terhadap anak.
Sebelumnya, Kepala Kejaksaan Negeri Bireuen Mohd Farid Rumdana menuturkan, penggunaan qanun sebagai dasar hukum penyelesaian perkara pelecehan seksual terhadap anak sesuai dengan surat edaran Jaksa Agung Nomor SE-2/E/EJP/11/2020 tentang pedoman penanganan perkara tindak pidana umum dengan hukum jinayat di Provinsi Aceh.
Farid mengatakan, pada Pasal 72 Qanun Hukum Jinayat disebutkan, perbuatan jarimah/kejahatan sebagaimana diatur dalam qanun dan diatur juga dalam KUHP atau ketentuan pidana di luar KUHP, yang berlaku adalah aturan jarimah dalam qanun ini.
Menurut Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh Syahrul, surat edaran dari Kejaksaan Agung yang mengarahkan penegak hukum menggunakan qanun dalam memproses kasus kekerasan seksual pada anak bukan produk hukum sehingga tidak cukup kuat alasan bagi kepolisian dan kejaksaan untuk menggunakan qanun. Surat edaran merupakan kebijakan internal yang bersifat teknis, tidak bisa membatalkan undang-undang, ketika surat edaran tersebut menganulir UU, itu kebijakan yang keliru.
Syahrul menilai, surat edaran telah melampaui kewenangan Kejaksaan Agung dan dapat disebut kebijakan yang tidak tepat. ”Sebagai aparat penegak hukum, penyidik kepolisian dan JPU seharusnya sadar, itu kebijakan yang sesat dan tidak harus diikuti karena sejatinya mereka itu tunduk pada undang-undang, bukan kepada pimpinan,” katanya.
Syahrul mengatakan, hierarki regulasi undang-undang lebih tinggi daripada perda. Sangat aneh saat qanun hukum jinayat dapat menggeser posisi KUHP dan UU Perlindungan Anak. UU Perlindungan Anak seharusnya diutamakan untuk kasus anak karena mengatur lebih lengkap dan komprehensif, serta hukuman lebih berat.