Revisi UU Hukum Acara Perdata Ingin Wujudkan Peradilan Cepat, Murah, dan Sederhana
Pemerintah telah menyerahkan draf RUU Hukum Acara Perdata ke Komisi III DPR yang diikuti penyerahan daftar inventarisasi masalah RUU itu dari DPR ke pemerintah. Pembahasan RUU ini akan dimulai pertengahan Maret 2022.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah ingin mewujudkan asas peradilan cepat, sederhana, dan berbiaya ringan melalui kodifikasi hukum acara perdata. Selama ini, hukum acara perdata di Tanah Air dipandang masih mewarisi karakter kolonial di era Hindia-Belanda yang membeda-bedakan golongan masyarakat. Padahal, hal itu sudah tidak relevan lagi dengan situasi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang mensyaratkan semua orang sama kedudukannya di depan hukum dan pemerintahan.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly dalam rapat perdana pengusulan Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Perdata dengan Komisi III DPR, di Jakarta, Rabu (16/2/2022), mengatakan, kodifikasi hukum acara perdata dibutuhkan untuk menjawab kebutuhan publik akan peradilan yang cepat, sederhana, dan berbiaya ringan. Hal itu juga untuk memberikan jaminan dan kepastian hukum bagi masyarakat dan dunia usaha.
Di sisi lain, kodifikasi hukum acara perdata itu mendesak dilakukan untuk mengganti produk hukum kolonial menjadi hukum nasional. Selama ini, hukum acara perdata di Indonesia berserakan di berbagai peraturan perundang-undangan. Bahkan, ada tiga macam hukum acara perdata era kolonial yang masih berlaku, yakni Wetboek op de Burgerlijke Rechtvordering, yakni hukum acara perdata yang berlaku untuk golongan Eropa; Rechtreglement voor dr Buitengewesten, yaitu hukum acara perdata untuk masyarakat di luar Jawa dan Madura; dan Herzien Inlandsch Reglement yang berlaku untuk masyarakat di Jawa dan Madura.
“Kodifikasi ini diharapkan mampu memberikan kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan semua pihak, terutama menyelesaikan keperdataan subyek hukum serta memastikan perlindungan hak asasi manusia dan kewajibannya,” kata Yasonna saat memaparkan pandangan pemerintah di dalam rapat Komisi III DPR, Rabu.
Selain semangat memperbarui hukum acara perdata yang sesuai dengan situasi zaman yang berubah, kodifikasi hukum acara perdata itu juga untuk merespons perkembangan masyarakat yang sangat cepat. Masyarakat, antara lain, membutuhkan hukum acara perdata yang memungkinkan penyelesaian perkara perdata dilakukan efektif dan efisien, sesuai dengan asas peradilan cepat, sederhana, dan berbiaya ringan.
Yasonna mengatakan, percepatan penyelesaian perkara perdata ini juga yang menjadi perhatian pemerintah dalam meningkatkan kemudahan berusaha (ease of doing business) di Indonesia. Sebab, sesuai dengan fokus rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN), ada tiga aspek yang menjadi sasaran, dan salah satunya ialah aspek penegakan kontrak. Penegakan kontrak ini terkait erat dengan penyelesaian sengketa hukum secara perdata. Hal ini termasuk yang diatur di dalam RUU Hukum Acara Perdata.
Setuju dibahas
Menyikapi pandangan pemerintah itu, sembilan fraksi di DPR sepakat untuk membahas RUU Hukum Acara Perdata. Pembahasan akan dilakukan pada masa persidangan DPR berikutnya, mulai pertengahan Maret 2022. Panitia kerja RUU Hukum Acara Perdata DPR akan dipimpin oleh Adies Kadir, yang juga Wakil Ketua Komisi III DPR.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Ihsan Soelistyo, mengatakan, fraksinya pada prinsipnya menyetujui dibahasnya RUU itu. Perubahan dinilai perlu sehingga UU Indonesia benar-benar buatan bangsa Indonesia, dan tidak mendapatkan pengaruh dari hukum acara Belanda.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Golkar, Andi Rio Idris Padjalangi, mengatakan, hukum acara perdata Indonesia selama ini menganut dualisme hukum karena membedakan masyarakat berdasarkan golongannya. Hal ini menimbulkan persoalan jika tetap dipertahankan di masa sekarang.
Selain itu, dengan hukum acara perdata yang ada sekarang, penyelesaian perkara perdata juga cenderung berbelit-belit dan panjang. ”Hal itu tidak sesuai dengan asas cepat, sederhana, dan berbiaya ringan sehingga tidak mencerminkan hukum acara yang baik,” katanya.
Dukungan juga disampaikan oleh Fraksi Gerindra DPR.
”Kami mendapatkan masukan dari masyarakat mengenai hukum acara perdata yang sudah tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat belakangan ini. Sebab, masyarakat menuntut hukum acara perdata yang bisa mengatasi sengketa di bidang perdata dengan efektif dan efisien. Masyarakat yang berperkara perdata sering kali mengeluhkan proses berperkara yang cenderung lama dan berbelit-belit. Hal ini merugikan pencari keadilan,” ujar Habiburokhman, anggota Komisi III dari Fraksi Gerindra.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Aboe Bakar Alhabsyi, mengatakan, fraksinya pun dapat memahami maksud pemerintah untuk mengusulkan RUU tersebut. PKS mendukung adanya pembahasan kodifikasi RUU Hukum Acara Perdata.
Namun, PKS memberikan catatan agar dilakukan harmonisasi terkait sejumlah ketentuan. Salah satunya batasan upaya peninjauan kembali (PK) dalam kasus perdata yang hanya boleh satu kali, sedangkan telah ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membolehkan PK lebih dari satu kali.