Evaluasi Penggunaan Senjata Api Berpeluru Tajam dalam Pengamanan Unjuk Rasa
Dugaan penembakan pengunjuk rasa oleh aparat di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, harus diusut tuntas. Pengamanan unjuk rasa dengan membawa senjata api berpeluru tajam melanggar standar prosedur kepolisian.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tertembaknya seorang pengunjuk rasa penolakan tambang emas di Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, mengindikasikan polisi masih menggunakan senjata api berpeluru tajam untuk mengamankan demonstrasi. Padahal, hal itu dilarang dalam standar prosedur kepolisian. Selain mengusut kasus penembakan berujung kematian yang diduga dilakukan oleh aparat, Polri juga perlu mengevaluasi pengamanan unjuk rasa yang dilakukan di luar prosedur.
Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Poengky Indarti, menyesalkan kasus kematian Erfaldi (21), demonstran penolakan tambang emas, di Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, Sabtu (12/2/2022). Kematian yang diduga terjadi akibat penembakan oleh aparat kepolisian saat mengamankan unjuk rasa itu harus diusut tuntas secara profesional, transparan, dan akuntabel.
”Jika ada dugaan tindak pidana yang dilakukan, pelaku juga harus diproses pidana,” ujarnya saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (15/2/2022).
Ia menambahkan, pengusutan juga perlu memperhatikan ihwal penggunaan senjata api berpeluru tajam dalam pengamanan unjuk rasa. Sebab, standar prosedur pengamanan unjuk rasa melarang hal tersebut. Ia mempertanyakan, apakah saat apel persiapan pengamanan, pimpinan personel telah memeriksa senjata dan amunisi yang dibawa anggotanya.
Merujuk Pasal 7 Ayat (1) Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa, disebutkan bahwa anggota satuan pengendalian massa dalam unjuk rasa dilarang untuk melakukan delapan hal. Salah satunya membawa senjata tajam dan peluru tajam.
Penggunaan senjata api sebagai salah satu kekuatan dalam tindakan polisi diatur dalam Perkap Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian. Pasal 8 Perkap No 1/2009 menyebutkan, penggunaan kekuatan dengan kendali senjata api dilakukan ketika tindakan pelaku kejahatan dapat menimbulkan luka parah atau kematian bagi anggota Polri atau masyarakat, anggota Polri tidak memiliki alternatif lain, dan anggota Polri sedang mencegah larinya pelaku kejahatan yang merupakan ancaman segera terhadap jiwa anggota Polri atau masyarakat. Penggunaan senjata api juga merupakan upaya terakhir untuk menghentikan pelaku kejahatan setelah memberikan peringatan atau perintah lisan.
Adapun penggunaan kekuatan oleh polisi harus memenuhi prinsip legalitas atau sesuai dengan hukum yang berlaku, nesesitas atau dilakukan apabila diperlukan dan tidak dapat dihindarkan berdasarkan situasi yang dihadapi. Selain itu, kekuatan juga dapat digunakan jika memenuhi prinsip proporsionalitas atau dilaksanakan seimbang antara ancaman yang dihadapi dan tingkat kekuatan atau respons anggota Polri sehingga tidak menimbulkan kerugian/korban/penderitaan yang berlebihan.
Berdasarkan sejumlah aturan tersebut, kata Poengky, riskan apabila anggota Polri membawa peluru tajam saat mengamankan unjuk rasa. ”Jika diperkirakan unjuk rasa berubah menjadi anarkis dan dialog dengan pimpinan unjuk rasa gagal, polisi bisa menggunakan tahapan yang diatur dalam Perkap Penggunaan Kekuatan. Misalnya, membubarkan massa dengan gas air mata,” ujarnya.
Ia pun mengingatkan agar para pengunjuk rasa supaya tetap bertindak sesuai dengan koridor hukum. Aksi yang dilakukan hendaknya tidak bersifat anarkis dan merugikan kepentingan publik.
Dihubungi terpisah, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Gerindra, Habiburokhman. menyatakan keprihatinan atas jatuhnya korban jiwa dalam unjuk rasa di Parigi Moutong. Dalam rapat komisi kemarin, ia mengusulkan agar Komisi III melakukan kunjungan spesifik pengawasan ke lokasi unjuk rasa dan penembakan. ”Usul tersebut sudah disetujui, tim akan berangkat pada Kamis (17/2) ke sana,” katanya.
Habiburokhman menambahkan, di lokasi, Komisi III akan menggali seputar pelaksanaan standar prosedur pengamanan yang dilakukan saat itu. Ia pun mempertanyakan penggunaan peluru tajam oleh aparat dalam mengamankan unjuk rasa. ”Harus diusut siapa yang melakukan penembakan dan harus diminta pertanggungjawaban hukum,” ujarnya.
Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso sepakat, aparat yang terbukti menembak demonstran harus dipecat dan diproses secara hukum. Selain itu, sanksi berat terhadap atasan langsung yang tidak mengawasi dan mengendalikan anggotanya saat mengamankan unjuk rasa juga diperlukan.
Menurut Sugeng, evaluasi para atasan langsung itu diperlukan mengingat kekerasan berlebihan yang dilakukan polisi terhadap warga sipil bukan pertama kali terjadi. Beberapa hari lalu, aparat juga diduga menggunakan kekerasan berlebihan terhadap warga di Desa Wadas, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah.
”Dengan kejadian berulang ini, sudah saatnya Kapolri mengevaluasi para kapolda yang tidak mampu melaksanakan Polri Presisi,” katanya.
Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Dedi Prasetyo mengatakan, kejadian ini menjadi bagian dari analisis dan evaluasi kerja Polri. ”Anggota yang terbukti melanggar peraturan akan ditindak tegas, kami masih konsisten sejak dulu,” ucapnya.
Selain itu, Polri juga telah menurunkan tim dari Divisi Propam dan Divisi Humas untuk membantu Polda Sulawesi Tengah menyelidiki pengamanan demonstrasi penolakan tambang emas PT Trio Kencana di Kecamatan Tinombo Selatan, Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, akhir pekan lalu yang mengakibatkan satu korban tewas.
Menurut Dedi, pihaknya telah melakukan tindakan preemptif dan preventif dengan mengedepankan mediasi dan dialog. Petugas sebelumnya juga telah menembakkan gas air mata untuk membubarkan massa. Meski demikian, kasus penembakan akan diusut hingga tuntas secepatnya.
Unjuk rasa penolakan tambang emas dilakukan oleh warga bermula pada Sabtu (12/2). Demonstrasi itu dibubarkan polisi karena memblokade jalan Trans-Sulawesi pada Minggu (13/2) pukul 12.00 hingga pukul 24.00. Pembubaran berakhir ricuh, kemudian salah satu pengunjuk rasa tewas dengan luka tembak. Sebanyak 59 warga diperiksa terkait dengan proses hukum blokade jalan nasional.
Uji balistik
Melalui siaran video, Kepala Bidang Humas Polda Sulawesi Tengah Komisaris Besar Didik Supranoto mengatakan, pihaknya telah memulai uji balistik dengan mengambil sampel dari 20 pucuk senjata api. Pada setiap senjata diambil sampel dari tiga proyektil sehingga total sampel adalah 60 proyektil. Sejumlah sampel itu akan dibawa ke laboratorium forensik yang ada di Sulawesi Selatan untuk dicocokkan dengan satu proyektil yang ditemukan di lokasi unjuk rasa.
Total senjata api yang disita Propam dari lokasi adalah 15 pucuk. Sementara jumlah polisi yang diperiksa adalah 17 orang.
”Dari kasus ini, sudah dikeluarkan LP (laporan polisi) karena perbuatan pidananya sudah ada, yakni orang yang meninggal. Tetapi, untuk (penentuan), tersangkanya masih dalam proses,” kata Didik.
Ia memastikan pengusutan dilakukan secara profesional, setiap perkembangan juga akan disampaikan secara terbuka kepada publik.