Tahun Baru, Pertarungan, dan Peruntungan Baru
Pada masa lalu, orang-orang masuk ke dalam hutan justru untuk menemukan diri sendiri. Tahapan itu disebut dengan wanaprasta, masa di mana seseorang telah sampai pada tingkatan meninggalkan segala bentuk duniawi.
Tahun Baru Imlek 2573 baru saja lewat, tetapi kami sudah bersiap-siap menghadapi Tahun Baru Saka 1944, yang jatuh pada Kamis, 3 Maret 2022. Biasanya, para penganut kalender Saka memperingati tahun baru dengan hari raya Nyepi. Prinsipnya, menciptakan kekhusyukan dengan berhening di dalam diri dan bermeditasi di tengah-tengah semesta. Sebelum sampai pada titik keheningan, digelar ritual pecaruan yang memberi kesan riuh, terutama ketika ogoh-ogoh sebagai perlambang bhutakala (bisa diterjemahkan iblis) diarak keliling kota.
Jauh hari sebelum Imlek, orang tua seperti Cui Chang An, dalam cuaca minus 40 derajat di Pegunungan Changbai, berkelana di tengah hutan untuk menemukan ginseng liar. Seperti diceritakan dalam kisah bertajuk The Reunion Dinnner di kanal National Geographic, Minggu (30/1/2022), Cui Chang An berjalan sampai jauh meninggalkan desanya di Fusong County, Provinsi Jilin, China, untuk mengais-ngais tumpukan salju yang tebal. Tujuannya, menemukan akar ginseng liar yang akan dia sajikan saat malam tahun baru Imlek nanti.
Perburuan ginseng liar, menurut catatan, telah dimulai sejak Dinasti Qing berkuasa di Tiongkok, antara 1644-1912 Masehi. Cui Chang An dan banyak warga Tiongkok memperlakukan ginseng liar sebagai suguhan istimewa saat merayakan malam tahun baru Imlek. ”Kami selalu menyuguhkan wine ginseng di malam tahun baru Imlek,” kata Cui dalam laporan itu.
Ketika melewati malam tahun baru Imlek, Cui Chang An bersama istri dan anak-anaknya dengan rasa bahagia dan bangga menyeruput wine ginseng. Mereka percaya bahwa itulah cara paling bertuah untuk memasuki hari pertama musim semi. Segala peruntungan di tahun yang baru adalah pertarungan serupa: berkelana di tengah hutan untuk menemukan akar pohon dewata itu.
Api sehari-hari adalah perlambang nafsu yang harus dikendalikan di dalam diri setiap manusia.
Nyepi barangkali sedikit berbeda, walau memiliki pesan dan hakikat serupa. Pertarungan yang tadinya penuh keriuhan di jalanan ”melawan” para bhutakala, tepat di hari terakhir penanggalan Saka, tiba-tiba berubah jadi sepi yang menggigit. Orang-orang masuk ke dalam dirinya dengan mematikan api, berpuasa, tidak bekerja, dan hanya berdiam sepanjang hari. Api sehari-hari adalah perlambang nafsu yang harus dikendalikan di dalam diri setiap manusia. Sebagaimana watak api, tanpa pengendalian ia akan berkobar-kobar liar dan bahkan bisa menghancurkan diri manusia sendiri. Di hari Nyepi, pengendalian diri adalah laku meditasi sebelum menapak lagi di tahun baru.
Laku yang serupa juga dipraktikkan oleh sebagian orang Jawa ketika memasuki tahun baru Jawa pada 1 Suro. Tahun 2022, 1 Suro akan jatuh pada 30 Juli 2022. Perayaannya selalu bersamaan dengan tahun baru Hijriah, yakni 1 Muharam, saat Nabi Muhammad SAW hijrah dari Mekkah ke Madinah pada 1622 Masehi.
Biasanya, orang Jawa menjalani laku tapa bisu mubeng beteng, hanya berjalan menyusur jejak spiritual tanpa berbicara. Di Yogyakarta laku ini ditandai dengan tapa bisu mengelilingi benteng Keraton Ngayogyakarta. Ribuan peserta akan berjalan sejauh kurang lebih 5 kilometer, tanpa alas kaki, tanpa berbicara, tanpa makan dan minum, apalagi merokok. Sering kali pula aktivitas spiritual ini diniatkan sebagai tirakat atau lelaku untuk introspeksi diri. Perjalanan ke dalam sunyi itu diharapkan menyadarkan manusia akan eksistensi dirinya yang tak lepas dari kekuatan Mahasuci, Tuhan Yang Maha Esa. Oleh sebab itu, sangatlah penting melakukan introspeksi, menggali-gali segala potensi dalam diri, sebelum memasuki pertarungan hidup di tahun yang baru nanti.
Di hari ini, para penganut kejawen membersihkan benda-benda pusaka seperti keris, tombak, kereta, dan lain-lain. Orang Jawa menyebut laku ini sebagai jamasan pusaka, memandikan benda pusaka peninggalan para leluhur. Jamasan pusaka tak sekadar aktivitas budaya, tetapi laku spiritual yang disertai dengan tirakatan. Orang-orang yang memandikan keris pusaka, terutama milik keraton, diharuskan menjalani laku mutih, berpuasa dengan hanya makan nasi putih selama berhari-hari.
Aktivitas ini bermuara pada laku meditatif sebagai penghormatan dan pemuliaan benda-benda pusaka, yang dipercaya sebagai visualisasi diri manusia sendiri. Membersihkan diri di hari keramat atau suci dipercaya sebagai upaya menebalkan keimanan agar terlahir sebagai manusia yang dalam ungkapan Jawa berbunyi: Wong linuwih iku ambeg welasan lan sugih pangapuro. Inilah nasihat bijak Jawa yang bermakna mereka yang memiliki kelebihan akan lebih mudah memberi maaf dan berbagi rasa kasih.
Dalam perayaan Nyepi, bahkan rasa kasih itu tak hanya harus dialirkan kepada sesama manusia. Makhluk-makhluk yang lebih rendah dari kelas manusia, seperti para bhutakala, diberi sesajian berupa banten, agar mereka turut serta menciptakan harmoni dalam kehidupan alam semesta. Arak-arakan ogoh-ogoh di malam tahun baru Saka tak lain adalah representasi kekuatan rendah yang bersemayam dalam diri setiap makhluk. Kekuatam ”jahat”, yang disimbolkan dengan makhluk-makhluk berwajah menyeramkan, harus dikendalikan dengan laku menepi dari keriuhan duniawi. Hanya dengan cara begitu, manusia memberi kesempatan kepada dirinya untuk mulat sarira, introspeksi dan menghitung setiap langkah yang telah dilakukan selama ini.
Ia akan menjadi manusia baru dengan berlumur pesan-pesan serta perilaku ketuhanan.
Pada masa lalu, orang-orang masuk ke dalam hutan justru untuk menemukan diri sendiri. Tahapan itu disebut dengan wanaprasta, masa di mana seseorang telah sampai pada tingkatan meninggalkan segala bentuk duniawi; meninggalkan segala keterikatan dan menemukan pembebasan diri. Tahapan ini memungkinkan seseorang terlahir kembali menjadi pribadi yang baru, yang penuh laku welas asih, kata-katanya adalah kata-kata kebenaran hakikat. Ia akan menjadi manusia baru dengan berlumur pesan-pesan serta perilaku ketuhanan.
Baca juga: Nyepi untuk Harmoni Bangsa
Wanaprasta dalam pengertian paling moderat, di mana manusia kembali menyadari keberadaannya di dunia sebagai bagian kecil dari realitas semesta raya. Kesadaran itu penting untuk membangkitkan rasa keterhubungan antara diri sebagai makhluk Tuhan, dengan makhluk lainnya, beserta alam semesta berikut segala isinya. Kesunyian yang ”terciptakan” oleh perjalanan Sang Waktu dalam Nyepi telah memberinya kesempatan untuk menoleh ke dalam diri. Bahwa aku bukan siapa-siapa, tanpa dia dan ”Dia”, yang menciptakanku dan makhluk hidup lainnya. Oleh sebab itu, hidup harmoni dalam kebersamaan bukan menjadi pilihan, melainkan anugerah ilahiah.
Sesungguhnya sebagaimana dilansir Ensiklopedia Britanica, festival tahun baru pertama telah dilangsungkan sekitar tahun 2000 SM di Mesopotamia. Waktu itu, kekaisaran Babilonia merayakan tahun baru pada saat ekuinoks musim semi atau sekitar pertengahan (tanggal 20 atau 21) bulan Maret dalam perhitungan tahun Masehi. Sampai hari ini, bangsa Iran, Pakistan, Afghanistan, Turkmenistan, Albania, Turki, dan Azerbaijan masih merayakan tahun baru Nowruz atau Norouz. Ini adalah hari pertama di musim semi yang dirayakan secara meriah. Orang-orang biasanya meletakkan haft-sin, yakni susunan tujuh benda simbolis, yang namanya diawali dengan huruf ”seen”.
Biasanya benda-benda itu diperlakukan sebagai hiasan di dalam rumah. Meski demikian, haft-sin memiliki makna sangat simbolis: sabzeh (tanaman hijau) simbol kelahiran kembali; samanu (puding bibit gandum) sebagai lambang kesuburan dan kesejahteraan; senjed (buah kering lotus) lambang cinta dan kasih sayang; serkeh (cuka) lambang usia dan kesabaran; seeb (apel) untuk kesehatan dan kecantikan; seer (bawang putih) simbol kesehatan; dan somaq (sumaq) pertanda matahari terbit dan kebaikan dalam hidup. UNESCO bahkan telah menjadikan Nowruz sebagai Warisan Budaya Dunia Tak Benda sejak tahun 2009.
Baca juga: Sesaji Bumi Persembahan Semesta Diri
Lalu, perayaan tahun baru penanggalan Masehi yang jatuh pada 1 Januari, pertama kali, dilakukan sekitar tahun 46 SM pada masa pemerintahan Kaisar Romawi Julius Caesar. Kaisar memutuskan mengganti kalender Romawi yang terdiri dari 10 bulan (304 hari) yang diciptakan Romulus pada abad ke-8. Julius Caesar membuat perhitungan kalender baru dibantu Sosigenes, ahli astronomi dari Iskandariah, Mesir. Sejak itu, tahun baru Mesehi diperingati pada 1 Januari, nama bulan yang mengacu kepada Dewa Janus, yang memiliki dua wajah, menghadap ke depan dan ke belakang. Janus oleh bangsa Romawi dipercaya sebagai dewa permulaan dan penjaga pintu masuk.
Pada malam tahun baru orang-orang Romawi sampai kini merayakan tahun baru untuk menghormati Dewa Janus. Selain itu, mereka saling memberi hadiah satu sama lain dan menghias rumah dengan lampu warna-warni. Pemberian hadiah adalah simbol keberuntungan. Hadiah-hadiah itu biasanya berupa ranting pohon keramat, perak atau emas. Adapun hiasan lampu warna-warni adalah perlambang pengharapan di tahun yang baru. Di malam tahun baru mereka juga menyediakan makanan yang serba manis, seperti madu dan gula-gula sebagai perlambang kehidupan yang sejahtera.
Pada akhirnya kau dan aku mendapatkan gambaran lebih menyeluruh tentang makna perayaan tahun baru. Ia tak sekadar hura-hura kembang api atau trompet yang memekakkan telinga, tetapi penuh dengan ritual yang berintikan menaruh harapan memperoleh peruntungan lebih pada tahun mendatang.
Orang tua yang tekun seperti Cui Chang An bertarung ke tengah hutan melawan cuaca dingin yang bisa anjlok ampai 40 derajat di bawah nol untuk menemukan akar dewa bernama ginseng liar. Ia percaya bahwa akar ginseng liar akan membawa peruntungan seluruh keluarganya pada tahun baru. Acara makan bersama di malam tahun baru bukanlah makan biasa. Ia berkumpul bersama seluruh keluarga, lalu menuangkan wine ginseng dan bersulang untuk sesuatu yang lebih baik.
Para penganut kalender Saka dan kalender Jawa melakukan laku menepi dari keriuhan keseharian. Mereka melakukan tapa brata, ritual menempa diri, pertarungan dengan diri sendiri, untuk sesuatu yang mereka yakini sebagai hari suci sebelum kaki menginjak tahun baru. Jadi, tahun baru sesungguhnya tak sekadar mengganti kalender lama dengan kalender baru, lalu kita melanjutkan mengeja almanak, tetapi merayakan hari dan detik terakhir perjalanan Bulan mengelilingi Bumi, sekitar 29,5 hari. Pada saat yang sama Bumi telah mencapai angka 365 hari mengorbit Matahari. Sesudahnya kita akan bertemu dengan bulan baru dalam kalender.
Oleh sebab itulah, tahun baru selalu menjadi hari yang istimewa dalam segenap perjalanan peradaban manusia. Dalam perhitungan penanggalan mana pun, ia akan tetap diperhitungkan sebagai waktu yang baik untuk memanjatkan keinginan, memberikan hadiah, membuat hidangan istimewa, menjalani laku tapa brata, serta memuliakan Sang Pemberi Hidup. Jika kelak kau dan aku bertemu dan merayakan tahun baru bersama, itu berarti kita telah menemukan pijakan yang tepat untuk memulai pertarungan dan menangguk peruntungan pada tahun berikutnya. Rahayu.