Bagi Widodo, Asmat merupakan berkah, seperti butiran air hujan yang menjadi berkah bagi penduduk di wilayah itu.
Oleh
ANTONIUS TOMY TRINUGROHO
·4 menit baca
Di Asmat, rasanya tak ada berkah yang lebih besar selain hujan. Hanya pada saat hujan turun, butiran-butiran air mengisi kolam penampungan dan tangki-tangki di kediaman penduduk.
Dengan air inilah, penduduk di Asmat membasuh tubuh mereka. Menikmati kesegaran yang diberikan secara cuma-cuma dari langit.
Di tengah ”guyuran berkah” itu, rombongan Kementerian Sosial mendarat di Bandar Udara Kamur, Distrik Pantai Kasuari, Kabupaten Asmat, Papua, Kamis (24/3/2022). Mereka terbang satu jam dari Bandara Moses Kilangin, Timika, Kabupaten Mimika, Papua. Dua pesawat baling-baling yang ditumpangi rombongan lepas landas dari Moses Kilangin, pukul 06.00 WIT.
Selain Menteri Sosial Tri Rismaharini dan jajarannya, rombongan meliputi Uskup Agats (ibu kota Kabupaten Asmat) Mgr Aloysius Murwito OFM serta perwakilan Dana Kemanusiaan Kompas dan platform penggalangan donasi kitabisa.com. Ada pula pimpinan Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya.
Rawa
Tidak ada tanah keras di Asmat. Semuanya rawa. Secara periodik, air menggenangi tanah. Karena itu, rumah, gereja, masjid, kantor, rumah sakit, kios, dan bangunan lainnya didirikan di atas tiang kayu.
Tak ada pula jalan beraspal, kecuali sepenggal jalan beton dari Bandara Kamur menuju dermaga. Panjangnya mungkin tak sampai 500 meter.
Jala-jalan di Asmat—di Agats dan di kampung-kampung terpencil—terbuat dari kayu keras yang dibangun di atas tiang. Di jalan-jalan itulah, para ibu melintas sambil menggendong anak, orang-orang berlalu lalang, dan sepeda motor listrik mondar-mandir.
Di tengah guyuran hujan, kami berjalan kaki dari Bandara Kamur ke dermaga. Mensos Tri Rismaharini atau Risma dan sejumlah orang lainnya menumpang sepeda motor. Pakaian mereka basah.
Di dermaga, kami naik beberapa kapal cepat (speedboat) yang masing-masing memiliki 6-10 kursi untuk menuju Kampung Erosaman di Distrik Derkoumur. Speedboat dan perahu menjadi sarana transportasi andalan karena sungai besar berarus kencang merupakan penghubung utama.
Perjalanan menyusuri sungai berlangsung lebih dari setengah jam di tengah guyuran hujan. Kami berada di speedboat yang juga dinaiki Uskup Mgr Aloysius Murwito yang sudah 20 tahun bertugas di Asmat. Kami duduk di kursi paling depan, sedangkan Mgr Murwito menempati kursi paling belakang. Kapal cepat yang kami tumpangi tak dilengkapi atap.
Sepanjang perjalanan, perahu-perahu kayu melintas di tepi sungai. Biasanya ada 3-5 penduduk di atas perahu-perahu itu. Mereka mungkin menepi karena tahu ada kapal cepat yang hendak melintas.
Rumah-rumah kayu milik penduduk terlihat berdiri di atas tiang-tiang. Hamparan tanaman rawa mengelilingi rumah-rumah itu yang berdiri kokoh di atas air sungai berwarna kecoklatan. Gelombang air akibat empasan kapal membuat tanaman rawa bergerak berirama. Teratur.
Tak ada orang yang berbincang-bincang di atas kapal. Semua seperti berkonsentrasi penuh pada perjalanan.
Tidak seperti jalan tol penghubung bandara dengan pusat kota metropolitan, sungai di Asmat tak memiliki rambu dan penunjuk arah. Namun, sang pengemudi kapal tahu persis di mana harus belok.
Saat tiba di Kampung Erosaman, kami lantas berjalan sekitar 10 menit menyusuri jalan dari papan yang dibangun di atas tiang-tiang kayu. Rumah-rumah kayu berada di kiri dan kanan jalan. Perempuan, laki-laki, serta anak-anak berdiri di teras rumah. Mereka mengamati kami. Beberapa di antaranya bergabung dengan rombongan, berjalan bersama menuju pusat komunitas Kampung Erosaman.
Di tempat itu, Risma berbincang-bincang dengan warga. Penduduk menyuarakan kebutuhan utama mereka, antara lain perahu. Masalah guru yang enggan menetap disampaikan pula. Warga kampung ingin anak-anak mereka pintar, tetapi tak ada pengajar.
Dari Erosaman, perjalanan dilanjutkan dengan speedboat menuju Kampung Amagais, yang berada di distrik yang sama. Perjalanan sekitar 20 menit dengan hujan rintik-rintik. Di Amagais, Risma memasukkan lele di kolam, sebagai tanda dimulainya program pemberdayaan.
Kami kemudian kembali ke Bandara Kamur, terbang menuju Bandara Ewer yang lebih bagus. Dari Ewer, perjalanan dilanjutkan dengan kapal cepat menuju Agats.
Suasana di Agats lebih meriah. Ada kios mi bakso, toko penjual pakaian, ada Museum Asmat, ada kantor Keuskupan Agats. Semua bangunan terbuat dari kayu dan berdiri di atas tiang-tiang yang juga terbuat dari kayu. Seperti anggota rombongan lainnya, kami menyusuri Agats dengan sepeda motor listrik. Pengendara sepeda motor kami bernama Widodo, asal Sragen, Jawa Tengah. Kami mengobrol di atas sepeda motor sambil memegang payung yang terbuka.
Widodo datang ke Agats awal tahun 2000-an. Ia sempat menjadi pekerja konstruksi lalu beralih jualan pakaian. Kini ia menjadi tukang ojek sepeda motor listrik. Setiap delapan bulan, baterainya harus diganti. Biayanya Rp 2,4 juta.
Widodo dikaruniai dua anak, paling besar kelas 2 SMP. ”Di sini, kami minum air mineral. Mandi dengan air hujan,” ujarnya gembira.
Hujan terus mengguyur Agats, sementara Widodo tetap lincah mengemudikan sepeda motor di atas jalan kayu. Ia mengaku senang bekerja di Asmat. Bagi Widodo, Asmat merupakan berkah, seperti butiran air hujan yang menjadi berkah bagi penduduk di wilayah itu.