Wajah wilayah perbatasan Indonesia dan Timor Leste terus dibenahi. Masyarakat setempat menyimpan kesan baik bagi pejabat yang serius membantu mereka maju menuju sejahtera.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA, FRANSISKUS PATI HERIN
·5 menit baca
Elisabeth Keno (54) menggeser masker dari mulut dan hidungnga agar melempar senyum kepada Menteri Sosial Tri Rismaharini yang bersama rombongan melintas di hadapannya. Melihat Keno yang seakan ingin mengungkapkan sesuatu, Risma pun menghentikan langkah lalu menghampirinya. Di bawah terik pada Rabu (2/3/2022) siang itu, mereka berbincang.
Keno lantas menyampaikan ucapan terima kasih kepada pemerintah yang telah membangun kembali rumahnya yang rusak. Rumah Keno diterjang banjir akibat luapan Kali Noemeto yang melewati perkampungan mereka di Desa Humusu Wini, Kecamatan Insana Utara, Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur.
Awal April 2021 menjadi salah satu masa terburuk bagi masyarakat Nusa Tenggara Timur. Badai Seroja datang membawa pesan duka ke hampir seluruh NTT. Sebanyak 181 orang meninggal, 47 orang hilang, dan 250 orang luka-luka. Rumah rusak berat 17.124 unit, rusak sedang 13.652 unit, dan rusak ringan 35.733 unit. Perlahan, kehancuran daerah itu dibangun kembali.
Konstruksi rumah baru milik Keno yang dibangun sudah mencapai lebih dari 50 persen, dan ditargetkan akan selesai dalam satu bulan ke depan. Rumah terbuat dari bata tahan gempa yang dipesan khusus. Rumah berukuran 6 meter x 6 meter terdiri dari dua kamar, satu ruang tamu, dapur, dan kamar mandi. Satu rumah membutuhkan biaya sekitar Rp 100 juta.
Rumah ini jauh lebih layak ketimbang rumah Keno sebelumnya yang berdinding pelapah, beratap daun, dan berlantai tanah. Mustahil bagi mereka membangun rumah baru dengan biaya sebanyak itu.
Hampir semua mereka yang tinggal di permukiman itu adalah warga miskin. ”Kami tidak sanggup bangun rumah dengan biaya sampai Rp 100 juta,” kata Keno yang mengenakan sarung tenun ikat itu.
Saat berbincang dengan Risma, Keno tampak gugup sehingga tidak bisa berbicara dengan lancar. Risma mengira Keno tidak bisa berbahasa Indonesia dengan baik sehingga memintanya berbicara menggunakan bahasa daerah. ”Mama minta apa. Bilang saja,” ucap Risma berusaha mengajak bicara.
”Mesin jahit dan alat tenun,” jawab Keno. ”Nanti saya kasih ya mama,” sambar Risma menyanggupinya sembari meminta seorang anggota staf mencatat permintaan itu. ”Minta apa lagi, mama?” tanya Risma lagi. Keno yang tersipu malu tidak lagi berkata. Seakan rumah baru serta mesin jahit dan alat tenun sudah cukup baginya. Risma pun pamit pergi.
Wajah perbatasan
Kunjungan Risma ke desa itu merupakan yang kedua kali. Yang pertama ketika masa tanggap darurat Badai Seroja dan kali ini untuk memeriksa progres pembangunan rumah yang terdampak badai.
Menurut rencana, Risma akan datang lagi pada saat peresmian nanti. Begitu janjinya kepada masyarakat setempat yang sangat antusias menyambut kenjungannya.
Untuk mencapai desa itu, Risma dan rombongan menggunakan kendaraan darat dari Kota Kupang sejauh 243 kilometer. Medan jalanan yang berkelok serta beberapa ruas jalan yang rusak membuat waktu tempuh sekitar 5 jam, lebih lama dari perkiraan. Keluar dari Kota Kupang sekitar pukul 06.00, rombongan Risma kembali lagi ke kota itu sekitar pukul 21.30.
Selain untuk rekonstruksi pascabencana Badai Seroja, kedatangan Risma ke Humusu Wini juga ingin mengubah wajah desa itu. Humusu Wini berada di gerbang Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Wini. Pos itu untuk perbatasan Indonesia dan Timor Leste. Keberadaan pos yang berupa bangunan megah itu kontras dengan kehidupan masyarakat setempat yang sebagian besar miskin.
Untuk mengubah wabah perbatasan, Kementerian Sosial menggandeng sejumlah lembaga yayasan dan amal. Salah satunya Yayasan Dana Kemanusiaan Kompas (DKK).
Ada juga dari kitabisa.com, Telkom, Yayasan Pundi Amal Peduli Kasih, Sidomuncul, dan Surabaya Satu. Ikut dalam kunjungan itu Rusdi Amral dari Dewan Pengawas Yayasan DKK dan Anung Wendyartaka selaku Manajer Eksekutif Yayasan DKK.
Pusat belajar
Menurut Rusdi, Yayasan DKK akan ikut membangun pusat belajar siswa perbatasan. Lokasinya tepat di samping gerbang masuk PLBN Wini. Pusat belajar itu nantinya bakal dilengkapi berbagai fasilitas, seperti perpustakaan, layar monitor, internet, dan permainan anak-anak. Pembangunan itu akan tuntas dalam tahun 2022 ini.
Anung menambahkan, dalam kunjungan bersama Risma itu juga dilakukan survei rencana pembangunan tujuh hingga delapan unit rumah terdampak Badai Seroja di Desa Babau, Kabupaten Kupang. Dana yang digunakan Yayasan DKK untuk benatuan kemanusiaan itu bersumber dari sumbangan para pembaca harian Kompas.
Sementara itu, Kepala Desa Humusu Wini Fridus Bana mengatakan, total 30 rumah yang sedang dibangun. Para penerima manfaat adalah keluarga miskin yang tidak mampu memperbaiki rumah mereka. Sesuai target, pembangunan akan rampung dalam tahun ini. Di desa itu terdapat 1.119 keluarga yang terdiri atas 4.235 jiwa.
Fridus pun berharap agar pemerintah segera membangun tanggul penahan banjir di Kali Noemeto. Kali tersebut merupakan pembatas antara Indonesia dan Timor Leste.
Jika tidak dibangun tanggul atau dilakukan normalisasi kali, permukiman warga akan kembali diterjang banjir pada waktu-waktu mendatang. Rumah baru yang kini dibangun pemerintah akan rusak. ”Tinggi tanggul di bagian wilayah Indonesia kalah dengan tanggul di bagian Timor Leste,” ucapnya.
Menurut Fridus, pembangunan fisik serta pemberdayaan ekonomi merupakan bentuk nyata perhatian pemerintah bagi masyarakat di perbatasan. Selama ini, masyarakat di perbatasan yang sering disebut sebagai penghuni beranda negeri belum banyak merasakan kue pembangunan yang menetes dari Jakarta. Hampir semua, mereka masih hidup di bawah garis kemiskinan.
Humusu Wini merupakan salah satu kantong kemiskinan di NTT. Menurut data Badan Pusat Statistik, penduduk miskin di NTT pada September 2021 sebanyak 1.146.280 jiwa atau 20,44 persen dari total jumlah penduduk di daerah itu.
Garis kemiskinan di NTT sebesar Rp 437.606 per kapita per bulan. Penduduk miskin adalah mereka yang memiliki pengeluaran di bawah garis kemiskinan dimaksud.
Secara khusus, Fridus mengapresiasi langkah yang diambil Risma. Risma datang ketika tanggap darurat, kemudian datang lagi memeriksa progres pembangunan di desa itu. Tak semua pejabat konsisten melakukan hal itu. Risma juga mau mendengar, bahkan meminta masyarakat berbicara, menyampaikan kebutuhan mereka. ”Mama minta apa”. Ucapan Risma itu tertanam dalam ingatan mereka.