Kota Malang: Rekam Jejak Kerajaan, Kota Pendidikan, dan Wisata
Kota Malang menyimpan kisah tumbuhnya kerajaan-kerajaan mulai dari Kanjuruhan, Singosari, hingga Majapahit. Dalam usianya yang ke-107 tahun ini, Kota Malang telah berkembang dari hanya sebuah kewedanan menjadi kota besar yang padat dan modern. Beragam julukan juga disematkan untuk kota ini, mulai dari Kota Paris di Timur Pulau Jawa, Kota Pendidikan, Kota Wisata, hingga Kota Garnisun.
Kota Malang adalah salah satu daerah otonom di Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Terletak 90 km sebelah selatan Kota Surabaya, Kota Malang merupakan bagian dari kesatuan wilayah yang dikenal dengan Malang Raya bersama dengan Kota Batu dan Kabupaten Malang.
Kota Malang ditetapkan sebagai kota otonom berdasarkan UU 16/1950 tentang Pembentukan Daerah-daerah Kota Besar dalam Lingkungan Propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana telah diubah dengan UU 13/1954.
Hari jadi Kota Malang ditetapkan pada tanggal 1 April 1914. Pada tanggal itu, dibentuk Gemeente (Kotapraja) Malang. Meski saat itu ada banyak anggapan bahwa kenaikan status Kotapraja itu banyak dinilai masih terlalu dini. Karena saat itu, Kota Malang masih belum punya dewan kota dan Burgemester atau wali kota.
Sebelum ditetapkan menjadi kotapraja, kota terbesar kedua di Jawa Timur ini masih jadi bagian dari Kabupaten Malang bersama delapan distrik atau kewedanan lain. Di antaranya adalah Karanglo, Pakis, Gondanglegi, Penanggungan, Sengoro Antang (Ngantang), Turen dan Kewedanan Kotta (Kota Malang).
Pada era perjuangan kemerdekaan, Kota Malang juga memiliki andil cukup besar dengan mengirim banyak pejuang ke pertempuran Surabaya serta taktik bumi hangus yang dilakukan. Bahkan, di Malang juga sempat dilaksanakan kongres Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
Seiring berjalannya waktu, Kota Malang terus berkembang pesat. Dengan luas wilayah 110,06 km2, kota ini dihuni oleh 843.810 jiwa berdasarkan sensus penduduk 2020. Secara administratif, Kota Malang terdiri atas 5 Kecamatan dan 57 Kelurahan. Adapun kepala daerah saat ini dijabat oleh Wali Kota H. Sutiaji dan Wakil Wali Kota H. Sofyan Edi Jarwoko.
Kota ini terkenal dengan julukan sebagai Kota Pendidikan. Banyak perguruan tinggi dan sekolah unggulan berdiri di kota ini. Beberapa di antaranya yang terkenal adalah Universitas Brawijaya, Universitas Negeri Malang, dan Universitas Muhammadiyah Malang. Tidak mengherankan jika Malang banyak dilirik pelajar dari berbagai pulau di Indonesia.
Sejarah Malang menjadi Kota Pendidikan sebenarnya sudah digagas sejak zaman Belanda. Pemerintah Belanda mendesain Malang menjadi kota pendidikan. Pilihan itu karena iklimnya yang sejuk dan lingkungan yang bersih dan segar.
Sebutan lain kota ini adalah Kota Bunga, dikarenakan pada zaman dahulu Malang dinilai sangat indah dan cantik dengan banyak pohon-pohon dan bunga yang berkembang dan tumbuh dengan indah dan asri. Malang juga dijuluki Paris van Ost-Java, karena keindahan kotanya bagaikan Kota Paris di Timur Pulau Jawa. Selain itu, Malang juga mendapat julukan Zwitserland van Java karena keindahan kotanya yang dikelilingi pegunungan serta tata kotanya yang rapi, menyamai negara Swiss di Eropa.
Sebagai Kota Wisata, beragam destinasi wisata ada di kota ini, mulai dari wisata alam, wisata sejarah dan budaya, hingga wisata kekinian. Selain itu, Kota Malang juga dijuluki sebagai Kota Militer atau Garnisun sejak bertahun-tahun lalu. Julukan Kota militer atau Garnisun itu tetap bertahan hingga sekarang.
Dengan beragam potensi tersebut, Kota Malang mencanangkan visinya sebagai “Kota Malang Bermartabat”. Untuk mencapai visi itu, Pemerintah Kota Malang menjabarkannya dalam empat misi, yaitu pertama, meningkatkan akses dan kualitas pendidikan, kesehatan dan layanan dasar lainnya bagi semua warga. Kedua, mewujudkan kota produktif dan berdaya saing berbasis ekonomi kreatif, keberlanjutan dan keterpaduan. Ketiga, mewujudkan kota yang rukun dan toleran berazaskan keberagaman dan keberpihakan terhadap masyarakat rentan dan gender. Keempat, memastikan kepuasan masyarakat atas layanan pemerintah yang tertib hukum, profesional, dan akuntabel.
Sejarah Pembentukan
Kota Malang merupakan salah satu wilayah yang memiliki sejarah cukup panjang yang dapat dibuktikan melalui berbagai peninggalan dan petilasan sejarah di wilayahnya. Kota yang didirikan pada zaman Belanda ini telah mengalami berbagai peristiwa penting, mulai dari kejayaan kerajaan-kerajaan di Nusantara hingga pembangunan kota secara besar-besaran oleh Pemerintah Penjajahan Belanda.
Wilayah cekungan Malang telah ada sejak masa purbakala menjadi kawasan pemukiman. Banyaknya sungai yang mengalir di sekitar tempat ini membuatnya cocok sebagai kawasan pemukiman. Wilayah Dinoyo dan Tlogomas diketahui merupakan kawasan pemukiman prasejarah.
Di Dinoyo ditemukan prasasti, bangunan percandian, dan arca-arca, bekas pondasi batu bata, bekas saluran drinase, serta berbagai gerabah. Peninggalan tersebut ditemukan dari periode akhir Kerajaan Kanjuruhan yang berkuasa pada abad ke-8 dan abad ke-9. Kerajaan Kanjuruhan adalah tonggak pertumbuhan pusat pemerintahan di kawasan tersebut.
Setelah Kerajaan Kanjuruhan, masa keemasan juga dialami wilayah tersebut di masa Kerajaan Singosari. Kemudian ketika Islam menaklukkan Kerajaan Majapahit sekitar tahun 1400, Patih Majapahit melarikan diri ke daerah Malang. Ia kemudian mendirikan sebuah kerajaan Hindu yang merdeka, yang oleh putranya diperjuangkan menjadi satu kerajaan yang maju.
Pusat kerajaan yang terletak di kota Malang sampai saat ini masih terlihat sisa-sisa bangunan bentengnya yang kokoh bernama Kutobedah di Desa Kutobedah. Adalah Sultan Mataram dari Jawa Tengah yang akhirnya datang menaklukkan daerah ini pada tahun 1614 setelah mendapat perlawanan yang tangguh dari penduduk daerah ini.
Menurut sejarahnya, Kota Malang memiliki nama lengkap Malang Kucecwara yang berarti "Tuhan akan membantu kita menaklukan yang bathil (jahat)". Nama lengkap kota ini diabadikan dalam logo pemerintah Kota Malang.
Kisah sejarah penamaan Malang bermula dari tokoh raja Jawa yaitu Sultan Mataram Islam bernama Sultan Agung yang hidup pada tahun 1600-an. Sebagai sultan yang sangat hebat, Sultan Agung ingin menaklukkan seluruh pulau Jawa, dari ujung barat hingga ujung timur dalam satu kekuasaan Kesultanan Mataram.
Guna mewujudkan ambisi kekuasannya itu, Sultan Agung melakukan taktik menyerang Surabaya sebagai pusat dari Jawa Timur dengan tidak langsung. Caranya adalah 8000 pasukannya menaklukan kota-kota di sekeliling Surabaya terlebih dahulu, termasuk Malang. Pasukan Mataram disebar dalam tiga kelompok yaitu kelompok jalur Lingkar Selatan, pantura, dan jalur tengah yang dipimpin oleh Tumenggung Alap-alap.
Tumenggung Alap-alap yang memimpin jalur tengah melewati daerah Ngantang merasa kesulitan untuk menempuh jalur tersebut. Mereka harus menempuh pegunungan yang terbentang dari utara ke selatan, melewati lima gunung, yaitu Gunung Penanggungan, Gunung Arjuno, Gunung Anjasmoro, Gunung Kawi, dan Gunung Kelud. Mereka juga harus melewati dua sungai besar, yaitu Sungai Metro dan Sungai Brantas.
Ketika pasukan Tumenggung Alap-alap mulai memasuki daerah Malang, mereka dihalangi oleh ribuan pohon tumbang yang menutupi jalan masuk menuju Malang. Setelah pasukan berhasil mengatasinya, mereka dihadang oleh pasukan Malang yang dipimpin oleh Bupati Malang saat itu, bernama Ronggosukmo.
Meskipun pasukan Bupati Ronggosukmo memiliki jumlah yang lebih sedikit dari pasukan Tumenggung Alap-alap, namun Malang berhasil dipertahankan dari serangan pasukan Mataram. Karena semangat yang sangat besar dari pasukan Ronggosukmo, akhirnya pasukan Mataram berhasil ditumpas dengan mudah. Sejak saat itu, daerah Malang Kucecwara lebih dikenal dengan nama Malang (dari bahasa Jawa yang artinya "penghalang atau yang menghalang-halangi").
Seperti halnya kebanyakan kota-kota lain di Indonesia pada umumnya, Kota Malang modern tumbuh dan berkembang setelah hadirnya administrasi kolonial Hindia Belanda. Fasilitas umum direncanakan sedemikian rupa agar memenuhi kebutuhan keluarga Belanda.
Pada masa penjajahan kolonial Hindia Belanda, daerah Malang dijadikan wilayah gemeente (kota). Sebelum tahun 1964, dalam lambang kota Malang terdapat tulisan “Malang namaku, maju tujuanku” terjemahan dari “Malang Nominor, Sursum Moveor”.
Ketika kota ini merayakan hari ulang tahunnya yang ke-50 pada tanggal 1 April 1964, kalimat-kalimat tersebut berubah menjadi “Malangkuçeçwara”. Semboyan baru ini diusulkan oleh almarhum Prof. Dr. R. Ng. Poerbatjaraka, karena kata tersebut sangat erat hubungannya dengan asal usul kota Malang yang pada masa Ken Arok kira-kira tujuh abad yang lampau telah menjadi nama dari tempat di sekitar atau dekat candi yang bernama Malangkuçeçwara.
Perubahan pesat terjadi setelah tahun 1870 dengan diberlakukannya Undang-Undang Agraria dan Gula yang bertujuan menghapus sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) yang sudah berlangsung mulai tahun 1830-1870. Isi dari undang-undang tersebut pada pokoknya memberi kesempatan kepada pihak swasta (partikelir) untuk menyewa tanah (selama 75 tahun), yang digunakan untuk perkebunan.
Maka sejak saat itu berdirilah perkebunan partikelir dalam jumlah besar di Jawa, yang disusul dengan meningkatnya jumlah penduduk Eropa di Jawa. Di Jawa Timur, terutama bagian selatan, Malang merupakan kota terdekat yang dapat dicapai dari wilayah perkebunan milik swasta tersebut yang selanjutnya dilakukan
Pembangunan secara besar-besaran oleh pihak pemerintah dan swasta untuk membangun prasarana baik di dalam kota, maupun luar kota berupa jalur transportasi yang menghubungkan Malang dengan kota-kota lainnya.
Sebelum menjadi sebuah stadsgemeente atau kotapraja sendiri, Malang sebelumnya berada di bawah wilayah administrasi Keresidenan Pasuruan hingga berdiri sendiri pada 1914 tersebut. Pada tahun kelahiran kotamadya Malang sendiri yaitu pada 1914, kota ini sebenarnya dianggap lahir cukup prematur.
Belum cukupnya persiapan ini terjadi lantaran pada saat itu Kota Malang baru berkembang pesat pada akhir abad ke-19 bersamaan dengan majunya industri gula dan rokok di Kota Malang.
Setelah berkembangnya industri tersebut, Malang yang sebelumnya lebih banyak digunakan sebagai kota militer semakin banyak didatangi penduduk. Dampaknya banyak fasilitas yang terbangun sehingga pada tahun 1905 dianggap cukup mapan sebagai sebuah kota.
Pada 1914 karena pertumbuhan penduduk yang pesat serta dianggap cukup siap, Malang menjadi kotapraja sendiri. Pada saat itu, jabatan wali kota masih dirangkap oleh asisten residen FL. Broekveldt yang kemudian digantikan oleh JJ. Coert hingga terpilihnya Mr. HI. Bussemaker sebagai wali kota di tahun 1919.
Pada 8 Maret 1942, Kota Malang dan sekitarnya diduduki balatentara Jepang. Pengambilan alih pemerintah pada prinsipnya meneruskan sistem lama, hanya sebutan-sebutan dalam jabatan diganti dengan Bahasa Jepang. Selama penjajahan Jepang yang relatif pendek itu, Kotamadya Malang berhasil membuat 33 Peraturan Daerah.
Kemudian pada tanggal 21 September 1945, Komite Nasional Indonesia (KNI) Daerah dibentuk dan mengeluarkan pernyataan bahwa daerah Malang menjadi Daerah Republik Indonesia. Pada 3 Oktober 1945 dilakukan pengambilan alih senjata dan pemerintahan dari Residen (Syutyokan) ke tangan Pemerintah Darurat yang dipimpin oleh Pejabat Residen yaitu Bupati R.A.A Sam, sedangkan Wali Kotanya adalah M. Sardjono Wirjohardjono.
Pada 22 Juli 1947, Belanda berusaha untuk kembali menjajah, dan meletuslah perang (Clash I) yang menyebabkan Pemerintah Daerah dengan perangkatnya mengungsi ke luar kota, kemudian sampai dengan tahun 1950 berlangsung pemerintah federasi.
Pada 2 Maret 1950, Pemerintah Daerah Republik Indonesia yang dipimpin oleh Wali kota M. Sardjono Wirjohardjono kembali dari pengungsian dan menempati Balai Kota Malang. Sejak masa itu, Pemerintah Kotamadya Malang berlangsung kembali di naungan Pemerintah Republik Indonesia.
Geografis
Kota Malang secara geografis berada pada posisi 112.060 - 112.070 Bujur Timur, 7.060 - 8.020 Lintang Selatan. Posisi Kota Malang berada di tengah-tengah wilayah Kabupaten Malang, karena batas wilayah utara, timur, selatan dan barat merupakan wilayah Kabupaten Malang.
Luas wilayah Kota Malang sebesar 110,06 km2 yang terbagi dalam lima kecamatan yaitu Kecamatan Kedungkandang, Kecamatan Sukun, Kecamatan Klojen, Kecamatan Blimbing, dan Kecamatan Lowokwaru. Kecamatan terluas berada di Kecamatan Kedungkandang (39,89 km2) sedangkan kecamatan terkecil berada di Kecamatan Klojen (8,83 km2 ).
Kota Malang berada pada ketinggian 445-526 meter di atas permukaan laut. Pengamatan unsur iklim di Kota Malang dicatat di Stasiun Ciliwung, Stasiun Kedungkandang dan Stasiun Sukun. Jumlah Curah Hujan di stasiun klimatologi Sukun yang terjadi selama tahun 2019 sebesar 1.630 mm. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan April mencapai 523 mm, demikian juga pada bulan Maret curah hujan juga relatif tinggi mencapai 375 mm.
Kota Malang dialiri 20 sungai, di antaranya Sungai Brantas, Sungai Kasin, Sungai Mewek, Sungai Mewek-Kalisari-Bango, Sungai Amprong, Sungai Metro, Sungai Lahor, dan Sungai Kasin.
Pemerintahan
Malang ditetapkan sebagai kotapraja pada 1 April 1914 berdasarkan keputusan Instellings-Ordonnantie pada 1914 Staatsblad Nomor 297. Namun, baru lima tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1919, Malang memiliki seorang wali kota untuk pertama kalinya.
Usai ditetapkan sebagai kotapraja oleh pemerintah pusat Kolonial Belanda, Malang masih dipimpin oleh seorang Asisten Keresidenan bernama F.L. Broekveldt selama kurun waktu 1914-1918. Dalam masa pemerintahan F.L. Broekveldt ini, mulai dibangun kawasan untuk orang Eropa di daerah yang kini Jalan Arjuno dan Jalan Ijen.
Pada 1917 di masa kepemimpinan Broekveldt, perusahaan air ledeng dan pasar yang merupakan “warisan” di kala Malang masih menjadi bagian dari Keresidenan Pasuruan, terus berkembang. Di akhir masa kepemimpinan Broekveldt, tepatnya pada akhir tahun 1918, Land Bank (bank tanah) didirikan.
Setelah masa kepemimpinannya habis, Malang kembali dipimpin oleh seorang Asisten Keresidenan bernama J.J. Coert. Dia hanya menjabat selama satu tahun antara tahun 1918-1919.
Baru pada tahun 1919, Kota Malang resmi memiliki seorang wali kota. H.I. Bussemaker, seorang Belanda menjadi Wali Kota Malang yang pertama. Kepemimpinan Bussemaker cukup bagus, sehingga dia dipercaya menjabat selama dua periode, yakni 1919-1924 dan 1924-1929.
Pada 1921, dibentuklah Perusahaan Jagal. Di awal periode kedua kepemimpinan Wali Kota Bussemaker, tepatnya pada 1925 Kampung Temenggungan diakusisi ke dalam wilayah kota, lalu pada tahun 1927 giliran Desa Klodjen dan Jodipan. Pada tahun 1928, Kidoelpasar, Kottalama (Kotalama), Sukorejo pun masuk ke wilayah kota. Kemudian pada tahun 1929, giliran Kuaman dan Oro-oro dowo.
Salah satu kemajuan Kota Malang di masa kepemimpinan Bussemaker yaitu proyek pembangunan sarana olahraga lapangan sepakbola yang kini dikenal sebagai Stadion Gajayana Malang, pada tahun 1926. Di tahun yang sama, didirikan pula Balaikota Malang di dekat lapangan yang disebut JP Coen (Alun-alun Bundar) pada 1926.
Lalu pada 1928, Kota Malang memiliki perusahaan yang khusus bergerak di bidang pergudangan. Di tahun yang sama, kolam renang untuk orang Eropa dibangun di Jalan Semeru dan Kawi. Usai merampungkan masa jabatannya sebagai Wali Kota Malang, Bussemaker kemudian diangkat menjadi Wali Kota Surabaya di tahun berikutnya.
Menggantikan Bussemaker, E.A. Voorneman diangkat menjadi Wali Kota Malang pertama yang menempati balaikota ketika pembangunannya rampung di tahun 1929. Voorneman memerintah Kota Malang selama kurun waktu 1929-1933. Setelahnya, pucuk pimpinan Pemerintah Kota Malang dipegang oleh P.K.W. Lakeman (1933-1936) dan J.H. Boerstra (1936-1942).
Sementara di masa pendudukan penjajah Jepang, ada dua orang wali kota yang memimpin Kota Malang dengan status caretaker. Mereka adalah Raden Adipati Ario Sam (1942-1942) dan Mr. Soewarso Tirtowidjojo (1942-1945).
M. Sardjono Wiryohardjono menjadi Wali Kota Malang pertama di zaman kemerdekaan Indonesia. Dia memimpin selama kurun waktu 1945-1958. Di saat bersamaan, ditunjuk pula Wali Kota Federal yang dijabat Amidarmo pada kurun 1947-1948 dan R. Soehari Hadinoto periode 1948-1950.
Pada kurun waktu 1958-1966, Wali Kota Koesno Soeroatmodjo memimpin Malang. Dilanjutkan oleh Kol. M. Ng Soedarto yang menjadi Wali Kota Malang pada tahun 1966-1968, Kol. R. Indra Soedarmadji (1968-1973), Brigjen TNI-AD Soegiyono (1973-1983), Soeprapto (1983-1983), Tom Uripan (1983-1988), M Soesamto (1988-1998), Kol. H. Suyitno (1998-2003).
Peni Suparto menjadi Wali Kota Malang selama dua periode. Karir pria yang akrab disapa Inep itu dimulai pada kurun waktu 2003-2008, dilanjutkan pada 2008-2013 bersama wakilnya Bambang Priyo Utomo. Kota Malang kemudian dipimpin oleh H. Muhammad Anton bersama wakilnya, Sutiaji. Masa bakti keduanya dimulai pada tahun 2013-2018. Kemudian Kota Malang dipimpin oleh H. Sutiaji bersama wakilnya H. Sofyan Edi Jarwoko (2018-2023).
Untuk mendukung jalannya roda pemerintahan, Pemerintah Kota Malang didukung oleh sebanyak 6.973 Pegawai Negeri Sipil (PNS). Menurut jenjang pendidikan, sebanyak 58,63 persen diantaranya berpendidikan Sarjana (S1/S2/S3). Sedangkan PNS yang pendidikan terakhirnya SD masih sebanyak 4,57 persen.
Politik
Peta politik Kota Malang selama tiga kali pemilihan legislatif berlangsung dinamis. Pada Pemilihan Legislatif (Pileg) 2009, Partai Demokrat berhasil meraih kursi terbanyak di DPRD Kota Malang. Partai berlambang mercy tersebut berhasil meraih 12 kursi. Disusul PDI-P memperoleh sembilan kursi. Partai Golkar , PKB, dan PKS masing memperoleh lima kursi serta PAN memperoleh empat kursi. Sedangkan empat kursi lain partai lainnya yang tergabung dalam Gerakan Nurani Damai (GND).
Kemudian di Pileg 2014, penguasaan kursi di DPRD Kota Malang bergeser ke PDI Perjuangan. Partai berlambang banteng moncong putih ini mendominasi dengan 11 kursi. Di posisi kedua, PKB meraih enam kursi, Partai Golkar dan Demokrat sama-sama mendapatkan lima kursi, PAN dan Gerindra masing-masing memperoleh empat kursi. Tiga partai mendapatkan tiga kursi, masing-masing PPP, Hanura, dan PKS. Sedangkan Nasdem mendapatkan satu kursi. Dua partai tidak mendapatkan kursi, yakni PKPI dan PBB.
Lima tahun kemudian, di Pileg 2019, PDI Perjuangan masih berjaya dengan mendominasi perolehan kursi di DPRD Kota Malang. PDI-P berhasil mendapatkan 12 kursi. Disusul PKB mendapatkan tujuh kursi dan PKS mendapatkan enam kursi. Partai Golkar dan Gerindra masing-masing mendapatkan lima kursi, Demokrat dan PAN mendapatkan tiga kursi, Nasdem dua kursi serta PPP dan PSI masing-masing mendapatkan satu kursi.
Kependudukan
BPS Kota Malang mencatat penduduk Kota Malang pada tahun 2020 sebanyak 843.810 jiwa. Dalam kurun waktu 10 tahun sejak tahun 2010, jumlah penduduk Kota Malang bertambah sebanyak 23.567 jiwa.
Dengan luas sebesar 110,06 kilometer persegi, kepadatan Kota Malang sebanyak 7.636 jiwa per kilometer persegi. Angka ini meningkat dari hasil Sensus Penduduk 2010 yang mencatat kepadatan penduduk Kota Malang sebanyak 7.453 jiwa per kilometer.
Sebaran penduduk Kota Malang terbanyak berada di Kecamatan Kedungkandang yang mencapai 25 persen dari total penduduk sedangkan terendah ada di Kecamatan Klojen dengan sebaran hanya 11 persen.
Masyarakat Malang terkenal religius, dinamis, suka bekerja keras, lugas, dan bangga dengan identitasnya sebagai Arek Malang (AREMA). Sebagian besar penduduk Kota Malang berasal dari suku Jawa. Namun, suku Jawa di Malang dibanding dengan masyarakat Jawa pada umumnya memiliki temperamen yang sedikit lebih keras dan egaliter. Salah satu penyebabnya adalah jauhnya Surabaya dari “keraton” yang dipandang sebagai pusat budaya Jawa.
Selain suku Jawa, terdapat pula suku lainnya seperti Madura, Arab, Tionghoa, dan lain-lain. Sebagai Kota Pendidikan, Malang juga menjadi tempat tinggal mahasiswa dari berbagai daerah dari seluruh Indonesia. Bahkan di antara mereka juga membentuk wadah komunitas tersendiri.
Bahasa Jawa dialek Jawa Timuran dan bahasa Madura adalah bahasa sehari-hari yang digunakan masyarakat Malang. Gaya bahasa di Malang terkenal kaku sebagaimana bahasa Jawa kasar umumnya. Hal itu menunjukkan sikap masyarakatnya yang tegas, lugas, dan tidak mengenal basa-basi.
Di kalangan generasi muda berlaku pula dialek khas Malang yang disebut ‘boso walikan’ yaitu cara pengucapan kata secara terbalik. Contohnya seperti Malang menjadi Ngalam.
Kesejahteraan
Pembangunan manusia yang diukur dengan indeks pembangunan manusia (IPM) di Kota Malang terus meningkat dalam satu dekade terakhir. IPM Kota Malang pada tahun 2020 tercatat 81,45. Pencapaian IPM ini masuk kategori tinggi. Dibandingkan kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur, capaian IPM Kota Malang tertinggi kedua setelah Kota Madiun yang sebesar 80,91.
Dari tiga komponen yang dihitung, komponen umur harapan hidup saat lahir (UHH) tercatat 73,27 tahun pada 2020. Untuk harapan lama sekolah (HLS) tercatat selama 15,51 tahun dan angka rata-rata lama sekolah (RLS) tercatat selama 10,18 tahun. Sedangkan, untuk komponen pengeluaran per kapita sebesar Rp 16,6 juta.
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) penduduk usia kerja di Kota Malang pada Agustus 2020 tercatat sebesar 9,6 persen atau sebanyak 45.242 orang. TPT tersebut naik jika dibandingkan tahun sebelumnya (2019) sebesar 6,04 persen.
Peningkatan TPT ini tak terlepas dari merebaknya pandemi Covid-19 di Tanah Air. Pandemi memukul sektor industri. Ada 141.122 orang usia kerja di Kota Malang turut terdampak. Rinciannya, 18.528 orang jadi pengangguran, 9.342 orang tak bekerja, 2.450 orang tak masuk angkatan kerja, serta 110.802 orang kena pengurangan jam kerja.
Kenaikan TPT itu berimbas pula pada meningkatnya angka kemiskinan di Kota Malang. Menurut data BPS Kota Malang, angka kemiskinan di Kota Malang tahun 2020 tercatat sebesar 4,44 persen dari total jumlah penduduk atau 38,77 ribu warga Kota Malang masuk dalam kategori miskin. Angka tersebut meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Pada 2019, terdapat 35,39 ribu penduduk miskin atau setara 4,07 persen dari total jumlah penduduk Kota Malang.
Berdasarkan data BPS, mayoritas penduduk miskin didominasi oleh lulusan SD dan SMP, yakni sebanyak 44,69 persen. Kemudian sebanyak 37,89 persen penduduk miskin merupakan lulusan SMA sedangkan sisanya sebesar 17,41 persen merupakan penduduk yang tidak lulus SD.
Berdasarkan status pekerjaannya, dari 38,77 ribu warga miskin, 34,26 persen di antaranya bekerja pada sektor informal. Lalu 17,43 persen pada sektor formal dan 48,31 persen tidak bekerja.
Ekonomi
Produk domestik regional bruto (PDRB) Kota Malang pada 2020 mencapai Rp 72,77 triliun. Kontribusi sektor perdagangan besar dan eceran menjadi yang tertinggi terhadap PDRB Malang. Dalam lima tahun terakhir, lebih dari 25 persen PDRB disumbang oleh sektor ini. Tahun 2020, kontribusi sektor ini tercatat sebsar 28,09 persen dari total PDRB.
Selain perdagangan, sektor lainnya yang berkontribusi dominan ialah industri pengolahan (26,5 persen), konstruksi (12,9 persen), dan jasa pendidikan (8, 53 persen).
Di sektor industri pengolahan, Kota Malang memiliki jenis industri besar/sedang sejumlah 2.611 perusahaan pada tahun 2018. Dari jumlah tersebut, terbanyak bergerak di industri makanan/minuman dan tembakau, yakni 1.758 perusahaan. Disusul perusahaan yang bergerak di industri mesin/alat angkutan/sparepart sebanyak 211 perusahaan. Sedangkan sisanya bergerak di industri lainnya
Berdasarkan jumlahnya, Kecamatan Blimbing tercatat yang padat industri, yaitu sebesar 39,99 persen dari seluruh perusahaan yang ada di Kota Malang. Berikutnya adalah kecamatan Klojen sebesar 16,44 persen diikuti kecamatan Kedungkandang 15,50 persen, Kecamatan Lowokwaru dan Kecamatan Sukun yaitu masing-masing sebesar 14,04 persen dan Kecamatan Sukun sebesar 14,00.
Adapun untuk industri mikro dan kecil (IMK), menurut hasil Survei IMK Tahunan 2019, jumlah usaha/perusahaan IMK di Kota Malang yang berproduksi secara komersil tercatat sebanyak 13.111usaha/perusahaan.
Dari sisi laju pertumbuhan ekonomi, pada 2020 pertumbuhan ekonomi Kota Malang terkontraksi sebesar minus 2,26 persen akibat pandemi Covid-19. Adapun laju pertumbuhan di Kota Malang dalam periode 2011-2019 berada di kisaran 5,61 persen sampai 6,26 persen.
Pendapatan Kota Malang pada tahun 2019 tercatat sebesar Rp 2,04 triliun. Dana perimbangan masih memberikan kontribusi terbesar bagi Kota Malang senilai Rp 1,20 triliun atau 58 persen dari total pendapatan. Sedangkan pendapatan asli daerah (PAD) tercatat sebesar Rp 675,93 miliar dan lain-lain pendapatan sebesar Rp 368,59 miliar.
Di sektor pariwisata, Kota Malang termasuk salah satu daerah yang memiliki beragam destinasi wisata di Jawa Timur. Berbagai pilihan tempat wisata, dan perbelanjaan baik yang bersifat tradisional maupun modern juga tersebar di berbagai penjuru kota.
Pemandangan alam yang elok serta hawa yang sejuk, teduh, dan asri dengan bangunan kuno peninggalan Belanda menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan. Terlebih struktur Kota Malang yang dikelilingi oleh enam gunung besar dan beberapa diantaranya adalah Seven Summit of Java, membuat udara di kota tersebut sejuk. Mulai dari Gunung Semeru, Arjuna, Welirang, Bromo, Kawi dan Buthak melingkari Kota Malang hingga seperti danau yang kering.
Kota Malang tak hanya indah dengan wisata alamnya, tetapi juga wisata sejarahnya. Dengan julukan Kota Pendidikan, Malang memiliki banyak tempat sejarah yang menarik untuk dipelajari. Salah satunya Museum Brawijaya yang merupakan tempat penyimpanan peninggalan masa lampau.
Wisata modern buatan manusia pun melengkapi suasana kota Malang. Puluhan taman yang tersebar di area kota Malang dengan jalanan yang rimbun akan pepohonan besar membuat suasana kota semakin sejuk.
Wisata unggulan lainnya adalah Kampung Tematik seperti Kampung Warna-Warni Jodipan, Kampung 3D Kesatrian, dan Kampung Budaya Polowijen.
Kota Malang juga terkenal dengan aneka ragam kuliner. Banyak warung yang menyajikan berbagai masakan khas seperti soto, sate, rawon, rujak, dan bakso.
Sebagai penunjang kegiatan pariwisata, di Kota Malang terdapat 29 hotel bintang, 44 hotel non bintang, 10 guest house dan 17 wisma pariwisata. Sementara itu, jumlah rumah makan dan restoran di Kota Malang di tahun 2019 sebanyak 1.444. Dari jumlah tersebut, terbanyak ada di Kecamatan Klojen yaitu sebanyak 686 rumah makan/restoran.
Adapun jumlah kunjungan wisatawan mancanegara di Kota Malang selama tahun 2019 sebanyak 16.286 orang dan wisatawan domestik sebanyak 5,17 juta orang. (LITBANG KOMPAS)