Provinsi Sulawesi Barat: Wilayah Mandar Yang Kaya Potensi di Sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan
Provinsi Sulawesi Barat merupakan provinsi hasil pemekaran dari Sulawesi Selatan. Sulawesi Barat yang berdiri menjadi provinsi yang ke-33 di Indonesia ini memiliki potensi sumber daya alam yang besar terutama di sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan. Wilayah yang sebagian besar dihuni Suku Mandar ini juga strategis karena merupakan pintu gerbang segitiga yang menghubungkan Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Kalimantan Timur.
Sulawesi Barat atau disingkat Sulbar adalah sebuah provinsi di Indonesia yang terletak di bagian barat Sulawesi. Provinsi dengan luas wilayah 16.787,18 kilometer persegi ini merupakan provinsi hasil pemekaran dari Provinsi Sulawesi Selatan.
Kendati pembentukan Provinsi Sulawesi Barat telah diperjuangkan sejak tahun 1960, namun provinsi ini baru resmi berdiri pada tanggal 5 Oktober 2004 dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2004. Ibu kota provinsi ini berkedudukan di Mamuju.
Sejarah terbentuknya provinsi ke-33 di Indonesia ini bertolak dari semangat "Allamungan Batu" di Luyo yang mengikat Mandar dalam perserikatan Pitu Babana Binanga (tujuh kerajaan di pesisir pantai) dan Pitu Ulunna Salu (tujuh kerajaan di hulu sungai) dalam sebuah muktamar yang melahirkan Sipamandar (saling memperkuat). Dengan semangat Sipamandar dan perjuangan yang panjang dari seluruh unsur masyarakat Mandar serta dukungan pemerintah, akhirnya secara resmi Sulawesi Barat bisa berdiri sendiri sebagai provinsi.
"Allamungan Batu" adalah situs sejarah bentuk perjanjian yang menjadi simbol penyatuan tujuh kerajaan di pesisir dan tujuh kerajaan di pedalaman dalam sebuah konferensi Mandar di sekitar abad ke-18 yang diprakarsai oleh Tomepayung saat memerintah Kerajaan Balanipa.
Batu penanda konfederasi tersebut berupa batu sungai yang berukuran tinggi 31 cm, lebar 24 cm, dan tebal 13 cm. Situs ini disakralkan oleh masyarakat Mandar sehingga sering dikunjungi oleh orang-orang lokal dan dari berbagai daerah lainnya.
Populasi penduduk di Sulbar menurut Sensus Penduduk tahun 2020 sebanyak 1,41 juta jiwa. Secara administratif, provinsi ini terdiri atas enam kabupaten berdasarkan Permendagri 39/2015 dengan 69 kecamatan, dan 650 desa/kelurahan. Sejak 2017, provinsi ini dipimpin oleh Gubernur Andi Ali Baal Masdar dan Wakil Gubernur Enny Angreani Anwar.
Sejarah Pembentukan
Sulawesi Barat memiliki jejak arkeologis yang tersebar di wilayah Kecamatan Kalumpang. Daerah yang mencakup komunitas adat Tana Lotong itu menyimpan sejuta kisah asal muasal peradaban manusia di Sulawesi. Bangsa Austronesia, bangsa penutur yang berasal dari Asia daratan diyakini kali pertama menginjakkan kaki di wilayah ini.
Keberadaan bangsa yang menurunkan populasi di sepanjang Pasifik sampai Madagaskar, serta Selandia Baru sampai Hawai itu terlacak melalui penemuan sejumlah situs di wilayah tersebut. Situs ini diyakini berusia sekitar 3.600 tahun sebelum masehi. Terbilang tua, lantaran mendekati catatan waktu penutur Austronesia kuno menyebar di nusantara sekitar 4.000 SM.
Temuan arkeologi yang termasyur di wilayah itu adalah situs Minanga Sipakko dan Kamassi. Penemuan yang kelak dikenal sebagai situs Kalumpang itu merupakan wilayah pegunungan yang menyimpan alat-alat prasejarah seperti gerabah, tembikar, mata panah, dan kapak batu.
Situs ini kali pertama diperkenalkan oleh van Stein Callenfels, peneliti Belanda yang menggali di wilayah tersebut pada tahun 1933. Ia melakukan penelitian setelah tiga tahun sebelumnya penilik sekolah Majene Amiruddin Maulana menemukan sebuah patung Budha berjubah perunggu di Sikendeng, tepi Sungai Karama.
Merunut sejarahnya, wilayah Sulawesi Barat dahulu terdiri atas 14 kerajaan yang dibuktikan dengan adanya artefak dalam maupun artefak luar di bekas afdeling Mandar. Ke-14 kerajaan itu terdiri dari Balanipa, Banggae, Pamboang, Sendana, Tappalang, Mamuju, Binuang, Rante Bulahan, Aralie, Mambi, Tabulahan, Matangnga, Bambang, dan Tabang.
Pada sekitar abad ke-18, ke-14 kerajaan itu melaksanakan pertemuan resmi antara semua kerajaan yang ada di Pitu Ulunna Salu dan Pitu Babana Binanga di daerah Kabupaten Polewali Mandar, tepatnya di Desa Luyo, Kecamatan Luyo.
Pertemuan itu merupakan pertemuan terakhir antar kerajaan-kerajaan di Mandar sampai masuknya Belanda (1904) ke tanah Mandar. Tujuan utamanya untuk mempertegas kembali hasil kesepakatan yang diambil sebelumnya antara Pitu Ulunna Salu dan Pitu Babana Binanga.
Dalam pertemuan itu, muncul kesepakatan untuk mempertegas konsekuensi persatuan Pitu Ulunna Salu dan Pitu Babana Binanga dalam satu kesatuan budaya dan suku dengan sebutan Mandar (Passemandarang).
Perjanjian Tammajara adalah perjanjian yang mendasari terbentuknya persekutuan kerajaan Pitu Babana Binanga (tujuh kerajaan di pesisir pantai) yang terdiri atas Kerajaan Balanipa, Sendana, Pambauang, Banggae, Tappalang, Mamuju, dan Binuang.
Demikian pula di daerah pedalaman atau pegunungan, terbentuk sejumlah kerajaan yaitu Rantebulahan, Tabulahan, Aralle, Mambi, Matanga, Tabang, dan Bambang. Ketujuh kerajaan itu kemudian membentuk pula persekutuan yang dikenal dengan Pitu Ulunna Salu (tujuh kerajaan di hulu sungai).
Selain persekutuan antara Pitu Babana Binanga dan Pitu Ulunna Salu, masih terdapat kerajaan-kerajaan lain, di antaranya Kerajaan Passokorang yang terdapat di lembah aliran Sungai Maloso, Mapilli. Namun karena Raja Passokorangini zalim dan tidak satupun kerajaan yang dapat menandinginya, maka ia berbuat semaunya.
Ketika Todilaling menjadi Maradia Balanipa, kerajaan ini kemudian berkembang menjadi besar dan dapat menandingi Kerajaan Passokorang. Pada masa pemerintahan Maradia Balanipa ke-2 Tomepayung, Kerajaan Passokorang berhasil ditaklukkan.
Agama Islam di Mandar pertama kali masuk saat pemerintahan Daetta Tommuane Maradia keempat Balanipa yang dibawa oleh Abdurahim Kamaluddin. Namun tahun yang menyatakan kapan masuknya Islam di Mandar belum pasti dan hanya diperkirakan antara 1610-1620, karena masa pemerintahan Maradia Daetta Tommuane berlangsung tahun 1615. Pada masa Daetta Tommuane, agama Islam diterima sebagai agama kerajaan.
Pemerintah kolonial Belanda menguasai Kerajaan Balanipa pada tahun 1906 seperti disebut dalam buku "Sejarah dan Budaya Sulawesi Barat" karya Edward L Polinggomang. Sejak saat itu pula, Balanipa merupakan bagian dari administrasi pemerintahan afdeling Mandar.
Pemerintah Hindia Belanda kemudian membagi wilayah Sulawesi bagian barat menjadi empat onder afdeling (wilayah administratif), yaitu Majene, Mamuju, Polewali, dan Mamasa.
Onder Afdeling Majene, Mamuju, dan Polewali yang terletak di sepanjang garis pantai barat pulau Sulawesi merupakan wilayah gabungan tujuh kerajaan dan kesatuan hukum adat yang disebut Pitu Babana Binanga.
Ketujuh wilayah kerajaan itu meliputi Balanipa di onder afdeling Polewali (dipimpin oleh Ambo Caca Daeng Magasing); Binuang di onder afdeling Polewali; Sendana di onder afdeling Majene; Banggae/Majene di onder afdeling Majene; Pamboang di onder afdeling Majene; Mamuju di onder afdeling Mamuju, dan Tappalang di onder afdeling Mamuju.
Sementara itu, onder afdeling Mamasa pada zaman kolonial adalah bagian dari Kerajaan Mambi, salah satu dari tujuh kerajaan yang tergabung dalam persekutuan Pitu Ulunna Salu.
Setelah Hindia Belanda kalah dalam perang Pasifik, Jepang mulai menginjakkan kakinya di wilayah Mandar pada akhir bulan Februari 1942. Awalnya, kedatangan tentara Jepang itu mendapat sambutan dari beberapa tokoh dan rakyat karena dianggap sebagai pembebas yang bagi rakyat Mandar yang terbelenggu selama penjajahan Belanda.
Namun, ternyata sikap baik Jepang tersebut hanya propaganda untuk mendapatkan dukungan rakyat. Setelah mendapat simpati dari masyarakat Mandar, Jepang lantas bertindak semena-mena dan memaksa masyarakat untuk menjadi Romusha. Tindakan ini mengakibatkan terjadinya penderitaan di kalangan penduduk dan memudarkan rasa simpati dan hormat terhadap pemerintah militer Jepang.
Selama penjajahan Jepang, tercatat satu bentrokan fisik yang pernah terjadi dengan Jepang di Mandar, yakni perlawanan rakyat Allu, Balanipa. Peristiwa ini terjadi sekitar Maret 1942 karena penolakan membayar pajak.
Ketika petugas pajak datang ke desa itu, Hammad Saleh memerintahkan penduduk mengosongkan desa dan mengungsi ke hutan. Ketika mengetahui rumah-rumah kosong, petugas pajak mengobrak abrik rumah penduduk dan kemudian berusaha menyerang Hammad Saleh dan pengikutnya yang bersembunyi di hutan.
Ketika Jepang kalah dari pasukan Sekutu dan Indonesia menyatakan kemerdekaannya, keempat onder afdeling, yaitu Majene, Mamuju, Polewali, dan Mamasa, diintegrasikan ke dalam Provinsi Sulawesi (mencakup Sulawesi dan pulau-pulau di sekitarnya). Keputusan ini berdasarkan hasil sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) kedua di Jakarta, pada tanggal 19 Agustus 1945.
Usul pembentukan Sulawesi Barat mulai digodok pada tahun 1960 oleh beberapa tokoh lokal. Mereka antara lain Andi Depu Maraddia Balanipa (pejuang wanita dan bangsawan Balanipa), Abdul Rahman Tamma, Kapten Amir, Abdul Malik Pattana, Baharuddin Lopa, dan Abdul Rauf.
Ide membentuk Provinsi Mandar (sebutan mereka untuk wilayah Sulbar) tercetus saat mereka berembuk di kediaman Andi Depu di Makassar. Mereka kemudian mendeklarasikan usulan tersebut pada tahun 1961. Hal ini berangkat dari fakta bahwa letaknya yang jauh dari Makassar sehingga sering "diabaikan". Belum lagi menilik kenyataan bahwa letaknya terisolir sebab terkepung pegunungan.
Selama pemerintah Orde Lama, pembentukan Provinsi Mandar belum dikabulkan. Presiden Soekarno ketika itu justru menandatangani Peraturan Presiden (PP) No. 5 tahun 1960 yang membagi Provinsi Sulawesi menjadi dua provinsi baru, yakni Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara.
Pada tahun 1964, terbit Undang-Undang Nomor 13 tahun 1964, namun tidak ada nama Provinsi Mandar. Nama-nama provinsi baru dalam naskah UU tersebut meliputi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Utara.
Ketika berganti ke pemerintah Orde Baru pada tahun 1967, para tokoh terus mengusahakan terbentuknya Provinsi Mandar. Namun sepanjang 32 tahun berkuasa, pemerintahan Soeharto hanya membentuk dua provinsi baru, yaitu Bengkulu (1968) dan Timor Timur (1976) yang kemudian memisahkan diri menjadi negara Timor Leste pada 2002.
Titik terang pembentukan Provinsi Sulawesi Barat mulai terpancar ketika memasuki masa Reformasi. Pada tahun 2001, Gubernur Sulawsi Selatan H Zainal Basri Palaguna mengeluarkan surat No. 125/500/Otoda tanggal 5 Februari 2001, yang isinya menyatakan persetujuan pembentukan provinsi baru hasil pemekaran Sulsel.
Sementara itu, anggota DPR asal Sulbar terus bergerilya. Mereka mendorong Provinsi Sulbar segera terbentuk. Pada akhir tahun 2001, mereka berinisiatif membentuk Rancangan Undang-Undang (RUU) Sulbar. Panitia Khusus Sulbar dibentuk pada Januari 2003.
Setelah melalui sejumlah rapat pembahasan oleh panitia khusus DPR-RI, pada tanggal 5 Oktober 2004, diputuskan bahwa lima kabupaten di Tanah Mandar saat itu (Mamuju Utara, Mamuju, Majene, Polewali Mandar, dan Mamasa) menjadi provinsi baru bernama Sulawesi Barat.
Keputusan tersebut kemudian dituangkan dalam UU 26/2004 tentang Pembentukan Daerah Sulawesi Barat yang ditandatangani oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Selanjutnya, pada 16 Oktober 2004, Oentarto Sindung Mawardi (Dirjen Otda Kemendagri) dilantik oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Hari Sabarno menjadi Pejabat Gubernur Sulawesi Barat.
Geografis
Provinsi Sulawesi Barat terletak di antara 118°43’15”- 119°54’03” Bujur Timur dan 0°12’-03°38’ Lintang Selatan. Provinsi ini berbatasan dengan Selat Makassar di sebelah barat, berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Tengah di sebelah utara, bersebelahan dengan Provinsi Sulawesi Selatan di sebelah timur, dan berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Selatan di sebelah selatan.
Wilayah Sulbar memiliki luas 16.787,18 kilometer persegi dan terdiri dari 69 pulau. Adapun wilayah laut seluas 7.668,84 kilometer persegi dan garis pantai barat memanjang dari utara ke selatan sepanjang 639,07 kilometer.
Secara topografis, Sulawesi Barat terdiri atas laut dalam, dataran rendah, dataran tinggi, dan pegunungan dengan tingkat kesuburan yang tinggi. Satuan pegunungan menempati wilayah paling luas, yaitu sekitar 70 persen dari luas wilayah dan umumnya menempati bagian tengah ke timur dengan bentuk memanjang utara-selatan.
Provinsi ini memiliki 193 gunung yang tersebar di beberapa kabupaten. Gunung tertinggi adalah Gunung Gandang Dewata dengan ketinggian mencapai sekitar 3.074 meter di atas permukaan laut yang menjulang tegak di Kabupaten Mamasa.
Sulbar mempunyai delapan aliran sungai utama, dengan lima aliran terbesarnya berada di Kabupaten Polewali Mandar. Terdapat dua sungai terpanjang di daerah ini, yaitu Sungai Saddang yang melewati Kabupaten Tator, Enrekang, Pinrang, dan Polewali Mandar serta Sungai Karama di Kabupaten Mamuju. Panjang kedua sungai itu masing-masing 150 kilometer.
Wilayah Sulbar termasuk wilayah rawan bencana alam. Terakhir, pada 14 dan 15 Januari 2021, gempa melanda wilayah Mamuju dan Majene. Sebelumnya, 54 tahun lalu, yaitu tahun 1967, Sulawesi Barat pertama kali diguncang gempa dan tsunami.
Pemerintahan
Ketika Sulawesi Barat memisahkan diri lewat otonomi daerah, Oentarto Sindung Mawardi ditunjuk menjadi Pejabat Gubernur Sulawesi Barat. Sebelumnya, Oentarto menjabat sebagai Dirjen Otda Kemendagri. Oentarto dilantik oleh Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno dan ditugaskan menjadi Pejabat Gubernur Sulawesi Barat sejak 16 Oktober 2004 hingga 21 Oktober 2005.
Setelah setahun menjabat, Oentarto kemudian digantikan oleh Syamsul M Rivali sebagai Penjabat Gubernur hingga 14 Desember 2006. Syamsul dilantik oleh Mendagri Muhammad Ma’ruf.
Selanjutnya, Gubernur Sulbar dijabat oleh Anwar Adnan Saleh yang memenangkan Pilkada Gubernur Sulbar 2006. Berpasangan dengan Muhammad Amri Sanusi sebagai wakil gubernur, Anwar Adnan Saleh memenangi Pilkada Sulbar dengan meraih 220.076 suara atau 45,6 persen suara dari suara sah.
Meski prosesi pengangkatannya menuai kontroversi sebagai buntut dari dugaan berbagai kecurangan yang terkait dalam pemilihan umum, keduanya akhirnya dilantik oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Muhammad Ma’ruf pada tanggal 14 Desember 2006 di Kompleks Rumat Adat Mandar Mamuju.
Anwar Adnan Saleh kembali menjabat Gubernur Sulbar pada periode kedua (2011-2016), berpasangan dengan Aladin S Mengga. Pada Pilkada Sulbar yang digelar 10 Oktober 2011 itu, pasangan Anwar Adnan-Aladin S Mengga meraih suara 296.633 suara atau 48,9 persen dari suara sah.
Setelah Anwar Adnan selesai menjabat Gubernur Sulbar, Ismail Zainuddin memimpin Sulbar selaku Pelaksana Tugas Harian dari tanggal 14 Desember 2016 hingga 30 Desember 2016 dan dilanjutkan oleh Carlo Brix Tewu sebagai Penjabat Gubernur dari 30 Desember 2016 hingga 12 Mei 2017.
Kepemimpinan Sulbar kemudian diteruskan oleh Gubernur Ali Baal Masdar yang memenangkan Pilkada Sulbar 2017. Berpasangan dengan Enny Angreani sebagai Wakil Gubernur, Andi Ali Baal Masdar meraih suara terbanyak, yakni 244.802 suara atau 38,76 persen dari suara sah. Gubernur Andi Ali Baal Masdar akan menjabat Gubernur Sulbar periode 2017-2022.
Pada awalnya, Provinsi Sulbar terdiri dari 5 kabupaten, 51 kecamatan dan 443 desa. Kemudian pada Tahun 2013, Kabupaten Mamuju dimekarkan menjadi 2 kabupaten yaitu Mamuju dan Mamuju Tengah. Kecamatan dan desa pun bertambah melalui beberapa kali pemekaran dalam kurun waktu 2004-2019 sehingga pada tahun 2019 jumlah kecamatan menjadi 69 dan jumlah desa menjadi 650.
Adapun jumlah pegawai negeri sipil (PNS) yang bekerja di kantor pemerintah daerah sebanyak 5.488 PNS pada tahun 2019. Terdiri atas 2.939 pegawai laki-laki dan 2.549 pegawai perempuan.
Dalam kancah politik, terdapat 45 anggota DPRD Provinsi Sulawesi Barat. Dari jumlah itu, Partai Demokrat menduduki kursi terbanyak dengan 9 kursi, disusul Golkar 8 kursi, PDI-P 6 kursi, Hanura dan Gerindra masing-masing 4 kursi, PKS 3 kursi, PAN dan PKB masing-masing 2 kursi serta PPP 1 kursi.
Politik
Dinamika politik di Sulbar tak bisa dilepaskan dari Sulawesi Selatan (Sulsel) sebagai provinsi induknya. Sebelum pemekaran wilayah menjadi provinsi sendiri pada tahun 2004, Sulbar direpresentasikan oleh tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Polewali Mamasa (sekarang Polewali Mandar dan Mamasa), Majene, dan Mamuju (sekarang Mamuju, Pasangkayu, dan Mamuju Tengah). Seperti peta politik Sulsel, Sulbar yang kental dengan identitas budaya itu berhasil dikuasai oleh Partai Golkar.
Kemunculan perdana Golkar pada Pemilu 1971 termasuk fantastis. Perolehan suara yang berhasil dikantongi mencapai tiga perempat bagian dari total suara. Partai-partai politik lain, terlebih partai bercorak keagamaan, bertumbangan. Dengan proporsi kemenangan mutlak tersebut, pola-pola kemenangan partai dan kelompok yang merujuk pada identitas keagamaan pada Pemilu 1955 tergeser.
Sebagaimana yang terjadi pada pemilu pertama ini, di wilayah Sulbar yang masa itu disebut Mandar, peserta pemilu yang berpaham agama cukup berkibar. Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) dan Nahdlatul Ulama (NU), yang merupakan representasi partai bercorak keislaman, mampu mendominasi perolehan suara hingga dua pertiga bagian. Partai Kristen Indonesia (Parkindo) pun mampu meraih posisi kedua dengan 15,7 persen suara. Partai-partai bercorak nasionalis, sosialis, ataupun komunis tidak banyak berpengaruh di wilayah ini.
Pemilu 1977 semakin mengentalkan penguasaan partai berlambang pohon beringin ini. Kali ini, sekitar 84 persen suara bisa diraup oleh Golkar. Demikian pula, empat kali penyelenggaraan pemilu berikutnya, Golkar berhasil meraih suara di atas 90 persen. Bahkan, pada pemilu terakhir di masa kekuasaan rezim Orde Baru (1997) partai pemerintah ini menang dengan 95 persen suara. Adapun PPP yang merupakan representasi partai-partai bercorak keislaman yang pernah menguasai Sulbar dalam kurun waktu tersebut menjadi minoritas.
Titik balik muncul seiring perubahan besar yang bertajuk reformasi terjadi di negeri ini. Kemenangan memang masih menemani Partai Golkar pada empat pemilu berikutnya yakni Pemilu 1999, 2004, 2009, dan 2014. Namun, prestasinya terus merosot. Dari perolehan sebelumnya di atas 90 persen, pada Pemilu 1999 Golkar hanya meraih 61 persen. Angka ini semakin menyusut pada Pemilu 2004, hanya mampu meraih 44,7 persen suara. Selanjutnya pada Pemilu 2009, Golkar meraih 20,5 persen dan pada Pemilu 2014 turun lagi perolehannya hingga tinggal 18,64 persen suara.
Penyusutan dukungan terhadap Golkar otomatis memberi peluang bagi partai lain. Pada pemilu pertama pascareformasi, PDI Perjuangan (PDI-P) merebut posisi kedua yang sebelumnya selalu ditempati PPP. Hanya di Kabupaten Majene, PPP mampu mempertahankan posisi. Namun, timbangan kembali bergerak. Dukungan terhadap PDI-P dan PPP pun kembali terkikis di tahun 2004, tergantikan oleh Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Pada Pemilu 2009, Demokrat dan PAN berhasil memperoleh suara terbanyak kedua dan ketiga. Kemudian pada Pemilu 2014, Partai Demokrat tetap menduduki posisi kedua dengan 18,15 persen suara dan Gerindra di posisi ketiga dengan meraih sekitar 14,92 persen suara.
Pada Pemilu 2019, peta politik di Sulbar kembali berubah. Golkar tidak lagi meraih suara terbanyak. Hasil pemilu legislatif menunjukkan kemenangan PDI-P dengan meraih 30,68 persen. Di tempat kedua, diduduki oleh Gerindra dengan meraih 13,86 persen suara dan di urutan ketiga ditempati Nasdem dengan meraih 13,45 persen suara.
Adapun Golkar harus puas di urutan kelima dengan hanya meraih 7,47 persen suara. Di urutan keempat ditempati Partai Demokrat dengan meraih 11,95 persen suara. Kemudian di urutan berikutnya adalah PKB, PAN, Hanura, PPP, Perindo, PKS, Berkarya, Garuda, PBB, PSI, dan PKPI.
Kependudukan
Provinsi Sulawesi Barat dihuni sebanyak 1.419.229 jiwa berdasarkan hasil Sensus Penduduk tahun 2020. Dari jumlah tersebut, sebanyak 720.187 jiwa penduduk laki-laki dan 699.042 jiwa penduduk perempuan.
Sepanjang 2010-2020, laju pertumbuhan penduduk per tahun tercatat sebesar 1,98 persen. Sementara itu, besarnya angka rasio jenis kelamin tahun 2020 penduduk laki-laki terhadap penduduk perempuan sebesar 103,02.
Sebaran penduduk di Sulawesi Barat belum merata. Kabupaten Polewali Mandar tercatat memiliki penduduk terbanyak, yakni 33,72 persen dari total penduduk. Adapun kabupaten yang paling sedikit penduduknya adalah Kabupaten Mamuju Tengah, yakni hanya 9,53 persen.
Secara historis, Sulawesi Barat dikenal sebagai wilayah bermukimnya Suku Mandar. Jumlah penduduk asal Suku Mandar di Sulbar diperkirakan mencapai 49,15 persen menurut data BPS. Dengan proporsi sebesar itu, Suku Mandar tampak menonjol dan kerap kali diidentikkan dengan kewilayahan Mandar sejak berabad yang lalu.
Orang mandar dikenal sebagai pelaut yang ulung. Hal ini dibuktikan dengan adanya ungkapan takkalai disombalang dot ai lele ruppu dadi na tuali di luangan, yang artinya orang mandar menjunjung tinggi hal-hal baik, benar, dan mulia. Demikian juga, masyarakat Mandar bercita-cita menjadikan wilayah mereka menjadi Mandar yang masagena na mala bi (Mandar yang terpandang dan mulia).
Tak hanya Suku Mandar, provinsi ini sejatinya juga ditinggali oleh beragam etnis, seperti Toraja, Bugis, Jawa, dan Makassar. Selain suku-suku tersebut, terdapat pula enam suku yang mendiami Sulbar sejak zaman dahulu, selain Suku Mandar.
Keenam suku tersebut adalah Suku Dakka yang tersebar di Kecamatan Tapango, Wonomulyo, dan Matakali, Kabupaten Polewali Mandar, Suku Pattae yang bermukim di Polewali Mandar, tepatnya Kecamatan Matakali hingga perbatasan Kabupaten Pinrang.
Selanjutnya, Suku Pannei yang tersebar di Sulbar. Keempat, Suku Pattinjo yang tersebar di wilayah Polewali Mandar, Suku Bunggu yang tinggal di pedalaman Mamuju Utara, dan Suku Da’a yang tinggal di Bambaira, Mamuju Utara.
Badan Bahasa mencatat ada sembilan bahasa daerah di Sulawesi Barat, yaitu Baras, Benggaulu, Budong-Budong, Kone-Konee, Mamasa, Mamuju, Mandar, Pannei, dan Topoiyo.
Penduduk di Sulbar didominasi oleh penduduk yang beragama Islam yaitu sebesar 82,22 persen dari total penduduk. Disusul Kristen Protestan 15,91 persen serta agama lainnya jumlahnya di bawah 2 persen.
Pertanian masih menjadi tumpuan hidup bagi sebagian besar penduduk di Sulawesi Barat. Sebanyak 46,35 persen pekerja di Sulawesi Barat menggeluti sektor ini. Sektor penyerap tenaga kerja terbanyak berikutnya adalah perdagangan besar dan eceran 15,36 persen, lalu industri pengolahan sebanyak 8,54 persen.
Kesejahteraan
Capaian pembangunan manusia di Provinsi Sulawesi Barat secara umum terus membaik dalam satu dekade terakhir (2010-2020). Dalam kurun waktu itu, nilai IPM Sulawesi Barat meningkat dari 62,65 (2010) menjadi 66,11 (2020). Kendati meningkat, IPM Sulawesi Barat masih di posisi ke-4 terbawah nasional dari 34 provinsi.
Dari komponen pembentuknya, Umur Harapan Hidup (UHH), yakni bayi yang baru lahir pada tahun 2020 tercatat memiliki peluang untuk hidup hingga 65,06 tahun, lebih lama 0,24 tahun dibandingkan tahun 2019.
Harapan Lama Sekolah (HLS), yakni anak-anak yang pada tahun 2020 berusia 7 tahun memiliki peluang untuk bersekolah selama 12,77 tahun, lebih lama 0,15 tahun dibandingkan tahun 2019. Demikian juga, Rata-rata Lama Sekolah (RLS), yakni penduduk yang berusia 25 tahun ke atas pada tahun 2020 secara rata-rata telah menempuh pendidikan selama 7,89 tahun, lebih lama 0,16 tahun dibandingkan tahun 2019.
Pada tahun 2020, masyarakat Sulawesi Barat tercatat memenuhi kebutuhan hidup dengan rata-rata pengeluaran per kapita sebesar 9,17 juta per tahun, menurun Rp 67 ribu dibandingkan tahun 2019.
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Sulbar tercatat sebesar 3,32 persen atau sebanyak 23,13 ribu orang pada Agustus 2020. Angka pengangguran tersebut meningkat 2,85 ribu orang atau 0,34 persen dibandingkan Agustus 2019. TPT Sulbar tersebut di bawah TPT Nasional sebesar 7,07 persen.
Penduduk miskin di Sulawesi Barat tercatat sebanyak 159,05 ribu penduduk atau 11,50 persen pada tahun 2020. Di daerah perkotaan, angka penduduk miskin tercatat sebesar 9,98 persen pada September 2020, sedangkan di daerah perdesaan tercatat sebesar 11,89 persen.
Tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Provinsi Sulawesi Barat yang diukur oleh Gini Ratio tercatat sebesar 0,356 pada September 2020. Angka ini menurun 0,008 poin jika dibandingkan dengan Gini Ratio Maret 2020.
Ekonomi
Urat nadi perekonomian Sulawesi Barat adalah sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan. Sektor ini menyumbang 42,57 persen dari total PDRB Provinsi Sulawesi Barat pada 2019 sebesar Rp 45,91 triliun.
Potensi lahan pertanian di daerah ini seluas 1.429,29 kilometer persegi dan lahan perkebunan seluas 3.969,32 kilometer persegi. Daerah ini termasuk salah satu daerah penghasil kakao, kopi robusta, kopi arabika, kelapa hingga cengkih.
Di bidang kehutanan, Sulbar memiliki luas kawasan 1,09 juta hektar pada tahun 2017 dengan hutan produksi seluas 423,42 ribu hektar. Adapun di sektor perikanan, Sulbar memiliki potensi perikanan tangkap sebesar 929.700 ton per tahun dan hanya 10 persen saja yang telah dimanfaatkan.
Selain sektor pertanian, perekonomian Sulbar juga ditopang oleh sektor perdagangan besar dan eceran: reparasi mobil dan sepeda motor sebesar 10,19 persen. Disusul sektor industri pengolahan 9,83 persen, administrasi pemerintahan, pertahanan dan jaminan sosial wajib sebesar 7,74 persen, serta konstruksi sebesar 7,30 persen.
Kendati kontribusinya masih 2,19 persen, Sulbar juga memiliki potensi sumber daya alam besar di bidang pertambangan dan penggalian. Di sektor ini, Sulbar menyimpan kandungan emas, batubara, dan minyak bumi.
Untuk mendukung kegiatan ekonomi di daerah ini, Sulbar memiliki pelabuhan antarpulau yang aktif melayani dan menghubungkan dengan pulau Kalimantan, yaitu Pelabuhan Fery Simboro Mamuju, Pelabuhan Rakyat Palipi Majene, Pelabuhan Rakyat Mamuju, dan Pelabuhan Samudra Belang-Belang Bakengkeng Mamuju.
Sejak terbentuknya Provinsi Sulawesi Barat, laju pertumbuhan ekonomi Sulbar berfluktuasi setiap tahunnya. Namun demikian, laju pertumbuhan ekonomi Sulbar masih berada di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional.
Pada tahun 2020, ekonomi Sulawesi Barat terkontraksi 2,42 persen, lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan ekonomi yang terkontraksi 2,07 persen. Dari sisi produksi, kontraksi terdalam terjadi pada lapangan usaha konstruksi sebesar 13,31 persen. Dari sisi pengeluaran kontraksi terdalam terjadi pada komponen impor yakni sebesar 14,91 persen.
Di bidang pariwisata, Sulawesi Barat sebenarnya memiliki potensi wisata alam dan budaya yang bisa dikembangkan. Daerah yang dikenal sebagai penghasil kakao ini menyimpan pesona alam dan budaya, mulai dari pemandangan pegunungan yang asri, wisata bahari, wisata agro, wisata flora dan fauna yang totalnya mencapai 172 objek wisata.
Destinasi wisata yang terkenal di Sulbar antara lain wisata alam Pantai Dato Majene, wisata bahari Pulau Karampuang Mamuju, Pulau Pasir Putih Gusung Toroja Polewali Mandar, Tondok Bakaru Mamasa, Pantai Koa-koa Pasangkayu, dan wisata Magrove Waitumbur Mamuju Tengah.