Perempuan yang Merayakan Rindu dengan Buku-Buku
Tak tahukah ia, salah satu caraku merayakan rindu akan kehidupan yang normal adalah bersama buku-buku. Membunuh sepi adalah dengan menjadi tuli.
Di mata orang, aku hanyalah seorang perawan tua yang kurang kerjaan. Selepas subuh, aku sudah rapi jali dengan sebuah buku dan secangkir teh tubruk tanpa gula. Menekuri huruf demi huruf dari sebuah buku yang tebalnya seperti batu bata. Sesekali menyeruput teh tawar yang masih berasap, dan menyapa ramah tetangga yang lewat. Sepotong pagi yang sempurna, sama seperti pagi di ribuan hari sebelumnya. Orang-orang kampung sudah hapal di luar kepala kebiasaan ’tak biasa’ ku ini. Mereka lantas mafhum jika kacamata tebalku merosot sampai tulang hidung, bibirku sedikit menganga, itu artinya jiwaku sudah berpindah ke negeri antah berantah meski ragaku masih berada di teras rumah.
”Buku apa yang sedang Mak Ni baca?” Athifa, gadis berkerudung ujung gang yang santun itu, tetap menanyakan pertanyaan yang sama meski aku tak pernah menjawab. Aku sedang menjadi tuli.
”Selamat pagi, Nini….” Teguh, teman sebayaku yang sudah beranak lima, tetap menyapa dengan kata itu, sepanjang hari, meski tak kuacuhkan. Aku benar-benar sedang tuli.
”Dinda, bolehkah daku meminjam benda yang dikau pegang itu, barang sebentar saja?” Orang kurang waras yang berkeliaran di sekitar kampungku itu turut mengganggu kesibukanku. Tak tahukah ia, salah satu caraku merayakan rindu akan kehidupan yang normal adalah bersama buku-buku. Membunuh sepi adalah dengan menjadi tuli.
Hening. Bening. Sunyi.
Nama-nama yang indah, bukan? Nama yang pernah kuimpikan sejak dulu untuk kusematkan buat nama anak-anakku kelak. Namun, siapa gerangan lelaki yang tertarik dengan perempuan ’sering tuli’ sepertiku?
Ah, padahal aku hanya sebentar menjadi tuli, tapi bukan berarti aku tak peduli. Namun, kebanyakan orang tak mengerti. Baiklah. Sesekali aku juga mau berkompromi dengan keadaan. Masuk rumah dan mengunci pintu rapat-rapat adalah solusi. Tak berminat menanggapi suara-suara sumbang yang berdengung di luar sana.
Oh ya, rumah semipermanen yang kuhuni sebatang kara ini adalah warisan orangtuaku. Kursi rotan, meja mahoni, tirai, perabot, semuanya usang, seusang usia penghuninya. Namun, rak kayu jati beserta isinya itu adalah harta karun yang tak pernah usang, setidaknya untuk nutrisi otak sang pembelajar. Ya, hanya itulah hartaku yang paling berharga kini setelah lima saudaraku satu per satu menikah dan meninggalkan rumah, kedua orangtuaku berpulang, jodoh yang tak pernah kujumpai, dan satu kaki yang berpijak kokoh di Bumi. Kakinya satu lagi, sudah berpamitan di ujung pisau amputasi. Dua kruk yang kuapit di ketiak sama sekali tak menyurutkan langkahku untuk maju.
Meski ragaku begitu mengibakan di mata orang-orang, semangatku tetap tegak serupa tiang bendera di tengah lapangan upacara. Tetep kokoh meski ditempa terik matahari, meski diterpa hujan, meski diguncang angin, dan meski diterjang badai sekalipun. Tak tergoyahkan.
Hening. Bening. Sunyi. Nama-nama yang indah, bukan? Nama yang pernah kuimpikan sejak dulu untuk kusematkan buat nama anak-anakku kelak. Namun, siapa gerangan lelaki yang tertarik dengan perempuan ’sering tuli ’ sepertiku?
Aku ingin mencontoh Gola Gong, bos Rumah Dunia itu pernah membakar hatiku dengan pernyataannya, ”Buku membuatku lupa jika aku bertangan satu”. Itu juga tentu berlaku buatku, Si Perempuan Berkaki Satu yang sudah kenyang akan berupa-rupa perundungan, cibiran, sindiran, hingga tuduhan tak berdasar. Semua itu cukup kubalas dengan cengiran lebar. Hidup ini terlalu singkat untuk disia-siakan dengan ratapan, bukan?
Aku sempat iri pada seorang bapak yang memodifikasi motor bututnya sedemikian rupa menjadi perpus keliling. Keluar masuk pelosok kampung untuk mengenalkan anak-anak pada budaya membaca. Menemukan tawa anak-anak yang takjub mencerna deretan aksara. Aku juga iri pada pasangan suami istri yang menghamparkan koleksi bukunya di alun-alun, taman kota, atau car free day untuk dibaca gratis, mengampanyekan cinta baca. Sedangkan aku, hanya gubuk baca ini jalan ninjaku.
Dan hey! Siapa bilang buku-buku itu hanya seonggok benda tanpa nyawa. Kau salah besar, Kawan! Mereka hidup dan bercahaya. Menerangi lorong demi lorong imajinasi, mengajak pembacanya menjelajah kehidupan, peradaban, sejarah, dan bahasa. Mengajak berpetualang dari timur, tenggara, selatan, barat daya, barat, barat laut, utara, timur laut, hingga seolah kita berdiri di haribaan semesta. Tersenyum, bahagia, dan membuncah jutaan tekad di dada: aku ingin berkarya untuk memperpanjang usia. Aku ingin berdaya sebelum tubuh ringkihku berkalang tanah. Inspirasiku itu berasal dari sebuah hadis yang kubaca saat aku remaja dulu: tuntutlah ilmu dari buaian hingga liang lahat. Sungguh menggetarkan! Maka kupasang tulisan itu di dinding kamarku. Sejak remajaku hingga setua ini, tulisan itu masih terpasang di sana.
Maka, tahun demi tahun berkelindan, hingga rumah reotku ini menjadi base camp anak-anak dan remaja. Mereka datang—satu, dua, tiga hingga belasan orang—rela duduk lesehan di ruang tamuku yang sempit, beralas tikar pandan yang sudah rusak di tepi-tepinya. Mereka ikhlas berdesak-desakan ditemani kipas angin kecil yang berputar-putar dan menimbulkan suara berisik. Mereka membaca, menulis, berpuisi, berdiskusi, tertawa, bahkan saling berebut buku. Sudah kubilang dari awal agar menganggap area ruang tamu itu seperti rumah sendiri meski tetap ada peraturan yang kubuat.
”Satu anak, satu buku. Jika tak selesai membaca di sini, bawa pulanglah dan lanjut baca di rumah kalian,” titahku.
Mereka mengangguk-angguk serupa boneka kucing berengsel di atas dashboard.
”Kalau sudah selesai, langsung kembalikan! Ambil buku lain, dan baca lagi.”
Tak ada yang protes kecuali beberapa orangtua dari anak-anak itu. ”Tugas sekolah seabrek, masih harus bantu-bantu di ladang, tapi tugas baca jalan terus!” keluhnya—tentu saja berkasak-kusuk di belakangku.
Seperti yang sudah-sudah, aku merespons dengan cengiran lebar. Pantas saja negara kita tertinggal, orang membaca masih jadi beban. Pantas saja bangsa kita tak maju-maju, lha wong banyak rebahan dan ngegosip melulu.
Ah.
Biarlah gubuk reotku ini menjadi rumah kedua ketika di rumahnya sendiri mereka hanya dicekoki tayangan televisi yang tak bermutu, nge-game tak kenal waktu, dan nongkrong tak jelas. Aku ikhlas bukuku lecek, kotor, dan terluka asal mereka bahagia dengan membaca. Menyerap saripati ilmu sembari berdecak-decak kagum serupa anak kecil menemukan cincin emas di dalam bungkus ciki. Aku bangga manakala mereka menghujaniku dengan banyak pertanyaan; dari remeh-temeh hingga absurd sekalipun. Tentu tak semua tanya berhasil kujawab. Untuk itulah, aku harus terus membaca lagi dan lagi. Mereka menganggapku seorang guru, padahal mereka adalah guru yang sesungguhnya. Guru yang justru mengajariku banyak hal dan nilai-nilai kehidupan.
Jika menengok ke belakang, tak mudah mengajak anak-anak itu sekadar mampir ke rumah. Mereka asing dengan tumpukan kertas yang dijilid berisikan tulisan dan gambar ilustrasi, kecuali buku pelajaran yang tergulung tepi-tepinya. Kebanyakan orangtua mereka berpikir bahwa buku hanyalah ranah untuk para ilmuwan, akademisi, politisi, dan orang tak punya kerjaan kecuali duduk menekuri tulisan selama berjam-jam. Sedangkan warga kampung ini yang telah karib dengan cangkul, sawah, dan padi menganggap buku tak kuasa mengganjal perut lapar.
Sebagian yang lain, berbeda-beda menyikapi aktivitasku. Ada yang tak peduli, tapi masih sempat mengomentari ’urusan literasi itu urusan menteri pendidikan! Jadi kita tak perlu repot!’ Banyak pula yang iba karena perempuan otw jelita (jelang lima puluh tahun) ini—cacat pula—tak seharusnya masih berlelah-lelah mengurus anak orang dengan beragam karakter. Fyuhh. Dan orang yang meragukan ternyata menyimpan kecurigaan. Curiga bahwa ratusan buku itu benar-benar milikku pribadi. Bukan hasil maling, menggarong, atau menyelundupkan melalui konspirasi rapi dari perpustakaan kota. Sori, Kawan. Tak ada bibit mental korup padaku meski hidupku miskin. Namun, dari sekian mata-mata yang menatapku dengan stigma negatif, masih ada mata-mata yang memancarkan ketulusan.
”Terima kasih, Mak Ni. Gara-gara baca buku, anak saya jadi naik prestasi sekolahnya.” Kresek warna hitam berisi sembako ditaruhnya di ruang tamuku meski aku mati-matian menolak secara halus.
”Nini, ini ada buku bacaan. Bekas, tapi ori semua. Semoga sudi menerima.”
Buku sebanyak satu kardus mi instan, membuatku menyungkur sujud. Dunia ini tak kekurangan orang-orang baik.
Beberapa orang yang ku tak tahu siapa meninggalkan berupa barang—buah, kue, kaleng biskuit, kerudung, alat tulis, peralatan dapur, dan entah apalagi—di teras rumah. Terkadang digantungkan begitu saja di gagang pintu. Sungguh bukan tanpa alasan aku ingin memasang kamera CCTV di sudut atas teras.
Baca juga: Sayap Elang dan Secangkir Teh Chamomile
Satu hal yang paling epik dari semua drama itu adalah sebuah kenyataan bahwa ada pihak yang entah dengki, julid, dendam, atau sakit hati padaku. Puncaknya, orang itu berniat membakar rumahku. Dini hari, ia menyiram bensin di sudut rumah. Lalu sepercik api merembet ke samping rumah. Beruntung, seorang warga yang sedang ronda melihatnya lantas beramai-ramai memadamkan api. Hanya dapur yang sedikit rusak. Sedangkan rumah bacaku selamat tak kurang suatu apa. Air mata yang selama ini kusembunyikan dan hanya menetes ketika berdoa pada-Nya, kini tak mampu lagi kubendung. Dia sebaik-baik penjaga, sebaik-baik pelindung ketika dunia kecil dalam lingkup kampung ini pun ada yang berniat jahat pada perempuan tua sepertiku. Namun, kehidupan yang keras sejak kecil menempaku hingga menjadi serupa pegas. Semakin ditekan, maka semakin melenting jauh. Mengangkasa, tetapi tetap kembali ke Bumi.
Maka, aku tetap setia dengan buku dan secangkir teh tubruk di pagi hari, sembari tersenyum menikmati tatapan heran orang-orang. Lantas membersamai bocah-bocah itu dari siang sampai sore, dengan segala rupa tingkah polahnya. Sedangkan kubunuh sunyinya malam dengan menarikan jemari di atas keyboard komputer tua. Merangkai kata, merajut kisah, dan meliarkan imajinasi. Inilah cara sederhanaku untuk berbagi, mensyukuri kehidupan, dan merayakan cinta dan rindu dengan buku-buku. Sebab, aku tak tahu sampai kapan kehidupan menyisakan waktu untukku.
----
Arinda Sari, penulis lepas dan blogger. Berkecimpung di komunitas Penulis Ambarawa (Penarawa). Tinggal di Semarang.