Rahasia Kue Lebaran Mina
Mina memperlakukan Dafa seperti kebanyakan nenek yang memanjakan cucunya. Mina benar-benar tidak menyangka, dari semua anak dan cucunya, justru Dafa yang memiliki bakat dan ketekunan untuk mewarisi resep turun-temurun.
Lebaran bagi Mina adalah membuat berbagai jenis kue kering yang kemudian ia bagikan kepada anak dan cucunya. Ia mengerjakannya siang dan malam, kadang dari pagi sampai tengah malam, demi bisa selesai sebelum Ramadhan habis ditelan Syawal, sebelum ia harus menjamu para tamunya, tapi....
”Ini sudah malam. Besok lanjutkan lagi. Kamu ini tidak kasihan dengan tubuhmu. Sampai kapan mau siksa diri?” kata suaminya dengan nada jengkel. Lelaki itu tidak tahan mendengar istrinya yang terus meringis tersebab kaki dan pinggang tuanya berkedut nyeri. Piroxicam dan Molacort menjadi sahabat setianya sepanjang bulan Ramadhan, sepanjang nyeri-nyeri menggigit sendi.
Mina hanya menyahut seadanya dan suaminya pun kembali terlelap setelah puas ngedumel. Ia melanjutkan pekerjaannya melebihi ketelitian seorang penjinak bom. Baginya tidak ada yang lebih penting di dunia ini dari menjamu para tamunya dengan kue kering buatannya. Ia juga ingin anak-anaknya yang tinggal jauh darinya—anak-anak yang seringnya hanya bisa datang saat momen Lebaran—bisa terpuaskan oleh kue kering yang terkenal akan kelezatannya itu.
Putri salju buatan Mina begitu menyentuh rongga mulut akan lumer di lidah. Dengan rasa gurih-manis, ia akan membuat si empunya mulut terbuai hingga hipokampusnya tenggelam dalam lautan dopamin. Kemudian si empunya mulut akan mengulangi lagi dan lagi lupa kalau ia punya riwayat diabetes. Pun juga nastar buatannya yang tidak pernah ada bandingannya sehingga....
”Kenapa nenek tidak berjualan kue? Pasti laku bukan main,” tanya Dafa kepada ayahnya.
”Kue nenek spesial untuk keluarga saja,” balas ayah Dafa.
Sebenarnya bukan itu saja alasannya. Tetapi karena Mina memang tidak mau, atau tidak mampu memproduksinya dalam jumlah besar. Sudah banyak kali menantu dan anak perempuannya mencoba membuat dengan resep yang sama, tetapi tiada satu pun dari mereka yang mampu membuatnya seperti Mina. Memang tidak ada yang punya ketelitian dan kecintaan kepada kue kering seperti Mina. Dibutuhkan lebih dari sekadar resep, melampaui sekadar keinginan; dibutuhkan kedisiplinan bertahun-tahun, kedisiplinan para peneliti dalam menemukan formula terbaik.
Dafa merasa tidak puas mendengar jawaban ayahnya. Ia pernah mencoba belajar untuk membuat kue pada neneknya, tetapi ayahnya melarang: ”Kamu bukan perempuan, hanya perempuan yang membuat kue!”
Padahal, Dafa punya cita-cita menjadi pengusaha kue kering dan melanjutkan resep rahasia neneknya. Ia satu-satunya yang peduli dan punya keinginan kuat agar resep neneknya tidak hilang begitu saja. Resep itu didapatnya dengan susah payah. Dulu Mina sampai kursus ke seorang keturunan China pemilik toko kue paling terkenal di kota lama. Sekarang, anak dan cucu mentornya itu tidak membuat kue lagi dan meneruskan usaha orangtuanya. Karena itu, Dafa merasa harus belajar pada neneknya, sayang....
”Sudah kubilang kamu itu laki-laki dan laki-laki itu tidak membuat kue!” tegas ayahnya ketika mengetahui Dafa belajar membuat kue. ”Kamu mau dikatain banci?” Rahang laki-laki itu mengeras dan berkedut seperti insang ikan yang sedang mengambil napas. Ayah Dafa dari dulu sudah melihat gejala yang berbeda pada anaknya. Dafa dari kecil lebih suka memainkan mainan perempuan ketimbang mainan laki-laki; ia lebih senang bermain masak-masakan ketimbang bermain bola. Dafa juga berhati lembut dan tidak suka berkelahi seperti kebanyakan teman-teman lelakinya. Ayahnya tidak pernah mendengar cerita Dafa berkelahi. Dafa selalu berusaha menghindari masalah, itu sebabnya ia lebih senang bermain dengan teman-teman perempuannya karena teman-teman perempuannya merasa tidak perlu mendirikan hierarki dengan adu jotos. Hal itu membuat ayahnya cemas sehingga ia pernah mengadu Dafa dengan sepupunya, dan ketika Dafa kalah, ia sangat marah.
Mina selalu memarahi anaknya jika ia mengadu Dafa dengan sepupu-sepupunya. Ia juga selalu membela Dafa ketika diejek oleh sepupu-sepupunya atau ketika Dafa dimarahi oleh ayahnya yang kesal ketika Dafa membantu Mina membuat kue. Mina memperlakukan Dafa seperti kebanyakan nenek yang memanjakan cucunya, karena itu...
”Kamu boleh datang kapan pun ke rumah nenek kalau mau belajar, nenek dengan senang hati mengajarimu,” kata Mina kepada Dafa. Kemudian ia mendekatkan wajahnya ke telinga Dafa dan berkata, ”Tenang saja, ayahmu tidak akan tahu.”
Dafa tidak mampu menutupi kegirangannya, ia menari-nari seperti para pemandu sorak yang mengisi jeda pertandingan basket.
Setiap liburan sekolah, Dafa akan pergi berlibur ke rumah neneknya, belajar membuat kue kering. Mina sangat senang dengan keseriusan Dafa dan kecakapannya meniru rasa kue buatannya. Mina benar-benar tidak menyangka, dari semua anak dan cucunya, justru Dafa yang memiliki bakat dan ketekunan untuk mewarisi resep turun-temurun itu. Dafa pun sejak itu memutuskan untuk kuliah mengambil jurusan Tata Boga di kota tempat neneknya tinggal agar selalu dekat dan bisa belajar pada neneknya. Namun, ....
”Sudah kubilang, kamu itu laki-laki, kamu tidak boleh mengambil Tata Boga,” bentak ayahnya.
Dafa ingin membantah. Ingin rasanya ia melawan perkataan ayahnya, tapi air mata lebih dulu bicara ketimbang kata-kata.
”Laki-laki jangan menangis. Kamu memalukan,” kata ayahnya dengan mata melotot.
Garis-garis serabut halus berwarna merah muncul di mata lelaki itu. Jamal hampir saja memukul Dafa seperti ketika Dafa kecil dulu. Tapi diurungkan niatnya itu, ia sadar kalau anaknya sudah kelewat besar untuk dipukul. Jamal memang dari kecil berwatak keras, ia menjadi semakin keras sejak ditinggalkan istrinya. Ibu Dafa pergi meninggalkan Jamal dengan lelaki lain ketika Dafa baru berusia empat tahun, dan sejak saat itu Jamal membesarkan Dafa seorang diri.
Dafa yang tahu tidak mungkin membantah ayahnya, akhirnya mengikuti keinginan ayahnya mengambil jurusan Fisika murni. Ayahnya bangga sekali. Ia tahu sejak kecil otak Dafa memang encer. Dan yang paling membuat lelaki itu semakin bangga adalah karena anaknya itu selalu menjadi paling pandai di bidang yang paling banyak membuat orang frustrasi. Namun, seperti halnya nasib yang mempunyai jalannya sendiri, hasrat yang teramat kuat juga akan meluncur menembus segala halang untuk bertemu dengan medannya. Dafa mengambil kuliah double degree; ia diam-diam berkuliah mengambil Tata Boga. Meski ia tidak jadi berkuliah di kota tempat neneknya tinggal karena ayahnya tidak mengizinkan, itu tidak menjadi halangan untuknya bisa mengejar mimpinya. Setiap liburan ia juga masih mengunjungi neneknya untuk membuat kue bersama. Dafa bahkan lebih sering mengunjungi neneknya ketimbang mengunjungi ayahnya.
Bakat memang seperti benang jahit dalam lubang jarum. Sekecil apa pun lubang itu, ia akan selalu bisa masuk menembusnya. Meski hanya belajar sekali dua, Dafa dengan cepat mampu meniru kue buatan Mina. Ia pun memulai usaha berjualan kue sambil terus melanjutkan kuliah Tata Boga dan membuang kuliahnya yang satunya. Mengetahui hal itu, ayah Dafa marah bukan main. Hubungan keduanya yang dari dulu tidak pernah baik menjadi semakin buruk saja. Ayahnya tidak lagi marah kepadanya, tapi kini laki-laki itu berubah menjadi dingin dan tidak mau bicara dengan Dafa.
Dafa senang ayahnya tidak marah-marah lagi, tetapi di satu sisi dadanya sesak oleh rasa yang tidak ia mengerti. Ia bahkan menginginkan ayahnya seperti dulu, marah dan memukulinya, itu dirasanya lebih baik ketimbang diam seperti ini.
Usaha Dafa berkembang dengan gemilang. Ia kini bisa menyewa ruko dan berhasil memperluas pasar. Ia tidak hanya menjual kue kering, tetapi berbagai jajanan lain. Kue keringnya pun tidak hanya laku saat Lebaran dan hari raya saja, tapi menjadi bagian dari oleh-oleh di kota tempatnya tinggal. Mina benar-benar puas ketika kue kering Dafa yang menggunakan brand namanya itu tiba di rumahnya. Namun, seperti halnya karya, kue punya jiwa, dan kue buatan Mina pun sama; ada sesuatu yang membuat rasa kue buatan Dafa tidak bisa pernah memiliki rasa seperti kue buatan Mina. Dafa sadar akan hal itu. Tetapi, ia tidak tahu apa yang membuat rasanya tidak pernah persis sama rasa kue buatan neneknya. Ia telah melakukan semua seperti yang diajarkan neneknya. Mina tentu saja tahu apa yang kurang dari kue buatan Dafa. Hal itu erat kaitannya dengan alasan mengapa kue itu hanya ia berikan pada keluarganya. Kue buatan Mina mampu membuat anak dan cucunya, yang meski sudah punya kehidupan sendiri-sendiri, akan selalu merindukan momen Lebaran; kue-kue itu seperti lem perekat yang mampu membuat dekat mereka yang berjauhan, seperti benang jahit yang mampu merajut kembali yang cerai-berai. Mina hendak mengungkapkan rahasia itu kepada Dafa, tapi....
”Pulanglah, Nak,” kata suara telepon di seberang. Suara itu serak seperti ada pecahan kaca tersangkut di tenggorokannya. Dafa benar-benar kaget ketika ayahnya yang telah begitu lama tidak menghubunginya, tiba-tiba menelepon. Ketika ia bertanya alasannya, tangis pecah di seberang. ”Nenekmu... nenekmu...” Ia tidak mampu melanjutkan kata-katanya. Ia tidak mampu menyampaikan kabar duka kepada anak yang terus ia halang-halangi untuk bertemu dengan neneknya dulu.
Semalam Mina meninggal setelah mengalami serangan jantung karena kecapekan membuat kue yang ia niatkan akan mampu merajut kembali keluarganya yang tercerai-berai pada momen Lebaran ini. (*)
Blencong, 2021-2022
AliurridhaPenerjemah dan penulis lepas. Ia menulis esai, cerpen, dan puisi. Karyanya tersebar di pelbagai media cetak maupun daring. Ia bergiat di komunitas Akarpohon.
I Made Wahyu Friandana, lahir di Denpasar 1995. Pekerjan sebagai ilustrator, pelukis, dan penato. Juga pemain drum di Virtual Doom, sebuah band hardcore Yogyakarta.