Tiga Fragmen Kucing
Kukatakan pada ibu, kalau aku tidak tega untuk membuangnya. Di hari lain, ibu pun dapat memahamiku, kalau aku tidak tega untuk membuangnya.
1/
Dengan sekuat tenaga, kedua tanganku memegang empat kaki kucing yang ada di hadapanku, hingga ia tergeletak di ubin. Satu tangan menguasai dua kaki. Kucing itu berupaya melepaskan diri dari cengkeramanku, sembari mengeluarkan suara yang membuat risih telinga. Pada suatu kesempatan, cengkeramanku hampir lepas, sebab aku sedikit mengendurkan kekuatanku. Tapi aku dengan sigap langsung kembali membuatnya tak dapat berbuat banyak.
Kucing yang di hadapanku memang kucing betina yang aneh. Setiap ia berhasil melahirkan anak yang dikandungnya, ia selalu seperti enggan menyusui. Aku tidak tahu apa yang menyebabkan demikian. Ia tidak pernah betah berlama-lama dengan anak-anaknya. Menyusui hanya sebentar, sembari menjilat-jilat rambut anak-anaknya. Setelah itu pergi, entah ke mana. Kalau tidak dipaksa seperti sekarang ini, ia pasti akan pergi—kucing itu melahirkan tiga ekor seminggu yang lalu.
”Dibuang saja!” seru ibu kepadaku, saat kucing yang kunamai Tribhuwana Tunggadewi itu melahirkan untuk yang kesekian kalinya.
Tentu saja, ucapan ibu tidak mudah untuk kulaksanakan. Wajah kucing itu terlalu iba. Mana mungkin aku dapat menurutinya? Kukira hanya orang gila dan tidak punya perasaan saja yang bisa membuang kucing. Bagiku membuang kucing termasuk sebuah kejahatan. Lebih baik jika sudah tidak ingin memelihara, diberikan kepada orang lain, syukur-syukur orang itu sangat ingin sekali memiliki.
Kukatakan pada ibu, kalau aku tidak tega untuk membuangnya. Di hari lain, ibu pun dapat memahamiku, kalau aku tidak tega untuk membuangnya. Kemudian, ibu pergi ke pasar hanya membeli ikan keranjang semata. Ibu pulang, langsung memanasi ikan yang dibelinya dengan api dari kompor gas. Kemudian aku membantu mencincang-cincang hingga halus dan mencampurkannya dengan nasi. Ibu yang memberikan makanan itu kepada kucing.
Kucing itu tampak lahap sekali, sesekali memandang ibu, seperti ingin mengucapkan terima kasih. Kembali aku teringat dengan kata-kata ibu yang menyuruhku untuk membuang kucing itu. Aku semakin tidak tega dan semakin merasa jika itu benar kulakukan, aku telah menjadi manusia paling jahat di dunia.
”Seharusnya ibu tidak menyuruhmu membuang kucing ini. Dulu ketika Tribhuwana datang, ibu memang sudah punya niat memelihara, sebab waktu itu kurus dan badannya terlihat sangat kotor. Tribhuwana yang seperti ini, seharusnya menjadi tugas kita, bagaimana agar ia tetap betah dengan anak-anaknya, bukan malah menyalahkannya,” ucap Ibu sembari mengelus-elus kucing itu.
Mendengarnya, tentu aku senang sekali. Aku sudah jatuh cinta dengan kucing itu. Bagiku, meski kucing itu cenderung tidak bertanggung jawab saat mempunyai anak, tapi kucing itu menggemaskan. Aku lebih memilih rela bersusah payah agar anak-anak Tribhuwana memperoleh susu dari induknya, daripada harus membuangnya.
2/
Jujur saja, aku senang sekali dengan orang-orang di rumah ini, terutama orang yang sering memberiku makan. Orang-orang di rumah ini tidak pernah ada yang kasar kepadaku. Aku nyaris tidak pernah mengambil ikan atau ayam, sebab aku tidak pernah tahu, dua jenis makanan lezat itu diletakkan di mana.
Kuakui, aku merasa beruntung menemukan rumah ini dan majikan yang baik hati, yang selalu memberi makan nyaris setiap hari. Aku jadi terurus, tubuhku tidak sedekil ketika aku datang. Orang-orang di rumah ini terus mengelus-elus rambutku hingga kotorannya hilang dan menjadi halus. Aku menjadi merasa percaya diri.
Hari demi hari kulalui, semenjak kedatanganku di sini. Aku melaluinya dengan gembira. Setiap pagi aku sudah berada di dapur, menunggu makanan datang. Kemudian aku makan dan setelah itu pergi ke sembarang tempat yang bisa untukku bersantai sembari menjilat-jilat badan. Kalau bosan aku akan pergi ke rumah tetangga untuk mencari kepala ikan, atau nongkrong di tempat mereka.
Ketika pada suatu waktu kurasakan ada sesuatu yang hadir di tubuhku, seperti ada yang mendesak-desak sehingga membuatku gelisah, aku lebih sering di luar rumah. Bahkan saat malam tiba. Aku tidur di tempat-tempat tertentu yang strategis saat rasa letihku menguasaiku, sebab aku terus jalan-jalan karena bingung dengan cara apa aku menghilangkan kegelisahan itu. Kala bangun, kegelisahan itu justru semakin menjadi-jadi, desakan-desakan itu semakin terasa. Aku terkadang berguling-guling. Hingga kemudian aku mulai memahami saat bertemu dengan seekor kucing yang tampak begitu mempesona di mataku.
Semenjak pertemuan itu, aku seperti ketagihan. Ingin bertemu dengan kucing itu lagi di lain hari, meski kegelisahan itu tidak muncul. Aku benar-benar ingin leherku kembali digigit oleh kucing itu, menikmati sensasi yang luar biasa menjalar di tubuh. Suatu kali, kucing yang sering bersamaku menghilang—ia sering mengantarku pulang ke rumah. Tapi kemudian, tanpa menunggu lama aku memperoleh gantinya. Hingga aku menyadari kalau ada sesuatu di dalam perutku. Kurasakan semakin berat perutku, hingga berukuran besar. Hingga suatu kali perutku sakit luar biasa. Hingga hari-hariku punya teman, tiga makhluk kecil.
Aku baru menyadari kemudian, setelah perutku membesar untuk yang kedua kalinya. Kalau apa yang kulakukan dengan pasanganku, memberi efek pada perutku. Terpaksa aku kembali menahan sakit saat mengeluarkan isi dari dalam perut. Namun, aku tidak pernah kapok. Aku selalu ingin terus dan terus bersama pasangan, menikmati desiran-desiran luar biasa yang menjalar pada tubuh.
Saat aku menyusui, aku sering kepikiran pasanganku. Aku sering meninggalkan anak-anakku kala mereka asyik bersamaku. Aku meninggalkan mereka tanpa dosa, sementara mereka memanggil-manggil aku dengan suara yang membuat kupingku geli. Yang ada dalam kepalaku adalah rasa nikmat bersama pasanganku. Oh ya, aku sudah berganti pasangan berkali-kali, entah pasanganku yang sekarang, adalah yang keberapa kali, aku tidak ingat.
”Rasa sakit tidak ada apa-apanya, kalau mengingat rasa nikmat yang kudapat. Aku ingin terus menikmati, betapa sungguh menyenangkan, aku tidak peduli dengan akibatnya, aku tidak peduli dengan anak-anak yang kulahirkan. Bodo amat, kenikmatan ini tiada tara enaknya, aku ingin terus melakukan,” ucapku dalam hati setelah aku masuk rumah majikanku, dengan bayangan-bayangan bersama pasangan.
Baca juga: Dongeng Tanah Rantau
Begitulah aku semenjak aku tahu dunia kenikmatan itu. Aku tidak pernah benar-benar peduli. Aku lebih sering keluar. Pulang hanya untuk meminta makan, kalau aku tidak dapat-dapat makan. Kemudian paling-paling tidur. Paling menjengkelkan adalah ketika anak-anakku berlari dengan susah payah menyambutku. Mereka langsung menyasar bawah perutku dengan ganas. Terpaksa aku rebah.
Aku tidak ingat tentunya sudah berapa kali menikmati kenikmatan itu. Aku tidak peduli. Di pikiranku yang ada hanyalah kenikmatan.
Majikanku stres menghadapiku. Mereka pernah mengurungku di suatu tempat. Aku pun mengeluarkan senjataku; terus berbunyi hingga majikanku tidak tahan dan melepaskanku. Aku pun untuk yang kesekian kalinya kembali mendengar, kalau aku dibuang saja, sebab merepotkan. Aku dibilang kucing aneh. Aku tidak peduli. Aku mencintai kenikmatan.
Pada akhirnya seisi rumah itu sepakat untuk tidak membuang—mereka tidak pernah mempunyai rasa tega. Aku mendengar kasak-kusuk mereka, kalau mereka sepakat akan tahan dengan suaraku yang membuat risih telinga. Dan semenjak itu, aku dipaksa untuk menyusui anak-anakku dengan cara mencekal keempat kakiku hingga aku tidak dapat bergerak. Aku sangat tidak suka akan hal itu. Aku tidak suka disusu lama-lama.
”Nah, kalau begini anakmu dapat gizi. Tidak malah kamu tinggal minggat, kemudian mati! Kamu itu sudah membunuh berapa anak kucing coba?”
Aku dikatai telah membunuh!
Pada akhirnya seisi rumah itu sepakat untuk tidak membuang—mereka tidak pernah mempunyai rasa tega. Aku mendengar kasak-kusuk mereka, kalau mereka sepakat akan tahan dengan suaraku yang membuat risih telinga. Dan semenjak itu, aku dipaksa untuk menyusui anak-anakku dengan cara mencekal keempat kakiku hingga aku tidak dapat bergerak. Aku sangat tidak suka akan hal itu. Aku tidak suka disusu lama-lama.
3/
Walau risih karena suaranya yang mengiba, lama-lama saya terbiasa dengan suara kucing itu ketika anak saya mencekal keempat kakinya. Kalau tidak begitu, anak-anak kucing tidak akan memperoleh gizi, sehingga akan mati. Dari pertama beranak hingga sekarang, baru tiga ekor kucing yang benar-benar hidup.
Nyatanya cara itu cukup efektif, menghindarkan anak-anak kucing dari kematian karena kekurangan gizi. Kemudian dalam hati saya menyesalkan, mengapa tidak melakukan ini dari dulu? Saya merasa berdosa, berapa anak kucing yang mati. Saya terbayang kelak setelah manusia dibangkitkan, kucing-kucing yang mati itu meminta pertanggungjawaban. Menyeramkan!
Baca juga: Bukan Bocah Biasa
Kami sekeluarga terus menyayangi Tribhuwana Tunggadewi. Kucing itu semakin cantik saja. Beberapa hari yang lalu, ketika teman saya berkunjung ke rumah, ia naksir dengan kucing tersebut. Saya teringat dengan ucapan saya, ucapan yang mengandung perintah untuk membuang kucing itu. Kini sama sekali tidak terbersit di benak saya.
”Saya ini menyukai beneran, lho. Percayalah kepada saya, saya akan merawatnya sepenuh hati,” ucap teman saya, masih terus berusaha menggoda.
Saya tetap mempertahankannya dan berucap kalau kucing itu sudah dicintai keluarga kami. Akhirnya, teman saya menyerah. Saya lega.
Suatu ketika, kucing itu tidak juga kelihatan batang hidungnya. Saya bersama anak saya mencari-cari ke sana kemari. Bertanya ke sana dan ke sini. Tetangga-tetangga tidak ada yang melihat. Selama tiga hari rumah dalam keadaan berkabung. Kami tidak banyak berbicara, kecuali suami saya. Ia berusaha membesarkan hati saya. Ia mencoba meyakinkan saya kalau kucing itu nantinya akan ketemu.
Pada hari kelima pencarian, kucing itu ketemu. Ia ternyata sedang santai-santai di rumah teman saya, yang ada di kampung sebelah. Saya tidak habis pikir, bagaimana bisa bermain sampai begitu jauh. Namun kemudian saya melupakan itu, yang terpenting telah menemukannya.
Saat saya sedang mengobrol dengan teman saya, kucing itu dipegang oleh anaknya. Saya tiba-tiba kaget, anak teman saya memegang kepala kucing tersebut dan memutarnya. Saya langsung berteriak.
”Tidak apa-apa, Mbakyu. Itu seperti manusia, bisa menghilangkan rasa pegal. Kita kalau pegal, memutar badan, terus berbunyi. Itu sama,” ucap teman saya.
Dada saya bergemuruh. Saya tidak bisa menerima penjelasan tersebut. Di benak saya hanya kematian yang terbayang. Saya mengambil alih kucing itu dari penguasaan anak teman saya. Dan cepat-cepat pamitan dengan segenap rasa jengkel dan marah yang masih berusaha saya tahan.Kamar Tidur, 2022
***
Risen Dhawuh Abdullah, lahir di Sleman, 29 September 1998. Alumnus Sastra Indonesia Universitas Ahmad Dahlan (UAD) angkatan 2021. Bukunya yang sudah terbit berupa kumpulan cerpen berjudul Aku Memakan Pohon Mangga (Gambang Bukubudaya, 2018). Alumni Bengkel Bahasa dan Sastra Bantul 2015, kelas cerpen. Anggota Komunitas Jejak Imaji. Bermukim di Bantul, Yogyakarta. Bila ingin berkomunikasi bisa lewat Instagram @risen_ridho.