Sayap Elang dan Secangkir Teh ”Chamomile”
Kulirik cangkir yang masih kosong di hadapanku. Menuang cairan coklat bening dari teko kaca ke dalam cangkir. Aroma ”chamomile” langsung menyeruak lembut bersama asap halus yang mengepul di permukaan.
Asap halus mengepul dari mulut teko kaca berukuran mini. Benda yang diletakkan tepat di bagian tengah sebuah meja kayu dengan cat yang mulai memudar di beberapa sisi. Sementara, dua buah cangkir berbeda ukuran juga warna tertata apik di sisi meja yang berlawanan, tanpa tatakan. Seperti biasa, cangkir besar dengan warna coklat polos menempati bagian yang mengarah tepat ke jendela yang terbuka lebar, sementara cangkir yang berukuran lebih kecil, dengan motif bunga berwarna merah di sisi lainnya. Aturan yang tak pernah berubah. Dan sepertinya akan selalu sama, selama orang yang menyiapkan semua ini masih setia berkutat dengan kerepotan ini setiap pagi.
Ayah! Dengan cepat kutangkap tubuh besarnya di sana. Asyik menggoyang-goyangkan sebuah pan kecil di atas kompor yang menyala. Pancake lagi, gumamku dalam hati. Kutarik kursi meja makan pelan-pelan. Menjatuhkan tubuhku dengan lembut. Berarti untuk ke tiga kalinya dalam seminggu ini, Ayah membuatkan makanan padat gizi itu untuk menu sarapan pagi kami. Kalau dihitung, mungkin sudah ratusan kali jenis makanan yang sama itu tersaji di atas meja ini. Walaupun bosan, aku tidak pernah protes. Karena aku tahu, hanya itu yang bisa Ayah sajikan, selain nasi goreng terasi, telur mata sapi, atau kadang-kadang roti isi. Setiap pagi, hanya berganti hari.
Kulirik cangkir yang masih kosong di hadapanku. Menuang cairan coklat bening dari teko kaca ke dalam cangkir. Aroma chamomile langsung menyeruak lembut bersama asap halus yang mengepul di permukaan. Menggelitik indera penciumanku. Untunglah, selalu tersedia satu teko kecil teh chamomile sebagai penawar kebosanan. Teh racikan Ayah yang selalu terasa pas dan nikmat di lidah. Secangkir teh yang kini kuseruput pelan-pelan, sambil terus memperhatikan lelaki yang belum juga menyadari kehadiranku, di depan sana. Duduk manis di kursi tanpa berniat menghampirinya. Membiarkan tubuh besar dengan kaus oblong putih yang sedang membelakangiku itu berkutat dengan aktivitasnya. Ayah tak pernah ingin diganggu. Apalagi dibantu. Menyiapkan sarapan pagi seperti minum suplemen baginya. Sesuatu yang membuatnya bersemangat, mengantarku menuju rutinitas di pagi hari dengan senyuman.
Hampir enam belas tahun. Sejak pertama kali kakiku dan Ayah menginjak rumput dan ilalang liar yang tumbuh subur di halaman depan, dan sarang laba-laba di langit-langit ruang tamu yang lembab menyambut kehadiran kami dengan ramah. Aku sadar, hidup tidak akan pernah sama lagi bagi kami. Rumah tua ini menjadi saksi, betapa perubahan itu pelan-pelan beradaptasi. Mengarus dalam kehidupanku dan Ayah. Setiap detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun, sampai akhirnya semua berlalu dan menjadi terbiasa.
Setiap pagi, ketukan lembut di pintu kamar terdengar seiring kumandang azan subuh dari masjid di ujung gang. Weker pagiku yang tak pernah absen berbunyi. Jadwal bangun pagi yang tak bisa di tunda-tunda lagi. Karena Ayah, pasti akan terus menungguku dengan setia di sebuah ruangan kecil di sudut rumah, sampai tubuhku yang masih terkantuk-kantuk, kadang berjalan sempoyongan, menghampirinya. Melakukan shalat Subuh bersama, seiring terbitnya fajar di timur bumi.
Kemudian…, ada debu-debu yang siap di sapu. Seprai dan selimut di kamar yang harus dirapikan. Bunga-bunga di halaman yang menunggu disiram. Sementara Ayah, mengumpulkan pakaian kotor dalam keranjang, untuk dibawa ke kamar mandi belakang. Memasukkan pakaian-pakaian itu ke dalam mesin cuci dengan campuran beberapa sendok bubuk detergen. Setelah menekan sebuah tombol, benda itu lalu ditinggalkan. Dibiarkan mesin itu bekerja sendiri. Ada dapur yang hangat memangil-manggil tak sabar, menunggunya untuk segera menyeduh satu teko kecil teh chamomile kesukaanku dan menyiapkan sarapan pagi andalannya. Berburu waktu dengan jadwalku berangkat meninggalkan rumah. Meninggalkannya sendirian berkutat dengan hewan-hewan di sebuah ruangan berukuran delapan kali enam.
Klinik Hewan kecil di salah satu sudut rumahku. Ada beberapa hewan peliharaan yang dititipkan pemiliknya untuk disembuhkan, dan beberapa hewan liar yang ditemukan Ayah di jalanan yang membutuhkan perawatan intensif, sebelum nantinya dikembalikan lagi ke habitat aslinya. Sebagai seorang dokter hewan tempat itulah yang membuat Ayah betah.
Begitulah caraku dan Ayah menghidupkan nyala rumah tua ini menjadi hangat dan nyaman untuk ditinggali selama bertahun-tahun. Mengetahui porsi dan tugas masing-masing tanpa harus saling mengingatkan lagi. Menyadari kebersamaan menjadi indah dengan hal-hal kecil yang dijalani dengan keikhlasan penuh. Karena Ayah, selalu mengajariku untuk menikmati setiap prosesnya. Menghargai setiap tetesan keringat tanpa pernah mengeluh. Sekecil apa pun pencapaian itu. Menjalani tanpa pernah tergantung pada orang lain, selain dirinya.
Ting. Sendok kecil di genggamanku terjatuh di atas meja. Ayah memalingkan wajah.
”Hei…, kamu sudah di sini, Rea!” ucap Ayah sedikit kaget. Namun hanya sesaat bias keterkejutan itu tergambar di wajahnya. Matanya kembali fokus pada isi pan di hadapannya. Memastikan pancake terakhir yang dimasaknya sudah matang dengan sempurna. Dimatikannya nyala kompor. Menuang pancake di piring, mengoleskan cairan berwarna coklat kental di atasnya. ”Hari ini Ayah buatkan pancake stroberi kesukaanmu,” ucapnya sambil berjalan cepat ke arahku dengan piring di tangan yang masih mengepulkan asap halus dipermukaan.
Hampir 16 tahun. Sejak pertama kali kakiku dan Ayah menginjak rumput dan ilalang liar yang tumbuh subur di halaman depan, dan sarang laba-laba di langit-langit ruang tamu yang lembab menyambut kehadiran kami dengan ramah. Aku sadar, hidup tidak akan pernah sama lagi bagi kami. Rumah tua ini menjadi saksi, betapa perubahan itu pelan-pelan beradaptasi. Mengarus dalam kehidupanku dan Ayah.
”Oh ya. Pakai madu juga, kan, Yah?” tanyaku. Berpura-pura senang.
”Iya…!” Ayah mengangguk. ”Mana mungkin Ayah lupa.” Alisnya terangkat bangga. Diletakkannya piring itu di atas meja. Aroma manis dan hangat langsung menyeruak. Cepat kutuang kembali teh chamomile dari teko ke cangkirku yang tinggal setengah agar kembali penuh. Ayah segera menarik kursi dan menjatuhkan tubuhnya di sana. Memulai sarapan pagi bersama.
”Bagaimana kondisi Messi, Yah?” tanyaku membuka obrolan sambil memotong pancake di piring pelan-pelan. ”Sudah tiga hari Rea selalu lembur di kantor dan pulang malam, jadi enggak sempat menjenguknya di klinik?”
”Luka-lukanya sudah mulai sembuh. Namun butuh waktu untuk mengajarinya kembali berjalan dengan kakinya yang patah satu.”
”Korban tabrak lari memang selalu membuat miris,” lirihku.
”Ya…, andai saja Ayah tahu siapa yang menabraknya dan membiarkan Messi sekarat begitu saja di jalanan!?” Ayah mengepalkan tangannya geram. Selalu saja ada emosi yang tersulut setiap Ayah mengingat peristiwa itu. Peristiwa yang mungkin sudah puluhan kali ditemuinya. Aku ingat empat minggu yang lalu, saat Ayah pulang dengan baju bersimbah darah, aku pikir terjadi sesuatu pada Ayah di perjalanan, membuatku langsung menjerit histeris saat melihatnya di depan pintu. Tapi, begitu Ayah membuka tangannya, dan seekor anak kucing yang sekarat merintih dalam dekapannya, kepanikanku berubah pilu. Lionel Messi, begitu nama yang disematkan Ayah pada kucing malang itu. ”Kelak jika kucing ini sembuh, Ayah akan mengajarinya berlari sekuat pemain sepak bola kesayangan Ayah itu, hingga dapat berkelit jika kejadian yang serupa menimpanya kembali, suatu hari nanti,” ucap Ayah Kala itu.
Ayah, dia bukan hanya seorang dokter hewan, tapi dia juga selalu membuatku bangga dengan caranya mencintai hewan-hewan itu. Seperti dia mencintaiku. Pelan-pelan bibirku tersenyum, sambil membawa potongan pancake ke mulutku.
”Ada rencana keluar rumah hari ini, Yah?” tanyaku lagi. Mengubah topik pembicaraan. Aku tidak ingin menyulut emosi Ayah di pagi yang cerah ini.
”Belum tahu.” Mata Ayah kini mengawang. Menatap lurus-lurus ke depan. Menembus jendela yang terbuka lebar di hadapannya. Posisi favoritnya di ruangan ini. Menatap halaman belakang sambil menyeruput pelan-pelan kopi hitam dengan tambahan satu sendok kecil gula dari cangkir coklat besar yang dibuatnya sendiri. ”Rumput-rumput di sana sudah mulai tinggi, padahal baru dua minggu yang lalu dipotong,” ucapnya lebih mirip gumaman.
”Jadwalnya, kan baru minggu depan, Yah.” Aku mengingatkan. Tinggal di rumah tua dengan halaman yang lumayan luas memang agak merepotkan. Aku hafal sekali jadwal Ayah bermain dengan alat pemotong rumput untuk membuat penutup tanah itu menjadi rata dan enak dilihat. Di minggu pertama, setiap bulan, biasanya rumput-rumput di halaman depan yang menjadi fokusnya. Minggu berikutnya, halaman samping yang mendapat perhatian. Seminggu kemudian, baru halaman belakang yang mendapat giliran. Begitu terus berulang-ulang, setiap minggunya, seperti sebuah ritual.
”Mungkin karena hujan yang sering turun beberapa minggu ini membuatnya cepat tinggi,” jawab Ayah dengan suara yang mengambang. ”Oh ya…,” Ayah seperti ingat sesuatu. Dia bangkit. Berjalan beberapa langkah menuju lemari kecil di sudut ruangan. ”Ayah sisakan beberapa potong roti unyil yang kamu bawa dari Bogor, tadi malam,” ucapnya sambil meletakkan kotak yang baru saja diambilnya dari dalam lemari di atas meja. ”Selesai mandi kamu tidur lelap sekali, Ayah jadi tidak tega untuk membangunkanmu.” Kini tubuh Ayah telah duduk kembali ke posisi semula.
Kulirik roti-roti kecil di dalam kotak. Menghitungnya dalam hati. Masih tersisa seperempat dari jumlah yang kubeli. Pasti Ayah makan dengan lahap tadi malam. Aku tersenyum, puas. Tak berniat mengomentari. Mulutku penuh isi.
”Hari ini kamu bisa pulang lebih cepat, Rea?” tanya Ayah tiba-tiba.
”Memangnya ada apa, Yah?”
”Kamu masih ingat, Om Geo?” Ayah melirikku sesaat.
”Om Geo?” Keningku langsung berkerut kencang.
”Teman Ayah yang dulu sering datang dan membuatkanmu kapal-kapalan dari kertas.” Ayah diam sesaat. ”Di tempat tinggal kita yang dulu,” lanjut Ayah pelan, terdengar berat.
Kutelan kunyahan terakhirku dengan cepat. Menatap Ayah tajam. Jarang sekali Ayah menyinggung hal ini. Menceritakan tentang rumah yang kami tinggali dulu, di tepi pantai berarti membuka kembali ingatan pada sosok wanita yang telah meninggalkanku dan Ayah senja itu di tepi dermaga, pergi menggunakan kapal motor dengan seorang lelaki berkemeja putih.
Ayah balik menatapku. Namun, beberapa detik kemudian, ”Ah…, kamu masih terlalu kecil untuk mengingat semua itu,” tandasnya. Menyeruput kembali kopi hitam di cangkirnya. Seperti tak ingin membahas masa lalu itu. ”Selama ini dia tinggal di sebuah pulau kecil di selatan Papua. Orangnya rada nyentrik. Hobi bertualang.”
”Seperti Ayah dulu?”
”Iya. Sebelum ada kamu.”
Ada kenangan yang terselip dalam senyumannya yang berubah getir. Sebuah nostalgia yang belum juga pudar di wajah Ayah setiap mengingat perjalanan demi perjalanannya dulu. Cerita yang selalu menjadi pengantar tidurku di waktu kecil. Tapi sudah lama tidak pernah kudengar lagi seiring bertambahnya umur. Tentang kisah penyusurannya di tiga rangkaian sungai di hutan tropis yang masih perawan. Pertemuannya dengan seekor kucing emas yang hampir menjadi mitos tapi berhasil dijumpai sedang memanjat dengan ekornya, melesat bagai terbang di hutan Argentina, atau kisah mengharukan saat Ayah dan timnya tersesat di dinginnya salju Antartika, hingga menewaskan dua orang rekannya. Puluhan kisah petualangan Ayah yang dulu selalu menjadi cerita pengantar tidurku diam-diam membuatku memendam keinginan untuk menjelajahi setiap tempat yang pernah diceritakan Ayah, dengan satu tujuan, mencari wanita yang harusnya kupanggil Ibu. Di mana dia? Apakah dia tidak pernah merindukanku? ”Huh...,” kuhela napas pelan agar tak terdengar sampai ke telinga Ayah. Menekan tangan di dada kuat-kuat. Entah kenapa, dadaku selalu saja sesak setiap mengingat keinginan ini. Sebuah keinginan yang tidak bisa kuceritakan kepada siapa pun, terutama Ayah.
”Dua hari yang lalu, Om Geo ke Bandung,” lanjut Ayah lagi. “Tadi malam dia menelepon Ayah dan mengatakan akan ke Jakarta hari ini, ada keperluan dan ingin mampir ke rumah kita. Katanya kangen denganmu. Hampir enam belas tahun tidak pernah bertemu. Ingin tahu seperti apa wajahmu sekarang.”
Sepertinya lelaki yang bernama Geo itu bukan sekadar teman biasa bagi Ayah dan mungkin juga Ibu. Apakah lelaki itu tahu kenapa dan ke mana perginya Ibu? Tanyaku dalam hati.
”Akan Rea usahakan, Yah,” jawabku kemudian. Menyimpan rasa penasaran di hati. Ingin tahu seperti apa wajah orang yang dulu sering membuatkanku kapal-kapalan dari kertas. Otakku masih terus berusaha mengingat kapan peristiwa itu terjadi.
”Kalau begitu, nanti sore sekalian Ayah jemput kamu di kantor, sepulang dari belanja mingguan di swalayan. Isi kulkas mulai menipis. Bumbu-bumbu di dapur mulai habis. Detergen, sabun, pembersih lantai juga sudah tinggal sedikit. Sekalian membeli beberapa makanan ringan untuk menyambut Om Geo yang….”
”Yah...,” potongku cepat. ”Sudah waktunya pekerjaan itu Ayah delegasikan. Biar Rea yang melakukannya.”
”Waktu Ayah lebih banyak daripada kamu, Rea....”
”Semuanya bisa diatur, Yah.”
”Pekerjaanmu sebagai jurnalis sangat menyita waktu. Tenang saja! Ini bukan beban. Sudah bertahun-tahun, dan Ayah senang melakukannya.”
”Iya…, tapi sudah waktunya Ayah berhenti mendorong-dorong troli.”
”Ha-ha-ha…,” Ayah malah tergelak. ”Apa Ayah sudah terlihat payah?”
”Bukan! Tapi ada Rea yang lebih pantas melakukan pekerjaan itu. Anak gadis Ayah!” Aku mengingatkan.
”Dari dulu kamu memang gadis kecil ayah, Rea.” Tawa ayah semakin keras. Membuat janggut panjangnya bergerak-gerak menyapu dada.
”Dua puluh dua tahun, Yah! Rea bukan gadis kecil lagi,” protesku cepat. Mendadak tawa Ayah punah. Ayah menatapku lemah. ”Ini hanya masalah waktu!” Kutatap balik mata itu memohon pengertiannya. ”Yah, ada tanggung jawab yang pelan-pelan ikut bergeser seiring bertambahnya umur, dan Rea ingin menempati posisi itu dengan tepat,” jelasku, hati-hati sekali. ”Biarkan porsi tanggung jawab itu berpindah tempat agar Ayah bisa sedikit santai.”
”Jangan buat Ayah jadi enggak berarti di rumah ini, Rea.” Ekspresi wajah Ayah mulai tak senang.
”Bukan…, bukan begitu maksudnya… ”Gelagat Ayah mulai resah. Aku jadi bingung memilih kata. Lama kami saling berpandangan. Berkutat dalam ruang pikiran masing-masing. Namun beberapa detik kemudian.
”Sudahlah, biar semua tetap seperti ini,” tandas Ayah cepat. ”Selama Ayah masih mampu mengurusi semua keperluanmu. Mengurusi rumah ini. Tidak ada yang akan berubah.” Ayah memutuskan. Mengusap tato bertuliskan namaku di lengan kanannya, berulang-ulang. Tanda dia tak ingin dibantah.
Baca juga: Tiga Fragmen Kucing
Aku mengalah. Begitulah Ayah. Kalau dia sudah memutuskan, tidak ada yang bisa mengubahnya. Apa pun itu. Keras kepala, desisku pelan. Kusendok pancake terakhir di piring dan membawanya masuk ke dalam mulut. Menguyah kembali sambil memandangi wajah Ayah. Menyusuri setiap keriput yang mulai menggaris tajam di tekstur wajah laki-lakinya yang tegas. Memandangi uban yang mulai ramai mewarnai rambutnya yang sudah lama tak dipangkas. Menatap mata elangnya yang mulai terlihat lelah. Tapi, ada satu hal yang belum juga menyusut di dalam dirinya, walau usia pelan-pelan mulai meranggaskan raga. Perhatiannya, begitu lumer dan cair padaku. Memperlakukanku seperti gadis kecil yang butuh perhatiannya dua puluh empat jam, penuh. Tatapanku berubah haru.
Teng-tengt-teng…, jam dinding di ruang tengah berdentang. Kuseruput teh chamomile terakhir di dalam cangkir dengan cepat. Waktunya meninggalkan kursi meja makan. Aku bangkit. Menghampiri Ayah. Mengambil tangannya dan membawanya ke keningku.
”Rea berangkat Yah.”
”Ya... Hati-hati di jalan,” balasnya, sambil mengusap kepalaku lembut. Aku mengangguk. Baru saja aku akan membalikkan badan. Suara Ayah terdengar lagi.
”Rea…, tunggu sebentar!” Seperti ingat sesuatu, tubuh besar Ayah dengan cepat menghilang di balik pintu, kemudian kembali dengan membawa sesuatu di tangan.
”Sudah mulai musim hujan, jangan lupa sedia payung di dalam tas,” ucapnya sambil menyerahkan sebuah payung berwarna ungu muda kepadaku, kemudian sebuah syal berwarna putih tulang dikalungkan ayah ke leherku.
Aku tersenyum. Ayah…, Ayah…, beginilah kerepotan dan kekhawatirannya setiap menghantarku pergi. Perhatiannya seperti sayap elang yang selalu melindungiku, walaupun tubuh ini jauh dan tak tertangkap di penglihatannya. Sejak melepasku pergi dengan seragam putih merah di hari pertama sekolah, sampai sekarang, saat gadis kecilnya sudah tumbuh dewasa dan bisa mencari uang sendiri. Ada saja yang diingatkannya. Sampai-sampai aku hafal hampir di setiap katanya. Aku membalikkan badan. Melangkah pelan. Memainkan jari tangan. Menghitung dalam hati.
Satu…, dua…, ti…
”Aurea, jangan telat makan siang! Nanti maag kamu kambuh lagi.” Tepat di hitungan ketiga suara bariton itu terdengar lagi.
***
Triana Rahayu lahir di Langsa dan kini berdomisili di Bogor. Alumnus Institut Pertanian Bogor. Karyanya telah terbit di sejumlah media cetak dan daring, seperti: majalah Femina, majalah Kartini, tabloid Nova, koran Media Indonesia dan lainnya.