Wabah
Di pinggiran jalan sudah semakin seram. Tak ada orang-orang yang dia temui, selain ada semacam debu yang menyelinap dalam darah melalui pori-porinya.
Dalam perjalanan, Anapati Sutardi beberapa kali membatin ketakutan. Rasanya ada semacam angin menyelinap tanpa permisi dalam pori-porinnya. Terdengar di gendang telinganya ketika lelaki bermata coklat itu pelan-pelan melangkah menuju kedai kopi seperti ada semacam suara alien anonim yang memanggilnya dari kejauhan. Isi tempurung kepalanya mulai berpikir lebih cepat. Bulu kuduknya sempat berdiri serentak sebab ketakutannya hanya satu; mungkin ada seorang penjahat bermata hitam kebiruan sedang menguntitnya. Secara sengaja dia membiarkan langkah kakinya melambat. Entakan kakinya dalam ketakutan hingga sampai di tempat yang teramat sepi. Hatinya semakin merasa gentar seakan ada taring binatang jalang yang menerkam punggungnya.
Serentak ia menoleh ke arah angin barat di belakangnya, tetapi tetap sama saja tak ada sesuatu yang aneh menguntitnya. Hanya ada beberapa bongkahan bebatuan dan genangan air pada kubangan yang dilihatnya.
Di pinggiran jalan sudah semakin seram. Tak ada orang-orang yang dia temui, selain ada semacam debu yang menyelinap dalam darah melalui pori-porinya. Awalnya debu itu mengepul seperti asap rokok, kemudian menempel erat pada kulit hidungnya hingga menggedor sel bagian dalam nadinya. Dalam entakan kaki nan lambat yang kesekian kalinya ia mengingat lagi alur cerita Ibu Sarite. Ibu Sarite pernah bilang, di daerah sekitaran sini sudah terlalu sering orang-orang mengalami nasib buruk karena terjangkit penyakit yang sangat menyeramkan. Ada yang mengira, mungkin karena takdir garis tangan yang membelokkan jalan kehidupan sehingga kadang satu, dua atau tiga orang yang meninggal dalam hitungan hari. Penyakit itu mereka sebut wabah musiman. Setelah terkena wabah, secara tragis orang-orang merasa kembung, mual dan bahkan muntah darah. Cara kerja penyakit itu menyerang organ dalam.
Anapati mengira, mungkin orang yang menguntitnya adalah arwah-arwah dari mereka yang telah meninggal. Kematian orang-orang di sini tak terkecuali karena wabah yang tak pernah tahu asal usulnya. Entah wabah itu mulai beranak pinak dari permulaan nenek moyang Pithecanthropus erectus atau hanya belakangan beberapa bulan terakhir. Orang-orang di sini masih bingung terkait kehadiran wabah itu. Ciri-cirinya hampir sama seperti penyakit cacar air, batuk, dan gatal pada rongga tenggorokan. Bedanya wabah asing yang satu ini tak tahu asalnya. Entah dari timur ataukah dari barat? Intinya, ia tercampur aduk jadi satu resep menuju pintu kematian. Terkesan sangat aneh, bukan?
Ketika hampir tiba di depan kedai kopi, Anapati merasa heran melihat lelaki tua di belakangnya. Tanpa sengaja ia menoleh sehingga lelaki tua itu tidak mempunyai cara lain untuk menghilang lagi. Padahal, orang yang mengntitnya dari tadi adalah pria berbadan kumal itu. Sekitar sepuluh meter jarak dengannya. Sebelum sampai di kedai, sorotan matanya lebih dulu tertuju pada seorang Anapati. Saraf dalam otak Anapati ketika melihat lelaki itu sama sekali tak mengingat tampangnya.
Sekilas Anapati melihat secara saksama. Lelaki tua santai duduk dengan kaki menyilang sambil mengayun jemari. Di telapak tangannya ada semacam kotak mungil yang hampir lusuh. Di pergelangan tangannya ada gelang berwarna merah jambu.
”Siapa itu, Ibu Sarite?” tanyanya sembari arahkan jari telunjuk ke lelaki tua itu. Ada rasa aneh ketika Anapati melihat batang hidung lelaki anonim yang santai duduk di dekat kubangan lalat itu. Raut wajahnya mencurigakan. Tak seperti kebanyakan pemulung atau pengemis yang berkeliaran di daerah itu. Secara diam-diam ia menatapnya lagi. Tak lama kemudian dalam sekejap lelaki itu menghilang tanpa sebab. Entah kenapa ia pergi dari tempatnya itu.
”Ohh, itu Mas Suprito. Dia pemulung sekitaran sini. Belakangan ini kerjaannya hanya mengemis saja. Yah, karena alasan sering sakit gara-gara unjuk rasa di depan gedung Cempaka Biru. Dia juga pernah terkena wabah. Itu makanya ia tak punya pilihan lain selain mengemis.”
”Aneh, penampilannya sangat unik,” ujarnya sambil meggaruk kening, ”pantas dia sering duduk di sana?”
”Tempat itu memang lokasi kesukaan Suprito. Kadang kalau ketemu momen sial, Ibu Sari telah yang memberinya makanan. Hitung-hitung sedekah dari kekurangan itu jauh lebih ikhlas. Dulu sebelum mengemis, Suprito sering menjual hasil kerajinan tangan orang-orang dari kampungnya. Kini pekerjaan seperti itu justru dilupakannya.”
Ibu Sarite sudah setia menjelaskan panjang lebar tentang nasib pengemis yang dilihatnya tadi. Pada titik akhir penjelasannya Ibu Sarite segera menyodorkan secangkir kopi buatannya di atas meja Anapati. Saking nafsu ingin minum, mulut Anapati terjebak kepanasan dalam cangkir. Lidahnya ikut merasa kejang sebab panasnya tak tertahankan sehingga sedikit tercipta percikan air kopi yang ia ludahkan ke kolong meja. Sementara itu, Ibu Sarite tertawa sampai terpingkal-pingkal. Anapati mendelik, tapi Ibu Sarite justru tertawa terus sambung-menyambung jadi lebih gempar.
Tempat itu memang lokasi kesukaan Suprito. Kadang kalau ketemu momen sial, Ibu Sari telah yang memberinya makanan. Hitung-hitung sedekah dari kekurangan itu jauh lebih ikhlas. Dulu sebelum mengemis, Suprito sering menjual hasil kerajinan tangan orang-orang dari kampungnya. Kini pekerjaan seperti itu justru dilupakannya.
”Ah, terlalu panas, Bu Sarite.”
”Hati-hati Mas.”
Setelah selesai minum Anapati sempat mendengar dentingan bunyi yang teramat aneh bagi kupingnya. Ia menengok sumber bunyi yang semakin menggedor nadinya. Awalnya bunyi itu kecil saja. Lama-kelamaan terdengar semakin membesar. Kalau ditebak, mungkin bunyi itu hasil dari perpaduan antara dua batu kecil dengan sebilah besi purba. Kedengarannya tidak terlalu jauh dari hiruk-pikuk keramaian orang-orang di pasar. Anapati yang sedari tadi duduk minum segera berjalan mencari asal usul bunyi itu. Tanpa banyak ceramah segera ia sodorkan uang lima ribu rupiah ke tangan Ibu Sarite. Harga kopinya memang hanya begitu.
Anapati semakin penasaran ketika mendengar lagi suara itu. Semakin dekat, bunyi itu terdengar semakin jelas dalam gendang telingganya. Dalam sekejap bunyi itu berubah total. Bunyi itu bukan lagi perpaduan batu seperti tadi, tapi seperti benturan kelereng kecil dalam kaleng mungil. Di antara kain kumal pembatas tenda jualan buah-buahan dan sayur-sayuran ia melihat lagi raut wajah Suprito. Lelaki itu sedang duduk bersilang kaki dan beralas tikar di samping tembok. Dilihatnya sepasang jemari yang sedang mengais upah dari orang-orang yang sedang lewat di situ.
”Sungguh malang nasib pengemis itu.” Anapati membatin lagi.
Anapati perhatikan secara serius ketika lelaki tua itu mengusap keringat di keningnya dengan telapak tangannya yang hampir lepuh. Dari balik bajunya Suprito keluarkan kotak mungil plastiknya yang teramat kumal. Isinya beberapa uang receh. Segera ia tuangkan ke lantai penuh debu itu. Dihitungnya secara pelan-pelan. Semuanya berjumlah sepuluh ribu rupiah. Mungkin tidak cukup untuk makan malam sebab ia belum makan siang. Penghasilan itu tak seperti hari-hari sebelumnya. Setelah ia sibuk menghitung uang hasilnya itu Anapati perlahan mendekat.
”Selamat pagi Pak. Hanya ini yang saya punya.”
”Terima kasih, tuan.”
”Sama-sama Pak.”
Anapati turut merasa iba dengan Suprito. Selain karena rasa iba ia juga merasa heran ketika melihat di beberapa lekukan tembok bagian samping raganya ada beberapa coretan lepas. Tulisan-tulisan itu tercipta dari arang. Ia kira puisi dari penulis lepas atau larik dari sebuah puisi tanpa nama. Entahlah, Anapati tak tahu pasti apakah pengemis juga menyukai jagat sastra. Yang jelas beberapa di antara kalimat itu sempat dibaca dalam hati oleh Anapati.
”Biarkanlah kami mati seperti binatang jalang,” ”Tuhan… dengarkanlah jeritan kami,” ”mampir dalam dunia, mati dalam usia,” ”bukalah mata hati kami kemudian dengarkan suara dari mulut kami!” Satu baris beberapa kalimat lepas itu hampir kusam tertutup debu. Secara pelan Anapati mendekat kemudian mengusap tembok itu dengan telapak tangannya. Ia sempat tertegun membacanya. Tulisan itu bernada; ”Manusia lebih mudah mengingat alur kematian dari pada kehilangan bagian jasadnya.”
Apa maksud semua rentetan aksara pada tembok itu? Pelan-pelan Anapati menimbang dalam nalar. Sama saja hasilnya tak kunjung dapat. Mungkin realitas hidup para pemgemis itu adalah jawaban yang mutlak benar. Sejenak Anapati jeda berpikir, kemudian menengok diri lebih dalam pada dirinya dan menatap cakrawala ini lebih jauh. Tak lama kemudian ia pergi dari hadapannya dan membawa beberapa butir pengalaman yang dijumpainya.
”Aku semakin penasaran dengan lelaki tua itu, Bu Sarite?” Sentil Anapati.
”Oh, Mas Suprito. Sosoknya biasa saja, bahkan teramat sederhana. Ciri khasnya itu tak terlupakan; rambut ikal, badan kumal dan selalu membunyikan kaleng kecilnya. Dia adalah penulis pendiam hampir mirip tokoh-tokoh dalam cerpen dan novelnya yang santun dan lurus hati.
”Apa? Lelaki tua itu penulis, Ibu Sarite?”
”Ia Mas. Nama Suprito memang tak terlalu menonjol dalam perbincangan mengenai sastra Indonesia. Setelah begitu produktif awal tahun 90-an, karya-karyanya banyak tercecer di berbagai publikasi koran. Tak ada yang tahu pasti seberapa banyak ia menghasilkan karya sastra. Informasi yang saya dapat dari beberapa jurnalis ternama, Suprito telah menghasilkan 2 novel, 110 cerpen, 50 puisi dan dua nukilan tokoh dunia. Karya-karyanya boleh dikata digenangi semangat realisme sosial, penuh pembelaan kaum tersisih dan sudut pandang yang unik.” Jelas Bu sarite panjang lebar, sedangkan Anapati justru menggeleng kepala.
Baca Juga: Rezeki Dalam Sekotak Nasi
”Kalau beitu, kenapa dia memilih jadi pengemis?”
”Dokter bilang Mas Suprito juga terkena wabah. Setelah sang kekasih dan buah hartinya meninggal Mas Suprito mulai stres dan hidupnya tidak jelas lagi. Ia sudah lama dilepaspisahkan oleh istrinya. Bukan karena persoalan tidak setia sehingga ia hidup seorang diri, tapi takdir maut yang memisahkan mereka. Wabah itulah yang memisahkan mereka. Ia percaya kalau kaleng kecil dan kotak kumal itu adalah istri dan anaknya sendiri. Meski bunyi kalengnya tak semerdu nyanyian para pujangga, tapi ia tetap berniat membunyikan benda-benda itu berulang-ulang. Dengan mengemis ia bisa mengulur ajalnya.”
***
Philip Jehadom adalah mahasiswa program filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero. Ia lahir pada 25 Mei 1999. Dia sangat suka menulis dan aktif memublikasi artikel opini, cerpen, dan puisi di media massa.