Dongeng Tanah Rantau
Berbekal ijazah SMA dan tentu saja kenekatan. Kenekatan yang tak berdasar. Aku memutuskan untuk mengadu nasib di ibu kota Jakarta.
Kupandangi kamar berukuran kecil ini. Bau pengap terasa menggelitik di hidung. Hanya secuil jendela tampak menghias di sudut kamar. Kecil, hingga cahaya pun enggan masuk menyapa. Aku pun terduduk penuh tanya. Mungkin akan kuhabiskan hari-hariku di sini. Bersama muramnya dinding rumah yang mulai mengelupas termakan usia. Semoga apa yang menjadi pilihanku kini tak berubah menjadi simalakama. Entahlah, lihat saja apa yang akan terjadi esok.
Sebuah pilihan dan tentu saja spekulatif sekali. Inilah yang kuputuskan selepas tamat SMA. Berbekal ijazah SMA dan tentu saja kenekatan. Kenekatan yang tak berdasar. Aku memutuskan untuk mengadu nasib di ibu kota Jakarta. Ya, sudah kuputuskan untuk datang ke tanah rantau ini. Sungguh, ini adalah sebuah perjudian. Kalau berhasil dan sukses, kupikir bisa menyisihkan beberapa rupiah untuk ibuku di kampung. Kalau pun gagal, aku cukup kembali ke kampung. Aku hanya berpikir sebatas itu. Tak pernah terpikir hal lain dalam kepalaku. Pemikiran naif dari pemuda 18 tahun yang baru kemarin sore menata mimpi.
Tentu saja keputusanku ini tak kubuat atas inisiatif pribadi. Para perantau yang ada di kampungku menjadi alasan mengapa aku pergi ke ibu kota. Tiap Lebaran tiba, aku merasa kagum dengan segala kemewahan yang mereka bawa. Mereka berduyun-duyun datang, tampak gagah dengan tunggangan masing-masing. Mobil-mobil tampak mengilap berjejer di halaman rumah mereka. Aku kagum dengan kesuksesan mereka di tanah rantau.
Sering kali para perantau ini membagikan amplop dan bingkisan sembako kepada tetangga di kampung. Semakin menasbihkan diri mereka sebagai orang yang sukses dan tajir. Terkhusus salah seorang dari mereka yang biasa kupanggil Pakde Parjo. Aku sampai tak bisa menghitung berapa sawah, tanah, dan kontrakan yang dimilikinya. Rasa-rasanya ialah yang paling kaya di antara tetanggaku yang menjadi perantau, sekaligus paling dihormati oleh mereka.
Aku mendengar bahwa Pakde Parjolah yang pertama kali merantau. Setelah terhitung sukses, ia mengajak warga yang lain untuk ikut ke tanah rantau bersamanya. Mungkin istilah keren saat ini Pakde Parjo adalah mentor untuk warga yang lain. Terbukti, warga yang ikut dengannya ketularan sukses. Satu tahun di tanah rantau, mereka pulang ke kampung tiap lebaran. Petentang-petenteng menampakkan keberhasilan mereka. Begitu konon katanya, dan kabar itu pun menyebar begitu saja. Warga perantau pun menjelma menjadi koloni di tanah rantau saking banyaknya.
Kesuksesan Pakde Parjo dan warga lainnyalah yang memotivasi diriku pergi ke tanah rantau. Percakapanku sore itu dengan Pakde Parjo mengalir begitu saja. Semakin menambah api dalam diriku untuk segera pergi ke tanah rantau. Pakde Parjo bilang aku tak perlu khawatir, ialah yang akan menjamin diriku di sana. Sontak perkataannya membuat diriku semakin terlena.
Aku segera pulang ke rumah. Kutemui Bapak dan Ibu yang saat itu sedang bersantai di teras rumah. Secangkir teh yang masih mengepul terhidang di meja. Mungkin mereka sedang melepas penat selepas bekerja di sawah. Tanpa basa-basi, kuutarakan keinginanku. Kata-kata meluncur dari mulutku.
”Pak, Bu, aku ingin ikut Pakde Parjo ke Jakarta.”
”Maksud kamu itu apa Ji?” Bapak tampak kebingungan dengan perkataanku yang tiba-tiba.
”Aji akan merantau Pak, seperti Pakde Parjo dan tetangga yang lain.”
”Apa kamu sudah yakin? Mau kerja apa kamu di sana?” Ibu ikut memastikan.
”Aji belum tahu mau kerja apa Bu, namun Pakde Parjo sudah janji. Ia akan menjamin Aji di sana.”
”Memang benar dia orang baik, walau begitu tetap saja Bapak khawatir. Sampai sekarang saja Bapak tak pernah tahu dia kerja apa di sana. Bapak hanya takut kamu kena masalah di sana.”
”Yang dibilang Bapakmu ada benarnya, kita tak punya sanak saudara di sana. Nanti kalau ada apa-apa denganmu bagaimana?”
”Tenang saja Bu, Aji sudah besar, sudah dewasa. Ibu dan Bapak tak perlu khawatir.”Perbincanganku dengan Bapak dan Ibu belum menemui titik terang. Kedua orangtuaku masih belum rela melepasku pergi ke tanah rantau. Saat ditanya alasannya, mereka selalu bilang kalau di sana belum tentu seindah yang kubayangkan. Walau demikian, aku tetap kukuh pada pilihan dan pendirianku. Berkali-kali kulontarkan bujuk dan rayu kepada mereka. Seperti batu yang terus ditetesi air, akhirnya keduanya pun luluh.
”Ingat, izin dari Bapak dan Ibu bukan keputusan akhir. Ibu mohon pikirkan kembali pilihan kamu Ji. Mantapkan hatimu. Jangan sampai menyesal di kemudian hari,” ibuku mengingatkanku kembali.
”Tenang saja Bu, Aji yakin dengan pilihan ini. Anakmu ini yakin bisa sukses di sana,” ucapku dengan optimis dan berapi-api.
”Iya, Bapak paham dengan cita-citamu itu. Namun, yang terlihat indah tak selamanya benar-benar indah Ji. Terkadang tak sesuai dengan nuranimu.”
”Sungguh, anakmu ini sudah yakin Pak,” ucapku dengan yakin.
Baca juga: Burung-burung yang Menghilang dari Kampung Kami
Restu telah kudapatkan, selepas Lebaran aku pun berangkat menuju tanah rantau di ibu kota Jakarta. Bersama dengan Pakde Parjo dan warga yang lain, aku pun menumpang rombongan mereka. Berbekal restu orangtua dan beberapa lembar uang dan pakaian aku memantapkan diri untuk mengadu nasib ke Ibu Kota. Masih teringat pesan Bapak di kepalaku dan terus teringang-ingang di sepanjang jalan.
”Tolong, jaga diri di sana. Cari kerja yang baik-baik, hasil sedikit tak apa asal dari sumber yang baik. Karena yang banyak belum tentu baik. Ingat pesan Bapak ini.”
Itulah pesan Bapak, tentu saja aku akan cari kerja yang baik. Pasti Pakde Parjo punya kenalan banyak di sana. Ia sudah janji kepadaku. Kalaupun belum dapat kerja, aku bisa kerja di tempatnya. Bukankah ia punya usaha yang mapan dan sukses.**
Perbincanganku dengan Bapak dan Ibu belum menemui titik terang. Kedua orangtuaku masih belum rela melepasku pergi ke tanah rantau. Saat ditanya alasannya, mereka selalu bilang kalau di sana belum tentu seindah yang kubayangkan.
Tampaknya harapan dan anganku mulai terkikis. Begitu sampai di Ibu Kota, aku mendapatkan kenyataan yang berbeda. Setiba di sini, aku digiring menuju permukiman kumuh. Tempatnya tak jauh dari pinggiran sungai yang mengaliri Ibu Kota. Aku kebingungan dalam diam, tempat ini beda jauh dengan kondisi kampungku. Sudah jelas, begitu Pakde Parjo dan warga lain membawaku ke permukiman ini, maka di sinilah aku akan tinggal dan singgah. Tiba-tiba aku teringat dengan suasana kampungku. Baru saja sampai, aku sudah rindu dengan suasananya.
Di kampung aku biasa menghirup udara segar dengan bebas. Namun, aku kesulitan menemukan hal yang sama di tempat ini. Rumah-rumah saling berdempetan, hanya sedikit yang punya ventilasi. Bahkan, jalan yang kulalui menuju tempat singgahku kurang dari 2 meter lebarnya. Kendaraan seperti motor dan sepeda pun akan kesulitan saat melewati permukiman ini.
Kuamati beberapa warganya sibuk mengumpulkan barang-barang bekas di depan rumah. Tak satu pun kutemui rumah dengan kondisi yang lebih layak. Kulihat rata-rata rumah di sini adalah bangunan semipermanen. Rumahku di kampung rasanya lebih layak dihuni daripada rumah-rumah yang ada di sini.
Aku semakin bertanya-tanya sepanjang perjalanan. Namun, tak berani keluar sepatah kata pun dari mulutku. Aku hanya bisa mengikuti rombongan Pakde Parjo dan warga yang lain dalam diam. Kusimpan pertanyaanku menunggu saat yang tepat untuk kulontarkan.
Rombongan kami pun berhenti, beberapa warga dari rombongan segera membubarkan diri. Mereka berpencar menuju petak-petak rumah milik mereka. Mungkin ini saatnya. Pertanyaan yang sedari tadi kusimpan mulai keluar dari mulutku.
”Pakde, tempat apa ini?”
”Tempat yang akan kamu tinggali selama di sini. Rumah di ujung sana, itu tempatmu.” jawab Pakde Parjo sambil menyulut rokok di mulutnya. Ia tampak santai menjawab pertanyaanku, awalnya kupikir ia akan tersinggung.
”Aku harus bayar sewa berapa Pakde?” tanyaku spontan begitu mendengar bahwa aku akan ikut tinggal di salah satu petak rumah yang ada di sini.
”Ha..., ha..., ha..., tak perlu memikirkan biaya sewa Ji. Tanah dan rumah yang ada di sini tak ada pemiliknya. Rumah yang kamu tinggali, dulu ditempati Aryo. Sekarang dia tak mau balik ke sini. Katanya mau pensiun saja dan tinggal di kampung.”
”Memang Mas Aryo kerja apa Pakde? Bagaimana bisa pensiun di usia muda?”
”Lucu sekali kamu ini Ji, besok kamu sendiri akan paham kerjanya apa. Kamu sendiri akan kerja seperti Aryo. Sekarang kamu istirahat saja dulu. Besok Pakde jelaskan apa pekerjaanmu,” jawab Pakde Parjo dengan misterius seraya meninggalkanku yang masih bertanya-tanya.
Jawaban Pakde Parjo semakin membuatku bingung, apalagi rumah yang kutinggali kini ternyata dulunya ditinggali Mas Aryo. Salah seorang warga kampungku yang dulunya ikut merantau bersama Pakde Parjo dan warga lainnya. Mas Aryo sendiri sudah beberapa tahun tak ikut kembali ke sini. Tiap ditanya ia selalu beralasan kalau tak bisa jauh dengan anak istrinya di kampung. Ketika disinggung tentang pekerjaannya di Jakarta, tak ada jawaban gamblang yang keluar dari mulutnya. Ia selalu menjawab jika usaha kecil-kecilan di kampung lebih baik daripada kerja di Jakarta walau penghasilannya lebih sedikit. Hingga saat ini pun, ia selalu mengalihkan pembicaraan saat ditanya tentang pengalaman kerjanya selama di Jakarta.
Ha..., ha..., ha..., tak perlu memikirkan biaya sewa Ji. Tanah dan rumah yang ada di sini tak ada pemiliknya. Rumah yang kamu tinggali, dulu ditempati Aryo. Sekarang dia tak mau balik ke sini. Katanya mau pensiun saja dan tinggal di kampung.
Mungkin inilah salah satu alasannya. Sekarang aku sedikit mengerti kegundahan Bapak dan Ibu. Bayangan indah yang awalnya kudamba perlahan mulai terkikis bersama diriku yang terlelap dalam rumah atau bisa saja kusebut dengan gubuk.
Keesokan harinya, begitu bangun aku langsung bersiap. Pakaian terbaik kukenakan, setelan kemeja biru dan celana hitam lengkap dengan sepatu kantoran menghias penampilanku pagi ini. Kusisir rambut sedemikian rupa agar nampak rapi. Tak lupa kusemprotkan minyak wangi di sekujur badan. Tampilanku pagi ini bak perlente.Saat asyik bersolek ria, terdengar ketukan pintu dari luar.
”Ji, sudah siap belum,” teriak Pakde Parjo dari luar.
”Sudah Pakde,” jawabku sambil membuka daun pintu rumah.
Pakde Parjo menatapku dengan penuh tanya. Matanya seolah menyelidik, mengamati diriku dari ujung kaki sampai ujung kepala. Ia pun tiba-tiba menanyakan hal yang membuatku semakin bingung.
”Kamu mau ke mana Ji? Rapi sekali.”
”Bukankah Pakde menyuruhku bersiap untuk kerja.”
”Ah..., rupanya begitu. Sepertinya aku lupa memberi tahumu ya. Pakaianmu ini tidak cocok untukmu. Coba ganti dengan ini. Kutunggu di luar saja.” ujar Pakde Parjo seraya menyerahkan sebungkus plastik hitam lalu keluar begitu saja tanpa penjelasan sambil menutup pintu rumah.
Begitu pintu tertutup, langsung kubuka saja bungkusan plastik hitam yang ada di tanganku. Aku terkejut dengan apa yang ada di dalamnya, sepotong kaus dan celana pendek yang tampak lusuh dan compang-camping. Aku semakin tidak mengerti dengan maksud Pakde Parjo. Walaupun begitu, tetap saja kukenakan pakaian pemberiannya karena aku ingin memastikan apa yang selama ini mengganjal di pikiranku. Semoga saja prasangka burukku tak menjadi kenyataan.
Selepas berganti pakaian, aku menemui Pakde Parjo yang sudah menungguku di depan. Ia tampak puas dengan penampilanku. Tanpa banyak penjelasan ia membawaku ke tempat kerja yang ia janjikan sedari awal. Kuturuti saja ke mana pun ia membawaku pergi. Sudah telanjur banyak hal yang mengganjal di hati dan pikiranku semenjak tiba di Ibu Kota. Aku akan memastikan semua prasangka dan hal yang mengganjal terjawab hari ini.
Baca juga: Doa Burung-burung
Ia membawaku dengan mengendarai mobil bak terbuka bersama warga lainnya. Sontak aku kembali dibuat berpikir keras dengan kenyataan yang ada. Warga lainnya berpakaian sama denganku. Pakaian lusuh dan compang-camping tampak melekat di tubuh mereka. Setelah memastikan semuanya lengkap, aku dan warga lainnya dibawa ke beberapa tempat. Satu demi satu diturunkan di tempat-tempat yang ramai, seperti taman, pasar, perempatan jalan, dan sejenisnya. Aku mulai menemukan jawaban yang kucari dari semua tanyaku.
Tersisa aku dan Pakde Parjo di mobil yang kutumpangi. Kebetulan aku duduk di bagian depan, terpisah dengan warga lainnya yang duduk di bagian belakang mobil. Sambil mengendarai mobil menuju tempat yang entah di mana, ia menyeletuk dalam hening.
”Melihat warga tadi, harusnya kau sudah menebak apa pekerjaanmu nanti.”
”Haruskah aku jadi peminta-minta dan mengemis seperti itu?” jawabku setengah menyindir.
”Ha..., ha..., ha.... Tenang saja, mengemis dan meminta-minta tidak akan membuatmu jadi kriminal dan penjahat. Kamu tidak akan dipenjara jika tertangkap petugas. Paling hanya diberi pembinaan, setelah itu ya bebas. Tidak akan ada hukuman.”
”Jadi, selama ini semua warga yang ikut Pakde kerja seperti ini?”
”Tentu saja, semua harta yang mereka hasilkan ya dari ini. Tidak perlu modal, artinya mereka tidak akan pernah menanggung rugi.”
Astaga, aku tidak akan mengira akan seperti ini. Seketika wajah Bapak dan Ibu di kampung membayangi diriku. Bagaimana bisa aku kerja dengan cara seperti ini. Sama saja aku membohongi orang lain. Rasanya aku tak sanggup memperkaya diri dengan cara yang memalukan. Aku teringat dengan perkataan Bapak sebelum pergi ke kota ini. Benar kata Bapak, yang tampak indah di luar tak selamanya benar-benar indah dan sesuai dengan nuraniku.
***
Ratna Nisrina Puspitasari, penulis asal Kauman, Blora, sekaligus pengajar Bahasa Indonesia di SMPN 1 Doplang, Kabupaten Blora. Pernah menulis antologi puisi bersama dengan judul Abra Katabra dan Pada Suatu Pagi yang Purba, Aku Melihat Dadamu Penuh dengan Puisi-Puisi yang Saling Berkejaran.