Doa Burung-burung
Cerita yang bisa saja kalian dengar dari burung-burung yang bercuit kala pagi hari di pekarangan rumahmu. Tentu saja kalian takkan bisa memahami bahasa kami. Raja Sulaiman tak mewariskan kemampuan itu kepada siapa pun.
Jika kalian pernah lewat ke dusun yang sekarang terkenal dengan sebutan Ringinjajar, kalian mungkin pernah mendengar cerita indah ini. Cerita yang bisa saja kalian dengar dari burung-burung yang bercuit kala pagi hari di pekarangan rumahmu. Tentu saja kalian takkan bisa memahami bahasa kami. Raja Sulaiman tak mewariskan kemampuan itu kepada siapa pun. Tapi, bahasa kebaikan selalu akan mudah dibaca dan dirasakan oleh siapa pun. Betapapun yang membawanya adalah rombongan burung-burung.
Cerita ini dimulai dari sebuah makam baru yang terletak hampir di pinggiran perkuburan itu. Diawali oleh seorang bocah lelaki yang sering mengunjungi makam ibunya.
”Aku akan selalu mengingat pesan-pesan ibu,” ujar bocah lelaki itu pada kunjungan pertamanya. Dalam suasana haru.
Pertama kali menemukannya, aku langsung merasa tertarik untuk terus mengikuti gerak-geriknya. Bukan lantaran ia selalu sendirian saat berkunjung ke makam itu. Entah mengapa di mataku dia terlihat menyenangkan dan memiliki tingkah laku yang takkan mudah dilupa. Dikumpulkannya aneka bunga cantik di perkuburan untuk kemudian ditaburkan di atas makam ibunya. Tak peduli rerumputan yang mempersembahkan untuknya.
”Ini adalah batu pertama yang kuhadiahkan padamu, Bu,” ujarnya, sambil meletakkan sebuah batu di sisi makam ibunya. Batu biasa, sejempol kaki orang dewasa. ”Hari ini aku sudah tidak menangisi kepergianmu lagi. Hari ini aku sudah tumbuh dewasa.”
Di kunjungan berikutnya, aku pun masih tertarik untuk terus mengawasi gerak-geriknya. Seperti terkena sihir. Atau barangkali lantaran efek empati kesamaan nasib. Aku pun ditinggalkan ibuku sejak pertama kali belajar terbang. Bukan ditinggalkan—mungkin lebih tepatnya seleksi alam. Ulah pemburu. Dan, aku bahkan kami tidak tahu bagaimana nasib ibuku kemudian. Bisa jadi saat itu ibuku sengaja mengumpankan diri agar si pemburu melewatkan sarang kami. Padahal, di sana masih ada aku seorang diri.
Oh, bocah malang itu membawa sepasang bibit pohon. Ditanamnya bibit tanaman itu di ujung kaki dan kepala makam ibunya. Mungkin untuk menandai agar makam mudah dilihat.
”Ini adalah batu kedua yang kuhadiahkan kepadamu, Bu,” ujarnya, sambil meletakkan sebuah batu (lagi) di sisi batu yang kemarin. Besarnya sama.
”Hari ini adalah hari pertama aku bekerja, Bu. Mulanya, aku ditolak di gudang meubelnya Kang Arif. Kamu masih kecil, bisa apa? katanya. Pabrik rotannya Pak Sono juga tidak mau menerimaku. Aku lalu minta pekerjaan ke Haji Nurdin. Syukurlah, beliau menerimaku untuk bekerja apa saja—sesuai kebisaanku apa di rumahnya,” ceritanya berhenti sejenak. Ia lalu meneruskan, ”Aku butuh makan, Bu. Butuh jajan juga. Biaya sekolah. Bukankah meminta-minta itu tak baik?” ujarnya kepada makam ibunya yang tak pernah menjawab. Seperti orang gila.
Oh, tidak-tidak. Aku pun dulu seperti itu. Sering berbicara dengan angin. Tak peduli akan ditanggapi seperti apa.
Lantaran tertarik sekaligus penasaran (atau bisa saja memang soal empati), aku pun menceritakan perihal bocah itu kepada teman-temanku. Salah satu temanku bilang, anak itu sebenarnya masih dilanda kesedihan. Itulah mengapa dia jadi bertingkah sedemikian rupa. Nanti, pada saatnya dia juga akan lupa dengan makam itu. Sebagaimana makam-makam lainnya yang ditelantarkan oleh keluarganya. Tapi, aku punya pendapat lain.
Aku sangat senang ketika hari-hari berikutnya masih bisa melihat kunjungannya. Seperti tak punya lelah. Seolah ibunya masih hidup. Dan seperti biasa, setelah menaburkan aneka bunga yang ia petik dan kumpulkan dari area pekuburan, ia menyambung barisan batu yang telah ia buat.
”Kemarin aku dituduh mencuri, Bu. Kecuali Haji Nurdin, hampir semua orang di rumah itu menuduhku. Tapi aku sungguh tidak mencuri, Bu. Jika aku mencuri, aku pasti akan sangat malu kepadamu. Untuk apa aku selalu menanam janji kepadamu kalau di luar sana aku khianati sendiri?”
Sepasang pohon yang ia tanam di ujung kepala dan kaki makam ibunya telah setinggi leher. Belum berbunga. Dan ia masih setia mengunjungi makam ibunya. Melihat daun-daunnya, aku yakin itu adalah pohon beringin. Aku tahu persis, lantaran pohon beringin termasuk tempat favorit kawanan kami. Kerindangannya amat cocok untuk meletakkan sarang. Kami juga sering berburu ulat di pohon beringin. Sesekali kami juga singgah di dahan sepasang pohon itu. Sekadar mampir untuk mencari dahan yang lebih tinggi dan rindang.
Lihat, dia masih mengunjungi makam ibunya, kataku kepada teman yang dulu pernah meragukannya. Pada sebuah kunjungan berikutnya, bocah lelaki yang telah beranjak remaja itu cerita bahwa ia telah keluar dari rumahnya Pak Haji Nurdin. Oya, pencuri yang pernah diceritakannya di sini waktu itu ternyata adalah pembantu Haji Nurdin yang baru setahun bekerja di sana. Setelah terbukti tidak bersalah, akhirnya dia malah dijadikan orang kepercayaan. Haji Nurdin memintanya untuk mengurus salah satu toko kelontongnya di pasar.
”Aku tidak dendam kepada siapa pun, Bu. Bukankah Tuhan sudah membalasnya?” ceritanya, sambil meletakkan sebuah batu lagi, melanjutkan barisan batu yang ia buat. Apakah batu-batu itu memang sengaja ia susun dengan maksud tertentu? O, aku semakin tertawan.
Dan setelah sepuluh tahun lewat, pemuda itu bercerita bahwa dia hendak memulai usahanya sendiri. Aku masih mengikutinya. Ada yang masih belum terjawab tentangnya.
”Aku ingin buka toko sendiri, Bu. Aku mau jual macam-macam olahan berbahan ayam,” ujarnya, di hadapan makam ibunya. Ditanamnya lagi sebuah batu di sisi makam, hingga bentuknya mulai terlihat. Rapi mengelilingi makam. Tapi kurasa, bukanlah keindahan semata tujuannya.
Tentu saja agar beda dengan makam yang lain, komentar temanku yang merasa rasa penasaranku terlalu berlebihan. Cinta buta memang berbahaya. Kesia-siaan pun dianggap ada guna, komentar temanku lagi. Aku kadung tak peduli.
Sayangnya, baru saja membalikkan badan, dua orang lelaki telah menunggunya di pintu pekuburan.
”Kami cuma mau bilang, pohon beringin di makam ibumu itu harus ditebang lantaran sudah terlalu besar,” ujar salah seorang lelaki itu. ”Coba kau lihat, bukankah makam ibumu justru hampir hilang?”
Kalimat terakhir lelaki itu tak sepenuhnya benar. Memang, beringin kembar itu telah membesar dan akan terlihat berdempetan saat diperhatikan dari kejauhan. Tapi mereka mengingkari adanya keajaiban akar-akar yang terbentuk sedemikian rupa hingga tak menutupi makam sepenuhnya. Area itulah yang dipenuhi batu-batu yang rutin ditanam. Tentu saja itu adalah hasil kerja pemuda kita.
”Mengapa harus ditebang? Bukankah lantaran pohon beringin itu, area permakaman justru menjadi teduh?”
”Kami hanya menjalankan perintah. Tadi para pengurus makam telah mengadakan rapat di masjid. Kami kemudian diutus untuk mengabarimu,” ujar lelaki yang satunya.
Tak bisa membantah. Wajah pemuda kita kentara sekali menyembunyikan kecewa. Tapi, yang sebenarnya terjadi bukan hanya dia yang kecewa. Kami justru paling bersedih. Pasalnya, beberapa tahun ini pohon beringin itu telah menjadi bagian dari kehidupan kami. Kami sering mencari makanan di situ. Beberapa dari kami juga telah membuat sarang di situ. Walhasil, kawanan kami menjadi gelisah.
Oh, kini aku mulai mengerti apa keistimewaan pemuda itu yang membuatmu jatuh cinta kepadanya, ujar temanku yang sudah sama-sama renta. Sebuah kesadaran yang hampir terlambat.
Dan, kami memang tak bisa berbuat apa-apa untuk menyelamatkan sepasang pohon itu. Pun anak-anak kami yang telah mendengarkan warisan cerita. Kami hanya bisa ramai-ramai berdoa, meniru ketabahan pemuda kita. Langit pun seperti turut bersedih. Sepanjang malam itu, hujan turun begitu deras sekali, tiada henti. Hujan yang seperti kesedihan menderu-deru.
Pagi harinya kami dikagetkan dengan sebuah kejadian luar biasa. Sehabis subuh, banjir bandang menyapu semua. Tanah lumer mengalir dari hulu dengan derasnya. Sebagian tanah pekuburan juga turut tersapu hingga hanya menyisakan separuhnya—tak jauh dari lokasi makam ibunda pemuda kita.
Baca Juga: Burung-burung yang Menghilang dari Kampung Kami
Dari kejauhan kami bisa melihat puluhan kerangka manusia yang turut tersapu banjir. Aliran lumpur mengalir deras menuju ke hilir. Dan akar sepasang pohon beringin yang saling melilit seperti ular itulah yang ternyata menahan tanah di sekitarnya sehingga tak turut tersapu banjir. Makam ibunda pemuda kita selamat.
Hari itu rupanya doa kami terkabul. Meski terjadi sebuah musibah, tapi rumah kami tak jadi atau mungkin tunda ditebang. Tanah pekuburan yang tinggal separuh itu akhirnya dibiarkan begitu saja. Rencananya, permakaman itu justru akan diperbaiki. Sementara dua beringin yang berjajar kemudian dikeramatkan dan dijadikan nama dusun. Konon, hal itu atas usul beberapa keluarga yang makam keluarganya terselamatkan.
Nasib puluhan kerangka hanyut yang berhasil diselamatkan dipindahkan ke permakaman baru di perbatasan desa. Hari berikutnya, kami pun masih bisa menjumpai pemuda kita yang masih rutin menziarahi makam ibundanya. Kami selalu bernyanyi riang saat melihat kedatangannya. Terutama anak-anakku, yang sudah kupersiapkan untuk menerima kepergianku yang sebentar lagi. Lihatlah selalu pemuda itu, nasihatku setiap waktu.
”Seperti yang pernah Ibu katakan kepadaku dulu, setiap perbuatan baik pasti akan mendapatkan balasan berlipat ganda. Aku meniru Haji Nurdin, Bu. Hari ini aku mengambil anak yatim yang mau membantuku kerja di toko,” cerita pemuda kita, sambil menanam sebuah batu lagi.
Batu yang ditanam rupanya telah genap melingkari makam sang ibunda. Makam itu jadi terlihat indah dan beda dari makam yang lain. Batu-batu menandai jumlah kunjungan, doa-doa, janji, sekaligus kepedulian.
Jika kalian kebetulan lewat dusun yang sekarang sering disebut Ringinjajar, cobalah mampir sejenak ke pemakaman itu. Siapa tahu kalian bisa bertemu dengan pemuda kita atau sekadar melihat keriuhan kami di antara rimbun dahan pohon beringin. Kami yang turut berdoa tiap kali melihat kedatangan pemuda saleh itu.
****
Cerpen ini merupakan versi “sastra” dari cerpen anak yang saya garap dengan judul serupa dan memenangi juara harapan di sebuah lomba.
*** Nur Hadi memiliki nama pena Adi Zam-Zam. Tahun 2002, beberapa cerpen dan puisi dipublikasikan di Bahana Sastra-nya RRI Pro II Semarang. Tahun 2004, menang juara harapan Lomba Menulis Cerpen Islami Majalah UMMI. Tahun 2009 dan 2010, dua buah cerpen menjadi karya favorit dalam LMCR memperebutkan LIP ICE Selsun Golden Award. Tahun 2010, masuk nominasi lomba cerpen Krakatau Award 2010. Tahun 2012, juara tiga Lomba Menulis Cerita Pendek Islami (LMCPI ke XI) Majalah ANNIDA. Bersama kawan-kawan, saat ini sedang aktif mengawal berdirinya sekolah kepenulisan ‘Akademi Menulis Jepara’.