Ulang Tahun
Malam-malam sebelum tidur, kau kian sering merapalkan nama-nama bintang: Sirius, Canopus, Arcturus, Vega—cuma itu yang kuingat. Kau melakukannya cuma kalau sedang gelisah.
Wadah plastik itu makin lama makin penuh menampung sari-sari wortel. Di sampingnya, tumpukan ampas yang berkerut-kerut karena diperas habis terus meninggi. Sementara mesin pembuat jus ribut menggilas, tangan mama sibuk menggeledah rak piring, laci, lemari.
”Gelas oranye, di mana?” jari-jarinya terus mencari, ”Hijau? Merah?”
”Kusingkirkan di dalam kardus,” papa menyahut. Lalu lanjutnya hati-hati ketika suara mesin berhenti, ”Sudah tidak dipakai, kan?”
Telapak tangan kanan mama menggenggam gagang pintu lemari yang baru saja ditutupnya. Kepalannya terlalu kuat. Otot pergelangannya sampai menonjol. Selama beberapa saat mama terdiam, lalu setelah satu embusan napas yang terdengar mengentak, ia menjajarkan tiga buah gelas. Ia tuangkan jus wortel, tapi gerakan tangannya seperti kurang kendali. Sebagian cairan oranye berceceran di sekitar gelas.
Melihat reaksi mama, papa buru-buru cuci tangan. Ditinggalkannya mi dan udang dan irisan bawang dan ditujunya sudut tempatnya menaruh kardus barang bekas.
Aku menyela ketegangan kecil itu dengan mengambil satu gelas jus untukku sendiri, lalu kembali ke buku sketsa kecilku di atas meja makan. Pergelangan tangan mama bakal jadi gambar pertamaku hari ini. Sambil menggores-gores kertas, kuteguk perasan wortel dalam gelas bening. Gelas apa saja tak masalah. Kau tidak.
Kau mau gelas oranye untuk jus wortel, hijau untuk alpukat, merah untuk tomat. Tapi kau tidak ada. Sudah lama tidak ada. Sejak itu, kami tak pernah lagi minum jus tomat, makan selai stroberi, atau apa pun yang merah dan encer.
Itu Selasa. Subuh jam lima. Pintu kamar kita dibuka dan cahaya lampu dari luar mengarah lurus ke mataku yang masih memejam. Aku selalu benci dibangunkan. Nanti kubilang sama mama, semalam kau katakan hari ini kita tak perlu sekolah. Ia pasti belum tahu, makanya mau lekas-lekas bangunkan kita. Tapi bukannya suruhan, yang terdengar di kupingku setelahnya adalah pekikan. Teriakan yang ganjil, yang seolah-olah bukan berasal dari pita suara mama. Sesudah itu langkah buru-buru dan pintu kamar yang membentur tembok. Mama menghambur. Kau tidak ada di kasur. Pintu kamar yang mengarah ke balkon terbuka. Angin membuat kakiku dingin.
Baca juga: Sepasang Lembu Ibu dan Wak Lam
Hari itu kita benar-benar tidak sekolah. Bukan karena diliburkan seperti kau bilang semalam. Itu, teman-temanmu datang dengan seragam. Tapi kau pakai jas hitam, berbaring dalam kotak. Kau begitu bebal, tak mau dibangunkan.
Orang-orang menangis, tapi aku tidak. Aku malu ditonton orang-orang, tapi mama tidak. Jelek sekali mukanya. Matanya merah dan kelopaknya menyembul. Keningnya bekernyit-kernyit. Bibirnya yang ungu keriput dan gemetar. Di samping kotakmu, tak henti-henti ia menyeka pipi dan hidungnya. Sesekali digenggamnya telapak tanganmu yang disilangkan di atas perut, diusapnya keningmu yang dibungkus kasa.
Hari itu kau tampak asing. Mukamu terlalu putih. Hidung dan telingamu disumpal kapas. Kelopak matamu dikatupkan dengan selotip bening. Dan setelan jas hitam itu kebesaran—kau tidak pernah suka baju yang terlalu longgar. Sempat aku berpikir, jangan-jangan yang tiduran di sana bukan abangku. Tapi mungkin itu betul-betul kau. Buktinya kau tak pernah kembali setelah kotak itu dipendam di dalam tanah.
Kau mestinya ke angkasa. Kau kan bercita-cita untuk terbang. Subuh itu barangkali kau mau belajar terbang.
Langit, katamu, penuh kisah ajaib. Suatu kali kau memberitahuku cerita aneh tentang air mata. Kau bilang, di luar angkasa kita tidak bisa menangis. Gaya tariknya tidak cukup kuat untuk membuat air mata jatuh. ”Air mata cuma akan membentuk gelembung yang menggantung di sekitar matamu. Kamu bakal kelihatan kayak alien,” ucapmu datar. Kau membelalakkan mata dan menyedot pipi ke dalam sehingga mukamu tirus, membuatku cekikikan.
Sekarang gravitasi sering bikin sarung bantalku basah. Aku sedih soalnya kasurmu kosong dan tidak ada lagi dongeng-dongeng tentang langit. Kalau sudah malam, yang kudengar cuma bunyi televisi yang disetel papa sampai larut.
Tapi, sebelum kau pergi subuh itu pun, kau juga sudah jarang cerita-cerita lagi. Kau disibukkan hal kecil ini itu dan jadi pendiam. Suatu malam kau kerepotan membersihkan bagian dalam tasmu yang ketempelan permen karet. ”Abang, kan, enggak pernah makan permen karet,” celetukku. Kau cuma bungkam, mengeluarkan semua isi tas, dan menggosok-gosok kanvas yang lengket dengan tisu basah. Kali lain kau masuk apartemen dengan langkah cepat-cepat dan napas yang keras dan memburu. Hari itu kau pulang tanpa kaus kaki. Setelah tergesa-gesa menuju kamar mandi dan membasuh telapak kaki, kau meringkuk di kasur dengan selimut tebal.
Malam-malam sebelum tidur, kau kian sering merapalkan nama-nama bintang: Sirius, Canopus, Arcturus, Vega—cuma itu yang kuingat. Kau melakukannya cuma kalau sedang gelisah. Sekali waktu kutanya kau kenapa, tapi kau malah balik tanya, ”Kamu pernah dengar reinkarnasi?”
”Kayaknya tahu,” balasku. Aku teringat temanku yang suka membayangkan ia adalah putri Cina pada kehidupan sebelumnya karena senang sekali pakai gaun kerah shanghai.
”Andaikan kamu nanti dilahirkan lagi, kamu mau jadi apa?”
Karena tidak pernah memikirkannya, kujawab, ”Mana kutahu.”
”Aku mau jadi anjing saja. Semua orang suka. Kalaupun kelakuannya aneh, orang enggak pernah benar-benar benci sama anjing.”
Suatu dini hari setelah kau tidak pernah kembali, sempat aku terbangun gara-gara kehausan. Malam itu aku tidur di kamar mama dengan kasur lipat karena tidak bisa tidur di kamar kita. Begitu terjaga, aku bergeming sebab mendengar mama sesenggukan. Diselangi gumaman papa yang berusaha menenangkannya, kutangkap kalimat mama yang terpatah-patah, ”Kenapa dia melakukannya? Kita yang memberinya hidup, dan dia menolaknya.”
Ia ingin jadi anjing, Mama. Aku tidak jadi ambil minum.
Mama jadi lebih jarang bicara dan aku jadi lebih sering menggambar. Beberapa kali kugambar mukamu dengan rupa yang jelek sekali karena aku sangat kesal. Kau begitu tega. Kini hari-hari terasa amat berbeda. Tapi yang paling sulit adalah ketika harus merayakan sesuatu. Natal, Paskah, kelahiran, pernikahan, ulang tahun. Terutama yang terakhir. Mama terus-terusan menghindar. Kalau ada ajakan, ia selalu bikin alasan. Rapat dadakan, terjemahan yang belum rampung, sakit kepala, nyeri menstruasi, harus servis mobil, apa saja.
Baca juga: Odong-odong
Pernah suatu kali, mama tak enak hati juga karena yang memintanya datang adalah adiknya sendiri. Masa ia lagi-lagi menolak untuk sekadar hadir di syukuran hari jadi keponakannya. Mungkin mama berpikir, inilah saatnya kembali menghadapi dunia. Aku berpikir, inilah waktunya kembali menjadi keluarga yang wajar.
Hari itu, setelah sekian lama, paras mama tampak lebih segar karena lipstik, celak, dan maskara. Kami mengenakan pakaian yang baik dan dari apartemen berkendara setengah jam ke Cipete. Kalau kau ada di sana, kau akan bersemangat sekali mengobrol dengan sepupu kita itu. Kau pasti ingat bagaimana serunya kalian pernah saling menimpali waktu membicarakan roket. Ada binar di matamu saat bercerita tangki bahan bakar roket akan dilepaskan setelah tugasnya selesai. Aku membayangkan keduanya—badan roket dan tabung bahan bakar itu—dengan gagah saling mengucap selamat pisah dan melaju ke antah-berantah.
Ketika mengkhayalkan roket dan mendengar orang berdendang panjang umurnya-panjang umurnya, selintas kulihat mama masuk kamar mandi. Gambaran roket di kepala langsung terguyur suara air yang berkali-kali menyiram kloset. Mama keluar dengan muka berantakan dan menggaet tasnya buru-buru. Papa menggamit lenganku dan tak berapa lama kami sudah duduk di mobil lagi. Noda hitam menggoreskan coretan-coretan bengkok di pipi mama dan bayangan tentang keluarga yang menyenangkan menjauh seperti gedung dan pohon-pohon yang tertinggal di belakang.
Ini ulang tahunku. Tiga belas. Usia yang mestinya kau capai tepat satu bulan setelah kepergianmu. Papa memindahkan mi goreng dari wajan ke dalam mangkuk besar. Ia cium pipiku sambil bilang selamat ulang tahun. Ucapan itu tidak keluar dari mulut mama. Tidak dua tahun lalu. Tidak setahun lalu. Tidak hari ini. Ia cuma senyum sekilas dan menyendokkan mi ke piringku sambil bilang ayo makan. Kelopak matanya yang berkerut-kerut menampung air yang makin lama makin penuh. Aku ingin menggambar alien berwajah mama.
Novka Kuaranita bernama lengkap Fellycia Novka Kuaranita, lahir di Jakarta, 19 November. Ia lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Pernah mengikuti Kelas Cerpen Kompas 2018, sehari-hari bekerja sebagai copywriter. Cerpen-cerpennya pernah masuk dalam buku Cerpen Pilihan Kompas.
Djoko Pekik, Kartika Affandi, Jumaldi Alfi, Putu Sutawijaya, dan Hari Budiono berkolaborasi membuat lukisan untuk ilustrasi cerpen ini di Balai Silaturahmi, Kaliurang, Yogyakarta, akhir November lalu.