Bolos
Suatu hari, ada huru-hara di depan Surau. Beberapa anak-anak berkelahi sampai membuat kaca jendela pecah.
Sudah beberapa hari Laura bolos mengaji. Ibunya sudah kewalahan menghadapi tingkah anak perempuannya itu. Ada-ada saja alasan ia absen mengaji. Terkadang ia pura-pura sakit. Pernah sekali ia bersembunyi di bawah tempat tidurnya, sampai ibunya mengira ia hilang, lain waktu ia pergi ke rumah neneknya dan tidak pulang semalaman, sampai ibunya harus menjemputnya pagi-pagi untuk berangkat sekolah.
Bapaknya sendiri sudah angkat tangan dengan kelakuan putrinya. Walaupun sudah di hukum beberapa kali, Laura tampaknya tidak memperlihatkan tanda-tanda akan jera. Bapak Laura akhirnya sudah tidak ambil pusing dengan tingkah anaknya, ia akan acuh tak acuh membiarkan Laura membolos begitu saja.
Berbeda dengan ibunya, setiap hari ia melakukan berbagai cara agar anaknya mau kembali mengaji, sampai membuat Bapaknya jengah melihat kelakuan istrinya.
”Sudah biarkan saja semaunya dia, Bu. Yang penting dia masih mau bersekolah.”
”Mau jadi apa anak kita kalau tidak punya pendidikan agama, Pak? Agama sebagai fondasi agar kelakuan anak kita nanti terarah. Percuma nanti anak kita sukses menjadi pejabat atau menjadi para elite kalau tidak punya pegangan agama, nanti dia akan berbuat semena-mena pada sesamanya.”
”Sekarang para pejabat dan para elite saja tidak peduli dengan agama, Bu.”
”Husss! Jangan bilang begitu Pak, nanti ada yang dengar.” Tambah istrinya.
”Memang begitu adanya, Bu. Sekarang banyak pejabat mencari uang dengan cara haram, contohnya saja korupsi di mana-mana, saling tuduh sana sini dan saling menghancurkan sesamanya demi kepentingan pribadi dan banyak lagi. Jika memang benar, agama adalah dasar moralitas manusia, tentu mereka tidak melakukannya. Tampaknya pelajaran agama sudah tidak berfungsi lagi untuk zaman sekarang, Bu.”
”Astagfirullah Pak, jangan berbicara melantur begitu, kita ingin anak kita menjadi sukses, berguna, dan tetap menjadi anak salehah. Hati-hati dengan ucapanmu, Pak. Ucapan adalah doa.”
Kalau sudah begitu, bapaknya hanya melengos, meninggalkan istrinya yang sedang berbicara panjang lebar.
Makna agama bagi dirinya kini memang sangat kabur, kesehariannya sebagai perangkat desa terkadang membuatnya kebingungan membedakan yang benar dan yang salah. Meski dirinya mengganggap sesuatu hal itu salah, entah kenapa ia tetap menjalani kesalahan tersebut.
Ia bertanya-tanya apakah memang benar agama menjadi panutan hidup setiap orang dalam bertingkah. Jika memang begitu, kenapa dirinya dan rekan kerjanya yang notabenenya anak pesantren dan mondok bertahun-tahun tetap melakukan banyak hal menyimpang.
Bukannya tidak tahu itu salah, tetapi ia tidak tahu cara mengendalikan atau bahkan menghentikannya. Terlebih lagi mereka berdua melakukannya secara sadar tanpa rasa takut atau berdosa.
Jika pegawai kecil seperti dirinya dan rekannya saja sudah melakukan korupsi kecil-kecilan, apalagi pejabat besar? Berapa uang yang mereka kantongi kira-kira? pikirnya suatu ketika.
Terkadang ia mencari pembenaran atas tindakannya yang salah. Ia akan berkata kepada dirinya sendiri bahwa di luar sana banyak yang mengambil hak rakyat berjuta-juta kali lipat, bahkan mungkin lebih. Sementara ia hanya memungut uang administrasi Rp 10.000-Rp20.000 saja. Walaupun pelajaran agama memberi tahu ia akan dibakar di dalam api neraka yang panas, sebesar apa pun hak orang lain yang ia ambil, sungguh dia tidak lagi peduli.
Namun, ia tetap ingin putrinya menjadi anak yang lebih baik darinya. Ia berharap Laura tumbuh menjadi gadis yang pintar dan dan berbudi luhur serta selalu taat perintah-perintah agama untuk menghindari hal-hal yang menyesatkan hidupnya. Sikap buruknya, ia tak hendak menurunkannya kepada putrinya. Oleh karena itu, ia mengajari hal-hal yang baik kepada Laura sehingga Laura pun tumbuh menajadi gadis kecil yang cerdas dan baik prilakunya.
”Laura memang sedikit nakal akhir-akhir ini Bu, dulu ia murid panutan bagi teman-temannya karena ia anak yang baik,” kata Bu Haji sambil menatap ibu Laura prihatin.
Ibu Laura hanya memijat-mijat keningnya mencoba melepaskan beban yang membuat kepalanya pusing.
Awalnya, Laura memang anak yang baik dan penurut. Ia anak yang cerdas dan tidak pernah absen mengaji. Namun, akhir-akhir ini, ia mulai memperlihatkan permusuhan kepada Kiai dan Bu Haji istri guru ngajinya. Beberapa minggu sebelum ia membolos, Laura sering membuat ulah di Surau. Terkadang ia mencuri mangga milik Kiai, merusak tanaman Bu Haji, melempari genteng Surau, atau menyamar menjadi pocong dan membuat teman-temannya terbirit-birit lari ketakutan meninggalkan Surau.
Laura memang sedikit nakal akhir-akhir ini Bu, dulu ia murid panutan bagi teman-temannya karena ia anak yang baik.
Lambat laun perangainya mulai diikuti anak-anak lainya. Teman-temannya mulai membuat ulah pula di sana sini bersamanya. Maka, terbentuklah geng begundal yang dipimpin Laura, yang selalu membuat naik darah Bu Haji.
Suatu hari, ada huru hara di depan Surau. Beberapa anak-anak berkelahi sampai membuat kaca jendela pecah. Lalu Kiai dan Bu Haji memanggil semua para santri. Tidak ada yang mau mengaku siapa yang memecahkan kaca. Anak-anak bandel itu saling lempar kesalahan. Mungkin anak-anak ini belajar trik dari para elite berdasi dan pejabat tinggi, saling lempar kesalahan ke sana sini, merasa paling benar sendiri lalu cuci tangan. Atau mungkin para elite yang seperti anak kecil, Entahlah.
Oleh karena semua kekacauan yang terjadi, Bu Haji akhirnya mengancam akan menghukum semua santri jika tidak ada yang mengaku. Tentu saja, di antara mereka selalu ada penjilat yang berkhianat, mengadu kepada Bu Haji bahwa Laura dan teman-temanya yang memecahkan kaca. Sama seperti orang-orang dewasa, selalu ada orang yang cari muka demi mendapat sanjungan. Begitulah memang anak-anak adalah peniru yang baik.
”Anak-anak begundal itu memang tidak ada jeranya,” kata Bu Haji.
”Sudahlah Bu, namanya juga anak-anak. Memang sedang masa-masanya manjadi pemberontak,” jelas Kiai kepada istrinya.
”Bapak jangan terlalu memanjakan murid-muridmu, Pak. Apalagi mereka anak-anak perempuan. Perempuan itu harusnya duduk manis tidak banyak bertingkah, mau jadi apa mereka?”
”Itu bukanlah hal besar, Bu. Tidak usah memperkeruh suasana?”
”Mereka memecahkan kaca jendela Surau, Pak!”
”Sudahlah Bu, anak-anak sekarang berbeda zaman dengan kita dulu. Jika dulu kita akan jera dengan hukuman, anak-anak sekarang malah akan semakin bandel.”
Bu Haji hanya menarik napas panjang menghadapi suaminya yang terlalu bijaksana membela anak-anak nakal itu. Ia kemudian akan melepaskan begitu saja anak-anak itu walau dengan hati yang kesal.
Pelajaran mengaji berjalan seperti biasa tanpa hukuman atau omelan dari Bu Haji. Jam pelajaran di mulai sehabis Ashar dengan mengaji kitab, kemudian dilanjutkan Maghrib sampai Isya dengan shalat berjamaah dan belajar membaca Al Quran.
Walau sudah bebas dari hukuman, anak-anak itu bukannya jera, melainkan satu per satu mulai sering membolos mengaji. Puncaknya adalah ketika Maulid Nabi, murid-murid perempuan lebih dari setengahnya membolos.
Para orangtua akhirnya turun tangan menghukum anak-anak nakal itu. Mereka akan mengantarnya sampai Surau dan memastikan mereka pergi mengaji.
Namun, berbeda dengan Laura, ia bahkan bergeming saat bapaknya murka dan menghukumnya dengan guyuran air.
Sampai sekarang Laura satu-satunya anak yang tidak mau melangkahkan kakinya ke Surau. Ibunya sudah kehilangan cara menghadapai kelakuan anaknya itu. Suatu hari ia mencoba membujuk anaknya dengan lemah lembut.
”Laura sayang, ayo kita mengaji, nanti Mama belikan hadiah untuk Laura.”
”Laura tidak mau pergi mengaji, Ma.”
”Kenapa Laura tidak mau mengaji?”
”Karena Laura tidak mau praktik shalat, Ma”
”Lho kenapa, Kiai akan ngajarin shalat yang benar, sayang.”
”Pokonya Laura tidak mau mengaji, titik.” matanya melotot ke arah ibunya.
Lalu ia akan berlari ke rumah neneknya meminta perlindungan. Ibunya hanya menarik napas panjang dan membiarkanya. Karena mau tidak mau ia harus berdebat dengan mertuanya jika tetap mengajaknya pergi mengaji.
Jarak antara mertua dan menantu terkadang membuatnya segan. Walau di depan, hubungan mereka baik-baik saja, tidak jarang mertuanya menggosipkan keburukannya kepada tetangganya. Sejak dulu, hubungan mertua dan menantu memang selalu punya jarak yang sangat rumit.
Sungguh ia merasa putus asa membujuk anak perempuannya. Sebagai ibu, ia merasa gagal dibandingkan dengan ibu-ibu lain tetangganya. Walaupun latar belakang pendidikan mereka masih sangat minim, nyatanya mereka lebih berhasil membujuk anak-anak mereka yang membolos dari pada ia dan suaminya yang punya latar belakang pendidikannya yang baik.
”Laura masih tidak mau mengaji, Bu?” tanya seorang tetangganya saat sedang membeli sayuran bersama.
”Iya Bu, saya sudah tidak tahu harus berbuat apa lagi agar anak itu kembali megaji.”
”Coba Ibu tanya apa yang terjadi kepadanya, mungkin dia bertengkar dengan temanya atau sesuatu terjadi kepadanya. Kita sebagai orangtua kadang kurang peka terhadap kenakalan-kenakalan anak kita, Bu.”
”Orangtua terkadang sering menuntut anaknya ini itu tanpa mau peduli apa yang terjadi kepada anaknya,” jelas tetangganya yang lain.
”Iya Bu, tapi saat saya tanya, alasannya aneh-aneh, katanya dia tidak mau mengaji karena tidak mau praktik shalat.”
Baca juga : Kecemasan Bibit Padi
”Namanya anak-anak, Bu, dulu Ratih saat usianya seperti Laura juga begitu Bu. Hati-hati Bu, anak-anak sekarang sangat pintar dan penuh tipu daya. Semua anak-anak bilang begitu kepada orangtuanya, katanya tidak mau praktik shalat karena Kiai meraba-raba dada dan pinggul mereka saat membetulkan ruku dan sujud. Tidak mungkin juga Kiai bersikap kurang ajar begitu ya Bu, wong Kiai ilmu agamanya tinggi. anak zaman sekarang memang pintar sekali mencari alasan. Mereka kerap kali berbohong hanya karena mereka malas mengaji, Bu.” tambah tetangganya yang lain.
Ibu Laura terenyak mendengar kata-kata tetangganya, tanpa bisa berkata apa-apa ia buru-buru pergi meninggalkan para tetangganya menuju rumah nenek Laura.
***
Siti Hajar, alumnus Universitas Negeri Yogyakarta, yang kini bekerja bekerja sebagai staf accounting di salah satu perusahaan.