Barangkali nama kebun itu tidak tercantum di dalam peta dunia, barangkali juga dia hanya berada dalam kenangan yang membatu, mengingatkan siapa saja yang pernah datang ke sana, selalu rindu untuk kembali. Kebun itu bernama Basagoka, berada di dusun Boto, masuk ke dalam lingkungan Desa Labalimut, Kecamatan Nagawutun, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur. Di Boto dan kebun Basagoka ada ingatan terpendam kuat tentang kisah masa lalu dari sepasang suami istri penggarap ladang dengan tanah warisan leluhur secara turun-temurun.
Kisah itu terus bergulir tanpa terputus oleh waktu. Siapa sesungguhnya yang memiliki kebun Basagoka, masih menjadi tanda-tanya, namun ada cerita yang dapat dipercaya, kebun itu milik para pemangku ulayat Lamarotok dan Lefketoj, dua kepala suku besar di Dusun Boto. Tanah ulayat inilah yang menjadi tumpuan hidup sehari-hari pasangan suami-istri yaitu Bapa Ola Dana dan istrinya Mama Nika Dana. Kebun yang oleh orang NTT disebut mamar itu telah menjadi rumah kedua bagi mereka. Berdekatan dengan kebun itu tinggal Bapa Johanis Kerung dan istrinya Mama Maria Kerung. Bapa Johanis Kerung tukang iris tuak dari nira pohon lontar, ia lelaki paruh baya yang juga warga asli Dusun Boto. Tak jauh dari sana, terdapat lahan tidur yang diberi nama Man Giok, lahan itu masuk dalam kawasan Basagoka dan Dusun Feror, di sana ada juga beberapa lahan yang menjadi milik Bapa Ola Dana. Penduduk setempat membenarkan kalau lahan itu memang sah miliknya.
Tanah telah menjadi napas kehidupan bagi penduduk Boto. Mereka bisa seminggu tidak pulang ke rumah, tidur di ladang di dalam rumah bebak: rumah tradisional khas NTT yang berpagar dan beratap daun lontar dengan fondasi dari tanah dan tiang bambu. Rumah bebak ini sudah menjadi rumah kedua mereka. Jika mereka meninggalkan kebun, barang seminggu saja, babi hutan akan datang menggasak beragam tanaman palawija yang ada di sana. Tanaman jagung akan habis seketika. Jagung manis khas Boto sangat gurih rasanya. Olahan dari jagung terkenal di NTT, namanya jagung bose, penganan ini merupakan campuran jagung, santan dan gula merah terbuat dari air nira pohon lontar.
Suatu hari di bulan terakhir untuk masanya melahirkan, istri Bapa Ola, Nika Dana merasakan sakit yang luar biasa di perutnya. ”Saya rasa bayi kita akan segera keluar,” katanya sambil menahan air ketuban yang mengalir di celah kedua pahanya.
Bapa Ola panik, berada di tengah kebun yang luas, dengan dikelilingi areal pertanian lodok lingko yang mirip jari-jari sepeda itu, sungguh telah membuatnya bagai berada di hutan gelap gulita. Di pemikirannya yang lugu, dia tak pernah memprediksi kapan waktunya sang istri akan melahirkan. Dia hanya seorang laki-laki dengan pendidikan yang tidak tamat sekolah dasar, yang ia ingat, ketika ibunya melahirkan adiknya, untuk memotong tali pusar hanya dengan menggunakan irisan bambu yang tajam. Kemudian, ayahnya akan merebus kunyit, daun alang-alang, daun salam dan serai untuk membasuh kotoran usai melahirkan. Semua bahan-bahan itu ada di kebunnya, namun bagaimana cara mengeluarkan bayi yang mendesak untuk keluar dari rahim ibunya, ia sama sekali tidak tahu. Jalan satu-satunya menghubungi Bapa Johanis Kerung dan istrinya, Maria, yang tinggal tak jauh dari kebun mereka. Ia berharap Mama Maria Kerung tahu tentang cara melahirkan alami sebab dia pernah menggelontorkan tujuh orang anak. ”Semoga mereka tidak pulang ke Boto,” gumamnya sambil bergegas ke kebun pasangan suami istri manula itu.
Alur perjalanan ke tempat perkebunan Bapa Johanis Kerung tak semudah yang dibayangkan. Hutan lebat, ular cobra, dan binatang buas lainnya, menjadi teman terdekat yang harus disikapi dengan segenap kesabaran dan kewaspadaan tingkat tinggi. Tapi untungnya jalur ini telah biasa dilaluinya. Bapa Ola akhirnya berhasil mengajak Bapa Kerung dan istrinya ke rumah bebak tempat sang istri meradang kesakitan. Tiba di sana, mereka terkejut, si jabang bayi sudah berada di sisi ibunya, darah masih terlihat di sana-sini. Sang ibu, Nika Dana, tertidur di sisi si bayi yang menangis kelaparan. Tali pusat kemudian dipotong dengan belati milik Bapa Kerung, belati itu sudah diolesi irisan kunyit bercampur daun sirih. Kemudian Mama Maria membersihkan tubuh Nika Dana dengan rebusan air hangat berisi ramu-ramuan yang ia ketahui, ramuan itu khusus untuk ibu yang baru melahirkan. Ia menaruh tali pusar si bayi di atas bakul pinang. Setelah didoakan, dikubur tak jauh dari rumah bebak. Pasangan suami istri ini dan Bapa Ola kemudian membuat tandu, membawa Mama Nika Dana ke Boto, mencari bidan melahirkan untuk melihat kondisinya.
Musim kemarau tiba. Ketika si bayi berusia empat puluh hari, Bapa Ola mengajak istri dan putranya ke kebun mereka. Perkiraannya tanaman berupa ubi, jagung dan ketela pohon sudah bisa dipanen dan dapat dibawa ke Boto. Mereka kembali menyusuri hutan yang ada di tepi dusun, perjalanan dengan menerabas hutan lebat yang gelap terus dilakukan hingga memasuki Desa Labalimut. Mama Nika terseok-seok mengikuti langkah suaminya. Semangatnya belum luruh. Ia selalu ingin membuat jagung bose kegemaran dia dan suaminya setiba di rumah bebak. Putra pertama mereka yang baru berusia empat puluh hari itu, berada di gendongan si ibu. Huma atau rumah bebak yang mereka tuju sayup-sayup mulai terlihat. Ada asap muncul dari kebun mereka. Asap itu seolah mengirim tanda ada sesuatu yang telah terjadi. Pasangan muda itu menyimpan tanya hingga tiba di rumah bebak mereka.
”Tanah ini bukan tanah kalian, tidak ada sertifikat resmi yang kalian miliki. Ini tanah milik perkebunan. Di sini akan dijadikan kebun kopi dan cengkeh, kami yang ditugaskan untuk melakukan penebangan,” ujar seorang lelaki bertubuh gempal dengan mimik wajah serius tanpa senyum dan belas kasihan.
Bapa Ola dan istrinya menatap mereka dengan wajah yang sulit untuk dilukiskan, kesedihan dan air mata terlihat di wajah Mama Nika Dana. Lima ratus meter dekat kebun, ada hamparan tanah luas berupa lapangan, di sisinya terlihat sawah lodok lingko milik beberapa petani yang juga tinggal di Dusun Boto, sawah lodok lingko mereka sudah rata dengan tanah. Puluhan petani mengelilingi sawah mereka sambil duduk tepekur dengan wajah kosong.
”Ini tanah leluhur kami. Tanah ini sudah kami tanami beragam jenis tanaman, mereka menghidupi keluarga kami. Kami sudah menanaminya secara turun temurun,” ucap Bapa Ola dengan suara kering. Ia terlihat sangat putus asa.
”Mana bukti kepemilikan yang kalian punya?” tanya lelaki bertubuh gempal itu.
Bapa Ola memandang istrinya sejenak. Tak ada bukti yang bisa mereka suguhkan. Selama puluhan tahun mereka menggarap tanah itu, mereka melakukannya dengan kepercayaan penuh pada leluhur bahwa tanah itu adalah warisan untuk mereka. Kini tanaman jagung, ubi dan ketela pohon, gugur tak berdaya. Tanaman itu ditebang dengan kekuatan penuh. Jagung-jagung itu sudah siap panen, juga ubi dan ketela. Pohon kehidupan itu luruh tak berdaya ke bumi.
Bersama tangis yang masih tersisa, pasangan suami istri ini tak bisa berkata-kata lagi. Mereka kembali ke Boto dengan harapan yang hilang. Hutan lebat di hadapan kembali akan mereka lalui. Bayi yang ada di punggung ibunya, terlelap dalam keranjang yang terbuat dari daun lontar. Bayi itu adalah aku yang selalu mendengarkan kisah orang tuaku melalui bibir tua mereka. Tanah yang mereka ceritakan entah sudah berpindahtangan ke siapa. Kedua orangtuaku beralih profesi menjadi nelayan penangkap ikan di Desa Boto, Nagawutun, Lembata Nusa Tenggara Timur.
_________________
Fanny J Poyk menulis cerita anak-anak dan dewasa sejak tahun 1975. Karya-karyanya banyak dimuat di berbagai media, seperti Jawa Pos, Kompas, Bali Post, Suara Karya, Sinar Harapan, Pikiran Rakyat, Suara Pembaruan, Bobo, Tom Tom, Ayah Bunda, Majalah Pertiwi, Sarinah, dan Kartini. Saat ini Fanny masih tetap menulis cerita pendek dan novel.
Moelyoto lahir di Solo, Jawa Tengah pada 31 Desember 1961. Sejak tahun 1981 sampai 2021 pernah berpameran lukisan di Indonesia, Asia, Eropa, dan Amerika Latin. Tahun 2016 mendapatkan penghargaan ”Award of Excellence”, Triennial Varna, Bulgaria. Tahun 2016 mendapatkan penghargaan Top 20 International Plein Air Competition of Nepal.