Sebagaimana Salju Pertama
Tak lupa pula memamerkan lesung pipi yang kau anggap menawan sambil menyisir rambut ikal mayangmu.
Kamu hanyalah seorang pelacur, yang kusewa dari sebuah rumah bordil tersohor di kota minyak. Aku tak tahu harus mengumpat atau memilih meredam gundah, bisa-bisanya kamu menasehatiku semacam ini.
”Bagaimana orang lain mau sayang, kalo kamu menutupi diri begitu.”
Tak lupa pula memamerkan lesung pipi yang kau anggap menawan sambil menyisir rambut ikal mayangmu. Tetesan air dari rambutmu, membasahi bagian atas baju yang kau kenakan. Kalau boleh jujur, aku kerap memerhatikan anting-anting mutiaramu. Sangat pas dengan warna kulit merah eksotismu itu. Kau berasal dari kepulauan Karibia. Begitulah katamu waktu pertama kali rutin berlangganan. Pekan ini adalah pekan kelima belas atau keenam belas bersamamu. Kamu begitu bersemangat ketika menceritakan asal-usulmu yang terdampar di kota kecil menyebalkan ini demi sesuap nasi dan sebakul berlian.
”Sayang, aku dikenal sebagai wanita pandai. Tidak perlu ragu begitu. Buka-bukaan saja, enggak usah sungkan,” lanjutnya. Oke. Walaupun menyebalkan, aku sangat senang pada segenap perhatian kecilmu itu.
”Miris,” selorohku sambil menghela napas panjang. ”Bulan ini genap empat belas bulan, aku kehilangan istriku. Tepat tiga hari sebelum mengenalmu."
”Ah, kok bisa?! Padahal jabatanmu tinggi. Seorang kepala bagian di perusahaan terkenal. Apa dia pindah ke lain hati atau meninggal dunia?”
”Sekadar informasi, dia orang yang terdidik dan terlahir dari keluarga baik-baik. Aku yakin dia masih hidup.”
”Oooh, jadi… kamu yang berpindah ke lain hati?!”
”Walau aku gonta-ganti pasangan, aku tak pernah sekalipun berpaling darinya. Setidaknya sebelum kehilangan dia, aku laki-laki setia. Sungguh, aku katakan ini dari lubuk hati terdalam!” sewotku penuh keyakinan sampai penglihatan menjadi berkunang-kunang.
”Lantas, apa yang bikin wanitamu kabur?”
”Itu dia masalahnya. Sampai detik ini, aku masih enggak paham kenapa dia pergi.”
”Ya, ampun. Kamu kurang perhatian kali? Wanita itu hanya butuh cinta dan perhatian,” selorohmu berlagak bijak sembari mengedipkan mata genit.
”Maksudmu segala perhatian dan cintaku selama ini kurang?!”
”Barangkali aku ada benarnya, coba introspeksi diri dulu.”
”Wanita memang selalu merasa benar.”
Kamu yang suka berlipstik menor itu segera tertawa lepas. Demikian pula, warna gaun malam minimalis yang kau kenakan pun tak kalah norak. Beberapa hari terakhir kau kerap memakai warna baju kuning, biru, atau merah. Yang mana simbol dari bendera negaramu. Kau mencintai sekaligus merindukan kampung halamanmu, katamu sebelumnya.
Sambil menepuk pundakku perlahan, kau melanjutkan ceramahmu.
”Selama ini apa sering berbagi waktu ekstra ke istrimu?”
”Aku sibuk bekerja dan enggak punya waktu.”
”Alasan klasik. Kebanyakan laki-laki tak mau menanggung malu dan kesalahan sendiri. Jadi, oleh karena waktu tak bisa omong, maka ia mencari kambing hitam yang bernama waktu itu tadi.”
Kalimat berbelit itu buatku berpikir keras. Langsung saja kuserobot kata-katamu itu. ”Aku menyewamu untuk bersenang-senang, melupakan masalah dan bercumbu sepanjang malam. Hanya itu!”
”Memanglah itu pekerjaanku. Tetapi jangan salah, aku juga bisa diajak berdiskusi soal tetek-bengek rumah tangga,” selorohmu mantap. Kali ini kau duduk di sebelahku dengan berseri-seri. Aroma samar sabun mandi, sampo, dan parfum segera tercium dari tubuhmu.
”Apa aku tidak salah dengar, Salma?! Sudah berapa pria bersuami yang kau ajak tidur?!” tanyaku setengah meledek. Kamu tidak tampak tersinggung pun oleh kata-kataku. Malahan tawamu berderai kencang. Kencang sekali sampai kupingku berdenging.
”Tidak perlu emosi begitu, sayang. Aku kan bekerja sesuai pesanan dan pasti atas kemauan laki-laki itu sendiri. Sama sekali bukan paksaan.”
”Emang dasar wanita pandai sekali berbicara.”
Lagi-lagi kau tertawa lepas sampai urat di leher dan kepala terlihat seperti akar pohon.
”Baiklah… apa kau tahu kenapa sampai dia pergi dari rumah?” tanyamu lagi.
Seperti yang sudah kuduga sebelumnya, kamu langsung melancarkan serangan. Memberi kecupan demi kecupan dan belaian mesra. Walau sudah membersihkan diri, aku tak sepenuhnya mengelak, ada semacam candu ketika diperlakukan begitu.
”Berilah separuh usaha sarang burung waletmu di Kalimantan baru nanti kukasih tahu,” bisikmu kemudian dengan penuh godaan yang bisa kutebak. ”Tak akan habis hartamu jika dibagikan kepadaku. Sepakat?!”
Baiklah. Barangkali aku sepakat apabila dikatakan budak cinta olehmu. Lambat laun aku mulai merasa memiliki ketergantungan padamu. Kunyatakan ini tentu secara sadar. Delapan belas hari kemudian, aku menyewamu kembali dengan harga dua kali lipat lebih tinggi. Tak mengapa. Semua ini kulakukan demi hanya mendengar saran darimu yang agaknya bikin ketagihan.
”Salut. Kamu memang royal dan dapat diandalkan,” pujimu setinggi langit.
Berilah separuh usaha sarang burung waletmu di Kalimantan baru nanti kukasih tahu. Tak akan habis hartamu jika dibagikan kepadaku. Sepakat?!
”Kamu sudah membayarku dengan layak dan memberi semua yang kuminta. Sesuai kesepakatan bersama, aku bakalan bertanggung jawab dengan apa yang kujanjikan,” cerocosmu lagi dengan penuh keyakinan pasca cipika-cipiki yang tak perlu.
”Langsung saja enggak usah bertele-tele.”
”Mungkin kamu akan kecewa mendengar ini…”
”Sudahlah enggak usah berbelit, Salma. Cepat katakan sekarang!” potongku tak sabaran.
”Sabarlah sedikit, cintaku,” sahutnya diiringi tawa renyah yang menjadi keistimewaanmu itu. ”Wanita-mu… eh maksudku istrimu, sudah lama kepincut pengusaha batubara asal Manila. Kudengar dia baru saja melahirkan anak kembar pengantin. Kalau enggak salah, dua atau tiga minggu yang lalu,” tukasmu kemayu sembari meraba-raba kalung yang baru kulingkarkan ke lehermu. Barangkali sebagai bonus atau entahlah apa.
Di antara rasa memelas dan marah, aku tetap berupaya mengontrol emosi. ”Kalau begitu mereka tinggal di mana sekarang?!”
”Kudengar istrimu juga anak-anaknya tinggal di kota lain. Kurang tahu persis istrimu tinggal di mana. Tapi aku tahu keberadaan si pengusaha licik itu. Dia ada di Busang. Kalo bisa melacak keberadaan si gembul itu, kau akan tahu keberadaan istri mudanya. Eh, maksudku, keberadaan istrimu!” selorohmu penuh percaya diri. Ah, sial!
”Omonganmu tidak bisa dipertanggungjawabkan.”
”Tentu bisa dong, cintaku tersayang.”
”Aku tidak tertarik.”
”Wah, jadi kamu tidak tertarik dengan kasus buronan itu…? Bukannya kalian sempat berbisnis emas hitam dan tertipu. Bukan kamu saja, pengusaha batubara itu sudah menipu banyak orang loh!”
”Aku tidak peduli. Aku hanya mau istriku…!”
”Di zaman serba susah ini, jangan beri kepercayaan seutuhnya kepada siapa pun, termasuk aku. Asal kamu tahu, sebagian orang yang candu bergelimang harta, mereka rela menghalalkan segala cara. Kau tak perlu polos dan lugu begitu, nanti bisa terluka, bahkan kolaps,” ucapmu panjang lebar tak tentu arah. Kau seaneh ini rupanya.
Sungguh. Kata-kata itu diucapkan oleh seorang pelacur, yang senantiasa membanggakan diri dari Amerika Latin. Dengan nilai setinggi langit. Aku bukannya tidak tahu, kau berasal dari sebuah kabupaten di kepulauan Sumatera. Tidak segampang itu tertipu oleh kata-katamu. Kendati, aku merasa ada yang ganjil dengan kondisi jiwaku sendiri. Aku seolah bisa menebak bahwa istriku main serong dengan pria lain. Kau meninggalkan secarik kertas, waktu aku mungkin terlelap usai bercumbu mesra malam itu.
***
Aku bertanya-tanya tentangmu dan bahkan, sudah benar-benar melupakan istriku yang hilang. Aku katakan ini dengan sungguh-sungguh. Kabar terakhir yang kudengar, pemilik rumah bordil itu memecatmu dengan hormat. Bulan depan, kau akan dipersunting pengusaha paling sukses se-kawasan Asia Tenggara. Pria itu bahkan yang mencuri istriku. Kenapa pula namanya harus menyerupai namaku?! Terlebih, tak habis pikir, kau rela menjadi istri simpanan. Hanya demi villa di pulau Maratua yang diperuntukkan kepadamu.
Baca juga : Melukis Ulang Kampung Item
Ingatlah… siapa yang telah merusak dan membuat segenap impian masa kecilmu karam? Pemerkosamu yang anak pejabat tahun delapan puluhan itu, kini melenggang ke berbagai benua. Lantas coba menghapus ingatan itu demi untuk menjadi istri ketiga.
Sebagaimana turunnya salju pertama, kau ibarat obat penyembuh luka batin dan lagi tempat segala pemuasan berakhir. Kau paham betul perihnya rasa kehilangan.
Kembalilah ke pelukanku, sayang. Percayalah. Aku bisa menjadikanmu orang pertama yang berkuasa di kota minyak. Aku bakal bikin kau selayak ratu Isabella I dari Kastila. Tentu aku sanggup mengalahkan cikal-bakal calon suamimu itu.
Dari Cinta & Sayangmu, Miguel De Copa
Begitulah pesan terakhir beberapa menit sebelum menjatuhkan diri dari helikopter di tengah hutan belantara Kalimantan. Tak jauh dari Busang. Sebuah kawasan yang disinyalir penuh limpahan emas itu. Kau amat sangat paham, semuanya tipu muslihat terdahsyat dari pengusaha sekaligus geolog sialan itu! ***
2020
Andria Septy lahir di Samarinda, Kalimantan Timur, 11 September 1987. Alumnus Ilmu Pemerintahan di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Mulawarman, Samarinda. Menulis novel, cerpen dan puisi. Sejumlah karya telah tersiar di beberapa surat kabar, situs daring dan antologi bersama. Bergiat di komunitas Sindikat Lebah Berpikir.