Seduhan Air Gula untuk Emak
Demi kesembuhan Emak, Mbah Putri pernah membawanya ke dukun.
Apa yang akan kau lakukan jika mengetahui perempuan yang melahirkanmu tidak lama lagi akan dijemput malaikat maut? Rina hanya rutin menyediakan air gula untuknya. Itu adalah air putih biasa dengan gula yang dilarutkan. Mula-mula, Rina menyeduh gula dengan air panas, mengaduk-aduknya hingga larut, menambahkan sedikit air, dan memasukkan es-es batu. Manis, dingin, dan segar: Emak dimabuk sukacita. Sejenak, ia melupakan rasa sakit di tubuhnya.
Memandang Emak bersukaria di hari-hari terakhirnya, Rina tersenyum bahagia.
”Kenapa Emak gemar minum air gula?” tanya Rina bertahun-tahun lalu.
”Sejak kecil, Emak telah minum air gula. Dulu, saat Emak masih umur setahun setengah, air ASI Mbahmu tidak mengalir dan ia tak mampu beli susu. Akhirnya, Mbah memberikanku air gula sebagai penggantinya,” kisah Emak.
”Kamu harus bersyukur. Tiap hari bisa makan nasi. Sawah Mbahmu dulu sering gagal panen. Kami, anak-anaknya, sulit makan. Kata Mbahmu, air gula dapat menahan lapar. Mbah Kakung, Mbah Putri, Emak, dan saudara-saudara Emak, sejak kecil telah terbiasa minum air gula dan terkadang teh manis,” tambahnya.
Emak mengidap sakit tanpa ada kata sembuh, kecuali keajaiban datang. Tuhan hanya menurunkan anugerah setidaknya setahun kepadanya untuk hidup. Ia berbaring tak berdaya di atas dipan dalam sebuah ruangan bercahaya redup. Terlampau kecil untuk menyebut ruangan itu sebagai kamar. Lebih mirip bilik-bilik dengan dinding berwarna biru, satu jendela, dua lemari, dan televisi yang terus menyala.
”Penyakit ini adalah kutukan,” tegas Mbah Putri. ”Perempuan-perempuan di keluarga kita harus menanggungnya. Dulu, buyut perempuanmu adalah kembang desa yg digandrungi jejaka-jejaka sedesa. Seorang kepala desa menyukainya dan ingin menjadikannya istri kedua. Buyutmu menolak. Akibatnya, Kades marah. Santet dan kutukan dikirim.”
Mbah Putri berkata-kata dengan sesenggukan yang menghebat. Tak tega melihat Emak yang tergolek melemah. “”Tak kurang-kurang perempuan cantik di keluarga ini. Semuanya kena tulah kutukan. Yu Mar, anaknya Yu Mar, Yu Ten, Bulekmu, dan sekarang Emakmu. Tanda-tandanya sama: bintik-bintik hitam di dada.”
Demi kesembuhan Emak, Mbah Putri pernah membawanya ke dukun. Dukun itu meminta Emak membuka kancing bajunya, membaca mantra dengan mulut berbusa dan mengoles-olesi dada Emak dengan ramuan. Setelah beberapa menit, Emak berjingkat-jingkat dengan dada diserang sengat-sengat panas. Seperti disengat puluhan kalajengking, kata Emak. Dukun itu lantas bercerita kalau ramuan itu terbuat dari campuran tumbukan lombok, remah-remah jahe, dan kertas doa-doa. Sepulang dari dukun, bukan sembuh yang datang, tapi dada yang melepuh. Sejak itu, Emak tidak percaya dukun. Ia mengupayakan jalan lain demi kesembuhannya.
***
Pada mulanya adalah sebiji kacang tanah. Hanya sebuah: digigit lekas remah, ditelan langsung musnah. Namun, ia bukan makanan dalam mulut, ia bersemayam dan berakar dalam daging dada. Dengan akar yang menjalar, biji kacang itu tumbuh, tumbuh dan tumbuh melalui pipa-pipa tubuh. Akar-akar menancap kekar, menyerap nutrisi-nutrisi jasad dan menghisap sari-sari raga.
Rina tahu pertama kali tentang biji kacang itu pada suatu siang sepulang sekolah. Tak ada seorang pun di rumah kecuali dirinya. Bapak-Emaknya masih di sawah. Ia hendak mencari sedikit uang saku yang biasanya ia curi dari balik tumpukan baju di lemari. Dengan uang itu, ia berencana membeli ayam geprek di kota kecamatan bersama dengan teman-temannya. Nihil. Dua kotak kayu telah ia buka dan ia tak menemukan apa pun, hingga sebuah laci yang biasanya hanya berisi buku nikah menarik perhatiannya. Laci terbuka. Ia dapati setablet obat.
Rasa penasaran menggaruk-garuk kepalanya. Dengan berbekal mesin pencari di hape-nya, ia mengetikkan nama obat. Gambar penuh kata-kata bombastis muncul di layar: Obat herbal! Solusi penyakit anda!, Terbukti! Sembuh tanpa operasi!, Ampuh! Siapa bilang harus dioperasi? Obat ini jawabannya!
Saat Emak pulang, Rina tak membahas tablet-tablet itu. Toh, selama ini, Emak tak pernah mengeluhkan sakit apa pun. Ia malah menyinggung uang untuk membeli makanan yang sedang digandrungi remaja-remaja desa itu.
Beruntungnya, Emak mengiyakannya. Di kemudian hari, Rina tahu tablet-tablet itu hanya bersifat membantu menghilangkan rasa sakit dan mengurangi efek bahaya dari biji kacang di dada Emak. Bukan cara utama yang seharusnya dilakukan.
Biji kacang itu tidak hanya sekadar biji. Ia adalah pembunuh terbesar kedua di dunia. Rina mengetahuinya dari guru IPA di sekolah. ”Kesembuhan hanya datang jika biji kacang telah dikeluarkan dari tubuhnya. Itu pun jika masih berupa biji,” kata-katanya terdengar seperti sabda agung.
Namun, semuanya sudah terlambat. Biji kacang itu, kini, tak lagi hanya sebiji, ia telah menjadi berbiji-biji. Mirip kepal-kepal bulat buah murbei. Hitam, lembek, dan busuk. Mereka telah merambat, menancap kuat pada raga dan mengikat tulang-belulangnya. Tubuhnya sulit bergerak. Tulang punggungnya tak lagi tegak. Duduk ia tak mampu. Berdiri ia tak sanggup. Hanya tergeletak di atas dipan yang bergemeletak.
”Apakah Emak bisa sembuh?” tanya Rina pada Bapak. Ia tahu pertanyaan itu hanya basa-basi belaka yang sudah ia dapati jawabnya. Rina kerap kali mencari jalan bagaimana memusnahkan biji kacang di tubuh Emak lewat internet dan berkonsultasi dengan gurunya. Akhirnya, Rina menarik simpul bahwa sabda gurunya adalah sebenar-benarnya jalan.
”Tugas kita adalah berusaha. Kita memohon dan menyerahkan semuanya kepada Tuhan,” jawab Bapak.
”Kalau doa tok, tidak akan sembuh, Pak. Harus ada tindakan. Emak harus dioperasi!” Rina memburu.
”Operasi itu menyakitkan. Kau mau ibumu menderita!? Kita pakai obat-obatan herbal. Lebih tidak menyakitkan. Dengan minum obat yang kemarin, benjolannya juga semakin mengecil.”
Rina dan Bapak sebenarnya pada posisi tahu-sama-tahu bahwa mereka berseberangan. Sudah dari dulu, Rina ingin Emak dioperasi dan sering berdebat dengan Bapak-Emak yang lebih memilih obat-obatan herbal. Bapak sering menunjukkan poster-poster bergambar testimoni-testimoni orang yang sembuh tanpa operasi. Rina mencibir bahwa poster-poster itu hanya bualan pelaris belaka. Rina tetap kukuh pada pendapatnya: operasi adalah satu-satunya jalan, tidak ada yang lain. Tetapi, apalah daya pendapat anak kelas satu SMA di hadapan keyakinan bebal orangtua. Ditambah lagi, operasi juga terhalang biaya yang tidak sedikit. Sekarang, semuanya sudah telat. Kesembuhan Emak hanyalah mukjizat.
***
”Emak tidak seharusnya minum air gula. Air gula tidak baik untuk kesembuhan Emak. Penyakitnya akan semakin ganas jika dialiri gula!” sergah Rina saat Emak merengek-rengek kehausan.
”Sudah. Buatkan saja! Laksanakan perintah Emakmu!” teriak Bapak.
”Tidak!” Rina mengeras, bergegas ke kamar dan menutup pintu rapat-rapat.
Dalam sunyi, terngiang-ngiang kata gurunya di kepala. Walaupun penyakit ini diturunkan, tetapi ia tidak akan tumbuh jika tidak didukung oleh gula. Memang, penyakit ini diturunkan dari generasi ke generasi, tetapi penyakit ini akan tumbuh dalam tradisi-tradisi keluarga yang terkutuk.
Selama puluhan bulan, sebiji kacang di dada Emak disirami dengan larutan gula, cairan-cairan manis dan air-air es dingin. Selama ratusan hari, sebiji kacang dalam tubuh Emak dipupuk dengan lodeh-lodeh yang dihangatkan berhari-hari, disuburkan dengan aneka gorengan macam tahu tempe yang selalu digoreng di wajan dan disemai dengan bumbu-bumbu micin pelezat pada makanan sehari-hari.
Baca juga: Penganan Sekali Sepekan
Sontak, Rina tersadar ia juga tumbuh dalam tradisi Emaknya. Ia langsung membuka kancing-kancing baju, menanggalkan tali pengait bra dan memandangi dua bukit dadanya yang tumbuh sempurna: bulat, ranum, dan mengembang. Putingnya menyembul tersenyum. Ia lantas meraba-raba dadanya, memegang-megangnya dan memijit-mijitnya. Lembut dan kenyal. Namun, ketika telunjuknya sampai pada dada kanan yang berdekatan dengan ketiak, ia menemukan sebuah benjolan kecil, seperti sebiji kacang.
Dok! Dok! Dok!
”Cepat buat air gula! Atau kupatahkan jari-jarimu, ha!?” Bapak berteriak dan menggedor-gedor pintu kamarnya dengan keras. Rina lekas memakai bajunya dan membuka pintu.
”Anak goblok! Disuruh ke dapur malah ke kamar!”
Rina berlari ke dapur. Ia menjerang air hingga mendidih, menuangkan dua sendok gula ke dalam gelas dan menyeduh butir-butir gula bangsat itu dengan air panas. Sambil mengaduk sendok dalam gelas, bulir-bulir matanya menetes. Ia menangis sejadinya-jadinya. Bahunya berguncang-guncang. Sengguknya tertahan. Emak sudah terlalu menderita. Ia tidak tahu harus berbuat apa lagi demi kesembuhan Emak. Ia merutuki nasib karena ia malah membunuhnya perlahan-lahan dengan seduhan larutan gula untuknya. Tiba-tiba, mata Rina terbelalak. Seonggok kertas bungkus meredakan isak tangisnya.
”Emak tidak boleh lebih menderita lagi,” batin Rina, lalu menuangkan serbuk racun tikus pada gelas berisi larutan gula.
***
M Rosyid HW
Lahir dan tinggal di Sidoarjo. Esai dan cerita pendeknya dimuat di berbagai media masa. Kumpulan cerpennya yang akan terbit ”Rembulan di Bibir Teluk dan Cerita Lainnya”.