Penganan Sekali Sepekan
Yuk Turmi dan Mas Sumin sudah tiga belas tahun menjalani rumah tangga.
Tidak ada satu orang pun yang menyangka hal ini akan terjadi pada Yuk Turmi. Perempuan asal Palembang ini adalah istri Pak Camat yang ramah dan baik hati.
Ia tidak suka dipanggil Bu Camat dan lebih senang dipanggik ayuk (1). Ia juga punya jadwal sekali sepekan untuk membuat penganan. Entah itu empek-empek adaan, tekwan, bubur pulut dengan santan, juga kadang yang pedas-pedas seperti seblak setan. Penganan itu ia bagikan ke tetangga. Ke rumah Mbok Mija yang sudah sebelas tahun menjadi janda, ke rumah Nyi Wiyem yang sudah lama sekali ditinggal mati suami, dan ke rumah tetangganya yang lain. Kebiasaan inilah yang membuat Yuk Turmi disenangi tetangga. Apalagi panganan yang dibagi tidak sedikit dan rasanya enak sampai bikin terbang ke langit.
”Uni Diah ini berlebihan sekali kalau memuji. Kalau Uni terbang ke langit, kasihan Uda Roni nanti tinggal sendiri,” kata Yuk Turmi kala itu di teras rumah Uni Diah—tetangganya.
”Ya, kalau sudah tinggal sendiri lalu cari ganti aku bisa apa, Yuk. Lain cerita kalau dia diam-diam nikah siri sama janda! Seperti suami tetangga.” Tiba-tiba Uni Diah menutup mulutnya lantas bertingkah serba salah.
”Tidak mungkinlah Uda Roni sebegitunya menyakiti Uni,” balas Yuk Turmi seketika, berusaha membuat suasana kembali seperti semula. Ia lantas pamit pulang pada Uni Diah dan mengangguk pelan pada Uda Roni yang baru muncul dari pintu depan.
”Hati-hati, Yuk! Terima kasih sekali lagi,” kata Uni Diah berbasa-basi.
Setelah Yuk Turmi menghilang dari pandangan, Uda Roni bergegas mendekati sang istri. ”Kamu itu bicara apa? Sampai Yuk Turmi tidak enak begitu mukanya.”
”Ya, bicara fakta. Padahal, tadi aku berharap bisa dapat berita baru untuk digosip dengan tetangga.”
”Fakta apa? Gosip apa dengan tetangga?”
”Tidak usah tahulah, Uda. Nanti Uda bikin perangai pula seperti suami tetangga!” kata Uni Diah yang lantas melengos masuk ke rumah.
Siang menjelang sore ketika Yuk Turmi akhirnya sampai kembali di rumahnya. Sepanjang jalan ia terngiang-ngiang kata Uni Diah. Entah bagaimana setiap pulang mengantar penganan ke rumah tetangga, hatinya jadi gelisah. Tingkah mereka seperti membalas bawaan Yuk Turmi dengan penganan lain—yang spesial, setiap pekan. Di sana ada rasa penasaran yang kadang sampai bikin curiga dan membakar dada. Lebih pedas dari seblak setan buatannya. Ia masuk lewat telinga yang selalu terbuka.
Yuk Turmi dan Mas Sumin sudah tiga belas tahun menjalani rumah tangga. Mereka menikah secara resmi di Kantor Urusan Agama dekat rumah Mas Sumin tanpa dihadiri pihak keluarga Yuk Turmi barang seorang. Mereka tak memberi restu—bahkan sampai sekarang. Jadi sudah jelas, tak ada yang terbang dari Palembang.
Selama belasan tahun berumah tangga, Yuk Turmi belum hamil sama sekali. Padahal, mertuanya sudah heboh berkata ingin menggendong bayi. Ketika hal ini dibicarakan pada suami, Yuk Turmi malah dimaki. ”Rahimmu itu tak bisa dibuahi!” Begitu Mas Sumin bicara pada Yuk Turmi.
Mengingat perkataan Mas Sumin yang menyakitkan, juga Uni Diah yang keceplosan, mendadak muncul pikiran yang bukan-bukan. ”Apakah Mas Sumin di luar sana main perempuan? Apakah ia mencari rahim lain untuk janinnya yang kemudian akan dilahirkan?”
Yuk Turmi juga menyadari, sudah sepekan ia sendiri di rumah ini. Tidak ada suami, apalagi suara bayi. Tapi ini bukan pekan pertama, sudah pernah terjadi juga pada pekan-pekan sebelumnya. Yuk Turmi selama ini tak punya kegelisahan apa-apa sebab ia percaya pada suaminya. ”Disuruh Pak Bupati mengawal Imron mengantar getah ke luar daerah. Kamu tunggu di rumah saja.” Hanya itu kata Mas Sumin dan istrinya itu tak pernah curiga.
Ke luar daerah yang dimaksud Mas Sumin nyatanya tak jauh-jauh dari kecamatan Sipuluh. Ia ada di kecamatan tetangga, di rumah seorang janda yang usianya masih muda, 22.
Uni Diah dan tetangga lainnya tahu ini berita. Hanya mereka diam seribu bahasa. Mas Sumin—Pak Camat itu, mengancam, ”Mau kubilang ke RT supaya kalian dipersulit untuk dapat bantuan? Mau tak kuurusi KTP kalian atau surat-surat kalau mau melamar pekerjaan? Sama Pak Camat jangan macam-macam kalian,” katanya.
Malang bagi Yuk Turmi, warga kecamatan Sipuluh rata-rata berekonomi rendah dan butuh sekali bantuan dari pemerintah. Belum lagi mereka suka sekali kalau urusan administrasi dipemudah. Jadi, warga bungkam sudah.
Tidak ada satu orang pun yang berani mengatakan perangai Mas Sumin pada Yuk Turmi. Hingga Mei berganti Juni, lalu diikuti bulan-bulan berikutnya hingga Januari. Mas Sumin pulang dan bertingkah layaknya seorang suami. Lalu barang sepekan ia akan pergi lagi, menginap di rumah seorang perempuan yang sudah dinikahi siri. Sedang kini Yuk Turmi hamil tua dan menunggu hari untuk melahirkan seorang bayi. Sedihnya lagi, tak ada pedulinya Mas Sumin, ia malah menuduh Yuk Turmi ada main dengan lelaki lain. Tapi Yuk Turmi sabar saja bersama yakinnya bahwa Tuhan akan membukakan mata suaminya.
”Tak bisakah sepekan ini kamu tak kemana-mana, Mas?” pinta Yuk Turmi.
”Tak bisa, Turmi. Pengiriman getah itu harus dikawal. Kalau tidak, nanti si Imron itu bisa menyeleweng.” Mas Sumin bergegas dengan kancing bajunya, ”Aku pergi. Lusa atau tiga hari lagi kembali,” katanya.
Tepat tengah malam setelah suaminya pergi, Yuk Turmi merasakan perutnya sakit sekali. Ia mencoba menelepon Mas Sumin, tapi teleponnya tidak dapat menyambung. Lantas ia menelepon Uni Diah. ”Uni, bisa antarkan saya ke bidan? Saya akan melahirkan.”
Sesaat setelah kata terakhir diucapkan, Yuk Turmi lemas bukan main. Ia terjatuh di teras. Untungnya Uni Diah segera sampai setelah menempuh hujan deras.
Malam itu berlalu dengan menyeramkan bagi seorang perempuan yang tengah bertaruh nyawa melahirkan. Tidak ada suami, bahkan sampai sepekan usia bayi Yuk Turmi, hanya Uni Diah yang menemani.
”Uni, bisakah antarkan saya ke Mas Sumin? Setiap pekan mengantar penganan ke tetangga, saya memikirkan Mas Sumin. Padanya, saya khawatir bukan main. Tentang mengantar getah yang dikatakannya, sebenarnya saya tak pernah yakin. Tapi saya percaya, Uni Diah dan tetangga lainnya tahu lebih dari saya.”
Perempuan paruh baya yang dahulu menjadikan kesusahan Yuk Turmi sebagai bahan gosip, kini malah berubah menjadi iba pada sesama wanita yang sedang diombang-ambing nasibnya. Ia baru terpikir, bagaimana jika ia berada di posisi Yuk Turmi, apa ia bisa setegar perempuan ini, apa ia bisa ikhlas dan tetap percaya pada sang suami? Lantas dengan sendu matanya ia berkata, ”Pulihkan benar tubuhmu ya, Yuk.” Uni Diah itu berusaha mengulur waktu.
Yuk Turmi akhirnya sampai pada sebuah perasaan. Entah itu cemas, penasaran, atau bisa jadi rindu yang tak tertahankan. Perempuan itu berjalan. Ia bertanya pada siapa saja yang ia temui di jalan, ”Apakah ada Mas Sumin melintas di pandangan kalian? Beri tahu aku di mana ia bisa kutemukan.”
***
Baca Juga: Laut yang Terancam
”Aku uwong (2) Palembang, Mas Sumin. Mungkin mestinya aku keras seperti yang orang lain pikirkan. Tapi suku tak jadi masalah untuk baktiku padamu. Kau suamiku, yang artinya bukan tempat menaruh curigaku.”
Tidak ada seorang pun yang akan menyangka ini akan terjadi pada Yuk Turmi, bahkan dirinya sendiri. Bahwa ia akan memberikan cincin pernikahannya pada Mas Sumin kembali, lantas berhenti menjalani hubungan suami istri. Yuk Turmi pergi.
”Turmi, apa kamu akan membawa bayimu serta?” Mertua Yuk Turmi ikut bicara.
”Tentu, Bu. Sebab anakmu sudah temukan rahim yang baru dan ibu sudah lama tahu.”
Mata Yuk Turmi menatap perempuan yang duduk rapat dengan suaminya. Mas Sumin, lelaki itu duduk gelisah—tak nyaman sebab masih mengenakan handuk yang basah. Di depan kontrakan perempuan simpanan, di depan mata warga sekecamatan.
Yuk Turmi tak marah pada suaminya, hanya kecewa. Ia tak meronta, hanya meneteskan air mata.*
Batam, 25 Mei 2021
Glosarium :
1. Ayuk = kakak (Bahasa Palembang)
2. Uwong = orang (Bahasa Palembang)
***
Maya Sandita, penulis yang berdomisili di Batam, Kepulauan Riau. Buku kumpulan cerpen terbarunya Ruang Tunggu (2021). Maya menjuarai berbagai lomba sastra berbahasa daerah Minangkabau. Salah satunya juara 1 dalam Lomba Menulis Sastra Minangkabau Tema Kaba tingkat nasional yang diadakan oleh Dinas Kebudayaan Sumatera Barat, dengan judul naskah Sambang Sambilan (2020). Maya bisa dihubungi via Instagram @sanditaisme, Facebook Maya Sandita, E-mail sanditacorp@gmail.com