Laut yang Terancam
Marsa yakin para kawanan nelayan itu tak berasal dari desanya. Kulit mereka begitu legam ditambah rambut kecoklatan yang tampak kentara.

Didie SW
Marsa berkeliling ke Tempat Palelangan Ikan (TPI) Panarukan. Perempuan bermata elang itu menyaksikan para nelayan yang baru saja pulang dari laut dengan membawa hasil tangkapan yang maksimal. Melihat keadaan itu, ia begitu senang. Puncak kesenangan itu, ia transfer kepada Suliman.
”Kamu sudah bekerja dengan keras. Pantas para nelayan mendapatkan hasil tangkapan sebanyak itu.”
Membaca pesan pamannya itu, senyum Marsa mengembang. Ia langsung mengenang satu windu setelah menjadi kepala laboraturium Samudra Mina Jaya. Laboratorium itu semacam menjadi pengingat hari libur nelayan melaut dengan memperhitungkan kalendar Madura. Tak hanya itu, laboratorium itu juga menjadi sarana untuk memperbaiki ekosistem laut yang juga memengaruhi tangkapan nelayan.
Marsa bersama timnya juga menggagas peraturan laut yang kemudian diajukan kepada para DPRD Situbondo. Pemangku kebijakan daerah itu langsung setuju dengan gagasan Marsa dan tim. Terlebih Marsa meminta perwakilan rakyat itu mengesahkan undang-undang perlindungan laut, terutama soal umur ikan yang bisa ditangkap dan larangan menggunakan bom ikan.
Umur ikan memang tak pernah diperhatikan sebelumnya oleh banyak orang, Marsa merasa itulah yang kurang terdeteksi sehingga ikan-ikan yang ditangkap nelayan begitu acak. Bahkan para anak ikan yang masih kecil ikut tertangkap akibatnya ikan menjadi sedikit di lautan. Untuk itu, Marsa dan timnya membuat alat pengukur usia ikan sekaligus berat dan panjang ikan. Alat itu semacam metal detector yang dipasang di depan pintu tempat penimbangan di palelangan.
Apabila, alat tersebut berbunyi, ikan berusia muda otomatis terdeteksi. Untungnya, alat tersebut belum pernah mendeteksi pelanggaran tersebut. Kalau soal larangan menggunakan bom ikan, Marsa telah tahu itu sejak lama.
Bahkan saat pamannya kecil, sudah sering nelayan menggunakan bom ikan. Apalagi, di masa-masa tera’an atau di antara tanggal 15-30 dalam kalendar bulan Madura. Masa-masa itu membuat nelayan tak bisa melaut akibat ikan yang tak muncul ke permukaan. Jika para nelayan memaksa ke laut, mereka tak akan mendapatkan apa-apa. Kecuali menggunakan bom ikan. Hanya saja, pelanggaran itu jelas merugikan ekosistem laut. Untungnya, ekosistem itu terkendali setelah Marsa menjadi kepala laboraturium.
Ponsel Marsa kemudian berdering pelan. Perempuan itu langsung mengibaskan kenangan tentang kiprahnya. Untungnya ponselnya membantu itu, jika tidak ia akan tenggelam dalam kenyamanan karena merasa paling wah.
Di ponsel yang sebening kaca itu, Marsa melihat pamannya sedang menelepon.
”Ada apa, Paman?” tanya Marsa, heran.
”Metal detector akan sebentar lagi berbunyi!”
Singkat. Padat. Jelas. Begitulah pamannya tanpa berbasa-basi.
Marsa kontan kembali memandang tempat palelangan yang seperti biasa saja. Tak ada pelanggaran apa pun. Akan tetapi, Suliman bukanlah tipe orang yang gampang bercanda. Pasti peringatan itu muncul karena institusi yang begitu kuat. Atau barangkali pamannya memantau sebuah kapal yang membawa ikan berusia muda dari jauh. Apa pun itu tak lagi penting bagi Marsa, ia harus segera mencari titik temu.
Dan, tiba-tiba, waktu menggulung dengan cepat memberi kabar pada Marsa yang dengan sabar menunggu peringatan pamannya menjadi kenyataan. Alarm peringatan berbunyi di palelangan. Tanpa disuruh, tim Marsa yang bertugas sebagai Keamanan Laut (Kamla) langsung bergerak ke palelangan ikan. Mereka meringkus kawanan nelayan yang baru saja hendak menimbang tangkapan hasil laut.
Para kawanan nelayan itu terdiam. Mereka seperti rusa yang terluka. Pasrah dan langsung menyerah begitu saja. Tentu jika mereka berusaha melawan, kekuatannya tak akan sebanding dengan Kamla yang begitu gagah perkasa.
”Bawa mereka ke ruang pengadilan di laboraturium,” putus Marsa.
***
Marsa yakin para kawanan nelayan itu tak berasal dari desanya. Kulit mereka begitu legam ditambah rambut kecoklatan yang tampak kentara. Namun, kehadiran mereka membuat geger TPI Panarukan pagi ini. Mereka telah membuat kekacauan sekaligus melanggar aturan laut yang sudah disepakati para anggota Dewan.
”Siapa ketua kalian?” tanya Marsa dengan manik matanya yang berubah semerah saga. Ia benar-benar tampak naik pitam.
Orang-orang itu terdiam. Seolah-olah mengaku kalah dan sadar apa yang telah dilakukan. Namun, kebungkaman itu tak boleh terlalu lama. Marsa menutut penjelasan.
Setelah tak mendengar jawaban, Suliman melipat jarak kaki dengan Marsa. Melihat pamannya datang, Marsa tak sekali pun heran, bagaimanapun pamannya merupakan orang penting di laboraturium sebelum akhirnya pensiun. Ia adalah pengendali IT yang tak tertandingi sepanjang zaman.
”Siapa ketua kalian?” tanya Marsa dengan manik matanya yang berubah semerah saga. Ia benar-benar tampak naik pitam.
”Mereka tak tahu akan aturan di wilayah kita, Marsa. Bukankah hukum tidak berlaku bagi orang yang tidak tahu?” Suliman langsung mengeluarkan titah membuat Marsa terdiam seketika.
Memang orang-orang itu tak tahu hukum, tetapi tak tahu bukan berarti diam. Mereka harusnya mencari tahu sebelum tiba di tempat ini.
”Mereka tetap harus dihukum, Paman.”
Suliman mengangguk-angguk mengerti. ”Kita serahkan sama pihak Kamla.”
Keterangan Suliman sekaligus menandakan bahwa intrograsi pelaku pengambil ikan di usia dini telah selesai.
Kamla kemudian membawa kawanan nelayan yang berjumlah sebelas itu. Kesebelasan itu hanya terdiam, tak satu pun berbicara. Mereka benar-benar seperti rusa yang tertembak panah. Tak bisa lari cepat ataupun sekadar mengerang kesakitan.
”Musuhmu selanjutnya bukan mereka,” tutur Suliman membuat Marsa mengernyit bingung. ”Selama delapan tahun ini, kamu berhasil membuat perairan di laut Panarukan tenang. Hanya saja, ombak bisa datang tanpa diprediksi. Begitu pun orang-orang yang mau merusak laut ini.”
Marsa memandang lekat-lekat wajah pamannya. Tak ada sedikit pun tanda-tanda bercanda. Netra pamannya berusaha menjelaskan keseriusan yang mendalam.
Marsa lalu memandang para petugas laboratorium yang menjaganya saat menginterograsi kawanan nelayan itu. Petugas yang memakai jas lab berwarna biru muda itu mengangguk mengerti. Kemudian, pergi tanpa permisi meninggalkan Marsa dan pamannya.
Suliman mengajak Marsa ke ruang IT. Kosong. Lenggang. Seolah-olah lelaki itu telah menyiapkan tempat itu untuk berbicara secara intens dengan Marsa.
Lelaki bertubuh legam akibat cahaya matahari itu langsung menunjuk pada layar monitor di salah satu komputer. Marsa langsung memandang gambar trisula yang dibuat pamannya. Trisula itu begitu cantik, tetapi ada bagian tengah yang dibuat lebih pendek dibanding kanan-kirinya. Bagian tengah juga memberikan ruang sebesar ponsel berukuran lima inci.

”Berikan ponselmu!” pinta Suliman.
Marsa memberikan ponsel itu dengan ikhlas. Lalu, si paman langsung meletakkan ponsel itu di papan tetikus. Kontan ponsel itu langsung berpindah ke arah trisula. Marsa kaget dengan apa yang dilihatnya. Ia merasa ponselnya seperti biasa dengan kepunyaan banyak orang.
Ponselnya memang keluaran baru. Strukturnya sebening kaca, tapi tak retak meskipun jatuh berjuta kali. Lewat ponsel itu, Marsa cukup menjetikkan jari untuk melihat keadaan laut melalui aplikasi Kawal Laut yang ia buat bersama tim. Kecuali peristiwa tadi, aplikasi itu seolah tak berguna.
”Kamu tadi tidak bisa mendeteksi kejadian pencurian ikan di bawah umur kan?” tanya Suliman membuat Marsa langsung mengangguk. ”Ponselmu diretas. Begitu juga Tim Laboratorium. Namun, mereka lupa tidak meretas ponselku.”
”Apakah mereka itu sebelas kawanan nelayan tadi?”
Suliman menggeleng lemah. ”Kawanan nelayan tadi adalah umpan. Mereka tak pernah tahu aturan wilayah ini. Mereka hanya ingin mengais rezeki.”
”Lalu?” Desak Marsa.
Suliman tak menjawab. Ia menggerakkan kursor ke arah trisula yang telah lengkap dengan ponsel Marsa. Lalu, lelaki itu menekan tombol enter. Beberapa detik kemudian, trisula keluar dari layar komputer. Semula berbentuk kecil, kemudian berubah setinggi Marsa.
”Ini senjatamu! Mereka tak akan meretas trisula ini! Mereka tak akan mampu.”
”Siapa yang dimaksud, Paman?”
”Para pengebom ikan. Mereka akan mengebom laut saat kalian sibuk dengan para kawanan pencuri ikan di bawah umur. Setelah mendapatkan ikan itu, mereka akan pergi ke pulau seberang.”
Marsa langsung mengangguk mengerti. Ia sangat percaya akan kekuatan tafsir pamannya atas kejadian. Sistem otak paman berbeda dengan manusia biasa. Ia telah dilatih khusus memecahkan persoalan laut. Kemudian, Marsa langsung memanggil beberapa petugas laboratorium. Mereka bergerak ke tengah laut. Suliman juga mengikutinya.
”Tugasmu cukup menenggelamkan mereka, Nak. Kita tak perlu banyak bicara. Para perusak alam tak perlu diberikan kesempatan untuk kembali merusak lagi.”
”Baik, Paman.”
Setelah timnya siap, pergerakan langsung dimulai. Mereka menggunakan kapal selam yang berwujud ikan hiu besar. Di kapal itu, layar kapal selam segera menemukan titik aneh. Titik aneh itu dibaca Suliman sebagai calon lokasi pengeboman. Kapal selam yang terparkir di bawah laboraturium itu langsung meluncur cepat. Kemudian, langsung ke permukaan tepat di hadapan para perusak laut. Para perusak laut itu kaget dengan hiu yang begitu besar. Mereka seperti menemukan harta karun terpendam.
”Kita keluar. Kamu cukup mengarahkan trisula itu ke dalam laut. Lalu, ombak akan menggulung kapal mereka.”
”Kekuatan trisula ini sangat kuat, Paman? Macam trisula Dewi Rengganis di cerita rakyat saat melawan musuhnya.”
Suliman tertawa sejenak. ”Memang itu trisula yang kubuat mirip dengan di masa lalu. Hanya saja, kekuatannya juga ditambah oleh ponselmu yang begitu berbeda dengan manusia kebanyakan. Ponsel itu akan memberikan daya sengat listrik berjuta volt sekaligus dapat menciptakan ombak. Kamu cukup membuat mereka terkejut, lepas itu kita biarkan laut berbicara akan nasib mereka.”
Marsa mengangguk mengerti. Ia dan Suliman keluar dari kepala hiu. Para calon pengebom ikan itu kontan terkejut. Akan tetapi, Marsa tak membuang waktu. Ia melakukan titah pamannya. Dan, ombak kemudian menggulung para pelanggar hukum laut itu.
Selepas itu, tawa meledak di antara Marsa dan Suliman bahkan saat mereka kembali ke dasar kapal selam.
Baca juga : Melukis Ulang Kampung Item
”Kamu telah terpilih, Nak. Kamu yang akan menjaga lautan ini. Tak hanya di Panarukan, barangkali di Situbondo hingga pantai di ujung Timur Jawa lainnya. Kekuatan trisula Dewi Rengganis memiliki struktur yang sama dengan yang kamu miliki. Terlebih ponselmu akan menjadi alarm jika ada bahaya.”
Marsa mengangguk mengerti. Ia langsung mengambil kembali ponselnya di trisula. Kemudian, pesan menggunakan aksara Madura kuno berhasil dibacanya. Di sana tertulis jelas jika trisula itu tak mungkin berhasil diciptakan, jika komponen trisula masa lalu tidak ditemukan Suliman. Pun, yang menggunakan harus orang pilihan si pemilik asli di masa lalu.
Membaca itu membuat Marsa senang menjadi orang pilihan. Ia pun akan berusaha menjadi perwakilan pengadilan laut demi kebaikan masyarakat di wilayah kekuasaannya. Dan, dengan trisula ciptaan teknologi itu, ia pasti akan lebih mudah menjaga kedaulatan laut.
***
Gusti Trisno, alumnus S-2 Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Negeri Malang. Ia menjadi Pemenang Harapan dalam Kompetisi Menulis Cerita Bergambar yang diselenggarakan oleh Kemendikbud. Buku terbarunya berjudul Seperti Skripsi, Kamu Patut Kuperjuangkan (Elexmedia Komputindo).