Melukis Ulang Kampung Item
Kampung Item nama julukan kawasan yang entah sejak kapan disematkan. Mungkin karena aliran sungai berair hitam yang membelah kantong permukiman di tengah kota itu.
“Kamu enggak cocok jadi warga kampung sini. Kalah lagi hehhh!” gertakan Wanto diarahkan kepada lelaki di hadapannya. Kancil, si kurus yang disasar itu, beda telak dengan Wanto, kakaknya yang bertubuh gempal, berkulit gelap, rahang menonjol. Keduanya saudara sekandung yang tak kenal ibunya sejak balita, sedangkan bapaknya lebih sering menghilang daripada tinggal di rumah bilik pengap di Kampung Item.
Sore itu, Kancil lunglai di dingklik kayu rapuh sisa bongkaran. Wajahnya yang tirus melebam, tubuhnya bersandar miring hampir rebah, tarikan napasnya naik turun tak beraturan. Ia baru saja adu pukul dengan sejumlah pemuda kampung lain, berebut secuil lahan parkir di pasar sayur. Wanto benar, adiknya dan dua temannya kalah lagi. Beruntung mereka masih lolos dari sabetan badik.
Lagi? Iya, lagi. Entah ini perkelahian keberapa dalam hidup Kancil yang memasuki usia 18 tahun. Yang ia ingat, lebih sering kalahnya daripada sukses memukul, apalagi merobohkan lawan. Bahkan, ia tak ingat lagi kapan kemenangan terakhirnya berkelahi. Itulah kenapa Wanto menjulukinya pecundang. Ya, selalu kalah.
“Mending jadi badut saja sana,” Wanto mengejek. Kancil membisu. Bau alkohol menyeruak bersama kepulan pekat asap rokok yang diembuskan Wanto, bersekongkol dengan bau tak sedap aroma sungai gelap keruh di sisi kampung. Wanto tidak menyukai kekalahan karena menunjukkan kelemahan. Tetapi, itu urusan adiknya, bukan dirinya.
Kancil menerima saja julukan pecundang atau apapun itu, yang telah menjadi label di antara mereka. Toh ia memang hampir selalu kalah adu jotos. Namun, ia punya pembelaan karena perawakannya kecil dan pendek, yang juga menjadi ikhwal kenapa ia dipanggil Kancil, sedangkan Wanto yang tiga tahun lebih tua menjelma menjadi pentolan kampung. Satu kesamaan mereka dengan warga kampung lain, punya nyali besar menghadapi kerasnya hidup, jika nyali yang dimaksud adalah hidup mengalir begitu saja tanpa perencanaan.
Kampung Item nama julukan kawasan yang entah sejak kapan disematkan. Mungkin karena aliran sungai berair hitam yang membelah kantong permukiman di tengah kota itu. Atau, mungkin satire pada gelapnya masa depan warga kampung itu. Di sana, rumah-rumah berimpitan di antara gang-gang selebar sepeda motor berhiaskan tali jemuran tak beraturan berikut aneka cucian bergelantungan. Anak-anak tumbuh besar dengan realitas sosial bahwa keindahan itu surealis, tidak nyata. Hidup ini wajib diperjuangkan dengan segala cara meskipun hasilnya akan begitu-begitu saja, sebagaimana orangtua dan warga dewasa di sana melakukannya. Tak ada tempat bagi kelemahan, apalagi berharap belas kasih.
Baca juga : Aldrich dan Mimpinya Menjadi Wordsmith
Tak satu pun keluarga di kampung itu orang kantoran bergaji besar plus bonus melimpah, apalagi wiraswastawan kelas menengah. Tak pula ada generasi muda tamatan perguruan tinggi. Dua gambaran sukses di sana hanyalah Yudi “Buntut” si juragan togel dan Tono “Calo” yang makelar apa saja. Selain mereka, Kampung Item adalah rumah bagi pengangguran, kuli pasar, tukang becak, dan pekerja serabutan seperti buruh gendong, tukang gali, hingga pesuruh apa saja. Para perempuan banyak tinggal di rumah saja, menjadi buruh cuci, atau pramusaji di kelab malam kecil dengan upah di bawah standar.
Itu pula yang membuat warga kampung yakin bahwa keberanian dan pekerjaan fisiklah yang akan menopang hidup, bukan pekerjaan bermodal harta apalagi pendidikan tinggi. Jauh dari bayangan dunia Kampung Item. Ora obah, ora mamah alias hanya dengan berjuang maka kamu bisa makan.
Anak-anak pun secara tidak sadar atau sadar merekam semua itu. Semboyannya, berani berbuat berani menanggung segala risiko yang ditimbulkan. Lalu, selesaikan sendiri masalahmu karena orangtua kalian bukanlah siapa-siapa dalam struktur kekuasaan di kota. Dan, berkelahi hanyalah salah satu nilai hidup awal yang mereka kenal sejak dini. Itulah perwujudan nyata dari berani hidup. Kalah menang urusan mburi, urusan belakangan.
Itu pula yang membentuk Wanto dan Kancil, juga siapa saja yang tumbuh besar di sana. Sakitnya fisik karena berkelahi atau tawuran bukanlah persoalan. Terluka adalah sisi mata uang kerasnya hidup yang mereka hadapi hari ini, esok, lusa, atau hari kemudian. Berkelahi juga menjadi jalan menyelesaikan masalah.
Sejak kanak-kanak, mereka sudah dijadikan “jangkrik aduan” para pemuda kampung. Yang menangis diolok-olok hingga berani bangkit lagi, memukul lagi, sampai dianggap cukup para “penonton” yang mengelilingi. Setelah itu, mereka menguji keberanian hidup berikutnya, berkeliaran di jalanan, pasar, makam lokalisasi liar, atau mencoba segala sesuatu yang baru dan memabukkan dalam arti sesungguhnya.
Maka dari itulah Kancil dan hampir seluruh generasi muda di sana akrab, bahkan bersahabat atau kebal dengan rasa sakit. Slogan mereka “raraireg” alias “lara ora marai wareg”, sakit tidak akan bikin kenyang. Kalau mau kenyang, jangan takut sakit. Menangis, apalagi. Tabu!
Selain berkelahi, trik lain yang membentuk cara bertahan hidup adalah berbohong. Kebohongan bukanlah musuh dari sebuah kejujuran, karena kejujuran tak akan mengubah nasib. Nasib diperjuangkan, lagi-lagi dengan segala cara. Sejak kecil mereka ditempa meniti jalan menjadi berani, dimulai dengan mengutil penganan di pasar, kios-kios kecil, mencuri sandal atau kotak amal di mushala.
Kancil sesungguhnya menolak atau sadar bahwa ia tak sepenuhnya serupa dengan gambaran generasi Kampung Item. Ia sadar betul itu. Berkelahi lebih sering kalah, menenggak sedikit alkohol atau secuil pil koplo sudah teler, mencuri tak punya nyali, berbohong jelas bukan keahliannya. Pernah suatu malam, dalam ritual ujian kedewasaan di makam Cina yang dijadikan lokalisasi liar, Kancil yang masih kelas 1 SMP malah terjerembab di lubang makam karena teler berat, lalu ditolong waria yang seharusnya memberinya layanan perdana.
Bukannya iba, teman-temannya yang menjadi mentor hidup di jalanan malahan terbahak-bahak. Kejadian itu menjadi legenda konyol si Kancil yang selalu menjadi lelucon berkelanjutan di antara mereka. Di dalam hati, Kancil mensyukuri kejadian malam itu, karena ia pun sesungguhnya merasa ada yang keliru. Bukan karena rasa berdosa, jijik, aib, atau hal-hal lain seperti dijejalkan para pengkhotbah. Lebih karena ia merasa tak nyaman terlalu cepat dipaksa menjadi dewasa.
Kancil memiliki ketertarikan berbeda, bahkan tergolong tak lazim di kampung keras itu. Sejak kecil ia suka menggambar dan berimajinasi. Sebenarnya, ia terhitung pintar secara akademis di kelas, tetapi tidak ditopang lingkungan hingga akhirnya memilih mengakrabi dunia seni yang lebih luwes. Di sekolahnya, ia beberapa kali mewakili lomba menggambar antarsekolah yayasan dan tak jarang menang. Ia juga menekuni teater dan pantomim, sesuatu yang kerap menjadi olok-olok di Kampung Item. Itu pula yang membuat Wanto menyebutnya badut.
Semua pencapaian dalam lomba-lomba seni jelas bukanlah bentuk sebuah prestasi bagi warga Kampung Item. Apalagi dibangga-banggakan. Hidup ini keras, tak bisa ditaklukkan dengan laku-laku lain selain kekuatan fisik dan keberanian, jika perlu nekat.
Kancil memiliki ketertarikan berbeda, bahkan tergolong tak lazim di kampung keras itu. Sejak kecil ia suka menggambar dan berimajinasi. Sebenarnya, ia terhitung pintar secara akademis di kelas, tetapi tidak ditopang lingkungan hingga akhirnya memilih mengakrabi dunia seni yang lebih luwes.
Tak peduli itu semua. Kancil abaikan konsesi kekerasan dan olok-olok itu. Kali ini ia bertekad melanjutkan melatih anak-anak usia sekolah di Kampung Item bermain peran, dalam sebuah drama sederhana setelah membaca pengumuman di Pusat Balai Budaya tentang lomba pentas seni budaya antarkampung yang akan digelar di Balai Kota dalam rangka peringatan ulang tahun kota. Tak lama lagi.
Namun, sekalipun yakin melangkah, ia merasa perlu mengadu, mengumpulkan energi. Jika sudah begitu, ia tahu kemana harus menuju. Hanya ratusan langkah dari mulut gang Kampung Item.
“Tidak usah jadi pikiranmu,” kata Wasih, perempuan setengah baya itu.
“Tapi aku, kan bukan badut, bulik”. Kancil terdengar seperti merengek.
“Wanto masmu itu, kan, hanya asal ngomong.” Wasih menyodorkan segelas cairan hitam beraroma kuat yang biasa ditemui di kios-kios jamu, sahabat akar rumput kota.
Perempuan yang dipanggil bulik itu sudah seperti ibu bagi Kancil. Sehari-hari ia menjaga warung gerobak hingga dini hari. Wasih pula yang sejak kecil merawat, menjaga Wanto dan Kancil. Tak jarang ia menginap di bilik pengap itu, juga ketika ayah keduanya sedang berada di bilik bersekat itu.
“Kamu mirip ibumu,” ujar si bulik.
“Ibu, yaa...” Kalimat itu terpotong. Pikiran Kancil menerawang jauh.
Ia tak punya kenangan sama sekali tentang ibu. Bahkan, definisi seorang ibu pun ia belum paham benar. Ia bingung ketika teman-temannya di sekolah dasar dulu berceloteh riang tentang sosok ibu yang memandikan, menidurkan, menyiapkan sarapan, mengantar sekolah, bekerja, atau mengambil rapor. Kancil hanya tahu sosok itu ada pada bulik Wasih, itupun tak sepenuhnya utuh.
Dari Wasih pula ia tahu jika ibu kandungnya pergi meninggalkan rumah sejak ia bayi. Perempuan itu seorang penari ledhek tradisional yang mencari nafkah bersama kelompoknya dari kampung ke kampung. Turut berjuang menafkahi keluarga kecilnya, pada akhirnya perempuan tangguh itu tak tahan lagi menghadapi perangai suaminya, pekerja serabutan temperamental dan terlalu mencintai judi dan alkohol. Hampir tiada hari tanpa adu mulut jika keduanya sedang satu atap.
Hingga suatu pagi buta, sembari menenteng tas kain kecil, ia mengetuk pintu rumah Wasih. Tubuhnya kuyu, matanya sembab, entah menahan sakit, pedih, atau sedih. Atau, lebih dari itu. “Nitip bocahku, ya, sih,” katanya sesenggukkan. Wanto kecil masih terlelap di rumah. Lalu, ia menghilang meninggalkan sekaleng susu, hampir 18 tahun lalu. Tak ada kabar berita. Entah kini di mana.
“Cil, malah ngelamun ki piye, tho?”
“Ohh…nggak kok bulik.” Kancil tersadar. Minuman hitam tadi tandas dalam sekali teguk. Sensasi hangat menjalar dari kerongkongan, dada, hingga seluruh tubuhnya di malam gerimis itu.
“Kampung ini butuh orang seperti kamu, Cil. Bocah-bocah yang latihan drama itu kelihatan senang bukan main. Bulik belum pernah melihat rasa bungah seperti itu di sini. Kalau perlu beli perlengkapan buat lomba, omong saja. Piro?”
“Mboten, lek. Cukup”.
Kancil sungguh merasa beruntung memiliki bulik Wasih. Perempuan itu pula satu-satunya yang menangisinya ketika sebulan lebih menghilang bersama gerombolan kecil sebayanya untuk sebuah petualangan. Mereka jadi penumpang gelap kereta, “nggerenjeng” menyinggahi sejumlah kota di Jawa Tengah, hidup dari mengamen dan mengutil, lalu tidur di mana saja. Kembali ke kampung, remaja-remaja itu menemui kenyataan bahwa tak satupun keluarga mereka merindukan. Hanya si bulik yang menginterogasi Kancil dan memintanya bersumpah tidak akan melakukannya lagi. Dan, seperti sebuah mantra: kasih sayang tulus tak pernah sia-sia.
Sejak itu, Kancil tahu apa arti dirindukan dan dicintai, meskipun ia tidak bisa memahami sepenuhnya pengalaman perasaan itu. Seperti mati rasa, meskipun tidak benar-benar mati. Mungkin, ya mungkin, karena itu pulalah yang membuatnya berbeda dengan Wanto dan generasi muda kampung itu.
Perasaan itu juga yang membangkitkan energi melatih anak-anak setulus hati. Ia membiarkan mereka menjadi dirinya sendiri, dengan keceriaan sealami mungkin, hingga saat tampil dalam lomba pentas seni. Keperluan kostum dipinjam dari teater sekolah, pupur basah putih menghiasi wajah-wajah polos itu untuk membentuk berbagai ekspresi.
Kancil bahagia dengan proses dan keceriaan anak-anak yang menghidupkan kampung selama latihan di lahan kosong di tepi sungai berbau. Hasil lomba di Balai Kota bukanlah tujuan akhir, karena ia hanya ingin nama Kampung Item setidaknya pernah disebut dalam sebuah peristiwa di luar hal yang berurusan dengan kriminalitas dan masalah sosial perkotaan. Itu saja.
***
Siang di akhir bulan itu, suasana Kampung Item geger lagi. Sejumlah polisi tak berseragam berjaga-jaga di mulut gang. Sebagian keluar masuk rumah-rumah warga mencari barang bukti untuk dua kasus: narkoba dan duel antarpemuda.
Sesungguhnya, penggerebekan kasus narkoba bukan hal baru di sana. Sebelum-sebelumnya, warga yang ditangkap dengan tuduhan bandar narkoba –meskipun sesungguhnya hanya pengedar dan kurir kelas teri- akan kembali muncul di kampung setelah membayar tebusan sejumlah rupiah. Yang tidak sanggup, makan minum gratis di penjara 1-2 tahun.
“Aku dengar lagi ada pejabat aparat baru,” bisik salah satu warga di antara kerumunan kecil.
“Iya, aku disuruh diam dulu.” Yudi “Togel” bertestimoni.
“Tiarap dulu, ya.” Warga lain mengulum senyum.
Baca juga : Ling
Begitulah yang terjadi di Kampung Item, penggerebekan kasus narkoba atau perjudian menjadi semacam siklus tak teratur, menyesuaikan adanya rotasi pejabat korps seragam coklat level kota atau provinsi. Lalu, beberapa pekan kemudian, semua kembali pada ritme seperti biasa.
Namun, kali ini ada kasus lain, perkelahian berdarah melibatkan Wanto. Ia menjadi buronan setelah duel berdarah yang menewaskan lawannya. Wanto sendiri menghilang, sehingga sejumlah polisi menggeledah bilik rumahnya. Kancil yang siang itu berada di rumah, turut digiring ke markas kepolisian untuk dimintai keterangan sebagai saksi.
Didampingi Wasih, Kancil bersiap pergi, ketika sejumlah bocah pentas dramanya membawa kabar bahwa mereka kampiun lomba pentas seni budaya antarkampung. Kabar mengejutkan itu datang bersamaan ketika Kancil harus menjadi saksi jalan kekerasan Wanto, wajah Kampung Item. Kancil yang sudah ditunggu petugas, meminta anak-anak itu memastikan lagi kebenaran kabar ke panitia lomba di Pusat Balai Budaya, tak jauh dari Kampung Item, sekitar 30 menit saja berjalan kaki.
“Balai Budaya? Di mana?”
“Sebelah mana pasar? Makam Cina?”
Anak-anak itu saling melempar tanya, bingung. Kancil tak tahu persis harus bersedih atau bahagia dengan kepolosan mereka. Segera ia tersenyum, terbayang lukisan baru Kampung Item yang saat itu masih berupa sketsa.
***
Gesit Ariyanto adalah pekerja media yang tinggal di Tangerang Selatan.