Ling
Ling menangis, setelah berhasil mengurungkan niatnya bunuh diri bersama janin yang dikandungnya, yang saat itu sudah berumur lima bulan. Janin itu sudah sering bergerak-gerak.
Ling ingin bunuh diri, setelah mengetahui hasil tes kehamilannya yang ternyata positif. Bayang-bayang dirinya melahirkan anak yang tak jelas siapa ayahnya, sungguh sangat mengerikan. Tubuhnya sering menggigil ketakutan dan bersimbah keringat dingin, setiap kali bayang-bayang itu melintas di benaknya.
Ling kemudian membeli sekaleng racun serangga, dan siap menenggak racun itu di dalam kamar yang pintunya telah dikunci. Tapi tiba-tiba niatnya mengakhiri hidupnya itu urung dilaksanakan.
Ling menangis, setelah berhasil mengurungkan niatnya bunuh diri bersama janin yang dikandungnya, yang saat itu sudah berumur lima bulan. Janin itu sudah sering bergerak-gerak. Sekilas ia teringat kisah Bunda Maria yang tiba-tiba hamil meskipun tak punya suami dan akhirnya tabah menjalani proses kehamilan hingga pada akhirnya melahirkan seorang putra.
“Mungkin Tuhan sengaja memberiku anak lewat tragedi mengerikan itu,” gumam Ling sambil mengenang tragedi kemanusiaan yang menyertai kerusuhan besar yang melanda Jakarta dan beberapa kota lain terkait gerakan reformasi politik yang menumbangkan rezim Orde Baru.
Siang itu, Ling baru saja habis makan siang di rumahnya yang bersebelahan dengan toko yang dibakar massa. Tiba-tiba pintu depan rumahnya didobrak sejumlah pria kekar. Setelah pintu depan jebol, mereka langsung menyergap Ling yang sedang berdiri ketakutan di tengah ruang makan. Tanpa bicara, mereka langsung menggilir Ling di atas meja ruang makan. Mereka tak peduli Ling menangis menjerit-jerit. Mereka betul-betul beringas dan tak mengenal belas kasihan.
Setelah puas melampiaskan nafsunya, mereka kabur entah kemana. Beberapa jam kemudian Ling dievakuasi tim relawan kemanusiaan. Ling kemudian menjalani terapi psikis untuk menyembuhkan trauma yang dideritanya. Tapi trauma itu sepertinya mustahil tersembuhkan.
***
Ling agak terlambat menerima berita duka atas tewasnya kedua orangtua dan saudara-saudaranya yang kebetulan sedang belanja di sebuah swalayan yang terbakar hebat. Jenazah mereka semua hangus bersama ratusan pelayan swalayan itu.
Setiap kali merenungi tragedi itu, sejumlah pertanyaan berhamburan di benak Ling. Kenapa reformasi politik harus menelan banyak korban? Perubahan apa yang telah terjadi setelah reformasi politik itu?
Setelah itu, bukankah korupsi justru makin merajalela? Bukankah sejumlah aktivis yang semula berada dalam barisan pejuang reformasi, setelah berhasil duduk di kursi empuk legislatif dan eksekutif sekarang malah ikut-ikutan korupsi dan bahkan sudah ada yang masuk bui?
Ling geram menahan dendam dan kecewa. Tapi rasanya sia-sia saja dendam dan kecewa itu dipelihara di dalam hatinya yang telah hancur dan mengidap trauma kronis yang tak tersembuhkan.
Ling kemudian berusaha untuk pergi meninggalkan negara ini. Sebuah yayasan membantunya untuk tinggal di Singapura agar dirinya bisa melahirkan dan mengasuh anaknya dengan lebih nyaman. Tapi Ling tak betah tinggal di luar negeri. Bahkan tiba-tiba dirinya merasa pengecut karena harus meninggalkan negara tercintanya. Bagaimanapun Indonesia adalah negara tempatnya dilahirkan dan dibesarkan.
Baca juga : Tanpa Air Mata
Ling kemudian ingin melahirkan bayinya di Jakarta, di rumahnya sendiri, meskipun rumahnya itu pernah menjadi tempat terjadinya tragedi yang membuatnya menderita lahir batin. Rumah itu satu-satunya warisan kedua orangtuanya, kini sepenuhnya jatuh ke tangannya, karena semua saudaranya telah tewas.
Ling ingin melahirkan dan membesarkan anaknya itu, di rumahnya sendiri. Ling tak ingin ke mana-mana lagi. Rumahnya terletak di pinggir jalan raya, bisa disulap menjadi rumah toko atau ruko. Bagian depan untuk toko, bagian belakang untuk rumah tempat tinggal, sebagaimana lazimnya ruko.
Begitulah. Ling berhasil melahirkan seorang bayi perempuan di rumahnya sendiri dengan ditolong bidan terdekat. Bidan mengerti bahwa bayi yang dilahirkan Ling tak punya ayah yang jelas. Lalu Bidan sering menasehati Ling bahwa bayinya harus diasuh dengan baik-baik.
“Kalau suatu saat bertanya tentang ayahnya, kamu boleh berbohong bahwa ayahnya sudah wafat. Tapi jika kelak sudah dewasa dan bertanya lagi di mana makam ayahnya, jawab saja bahwa ayahnya wafat menjadi korban tragedi kemanusiaan yang pernah terjadi di Jakarta ini.” Bidan bertutur dengan suara mantap.
Ling hanya mengangguk lesu. Hatinya masih galau.
“Akan kubantu anakmu memperoleh akta kelahiran yang mencantumkan nama ayahnya, biar dia percaya bahwa dirinya punya ayah. Kamu boleh memilih nama ayah bagi anakmu sesuai dengan keinginanmu.” Bidan kembali bertutur.
Ling bingung memilih nama laki-laki yang akan tertulis di dalam akta kelahiran anaknya, karena semua laki-laki yang memperkosanya tidak dikenalnya. Mereka berasal dari mana, Ling tak pernah tahu.
“Tak usah bingung. Banyak nama laki-laki yang bagus-bagus yang bisa kamu pilih satu.” Bidan bicara lagi.
Ling kemudian memilih sebuah nama laki-laki yang akan tertulis di dalam akta kelahiran anaknya. Leonardo.
Bidan terbelalak gembira sambil melafalkan sebuah nama laki-laki yang terdengar seperti nama asing tapi sudah banyak dipakai di negeri ini. Ya, Leonardo. Nama yang cukup keren, tanpa berbau rasis.
Tragedi kemanusiaan itu kian terlupakan. Kini Ling merasa agak bahagia karena anaknya sudah menjadi seorang gadis dewasa yang manis. Tapi anaknya mengidap perilaku aneh. Ling sering menebak-nebak bahwa perilaku aneh anaknya itu mungkin akibat trauma yang dideritanya.
Perilaku aneh yang diidap anaknya adalah selalu membenci berita politik yang dimuat koran maupun yang ditayangkan teve. Bahkan karena sangat bencinya, anaknya sering menyobek-nyobek koran yang memuat berita politik.
Anaknya juga sering mematikan teve dan membanting remote control begitu teve yang sedang ditontonnya tiba-tiba menayangkan breaking news tentang peristiwa politik yang sedang terjadi dan perlu diketahui oleh publik.
Bahkan anaknya tak pernah mau melihat gedung DPR sehingga jika terpaksa lewat di jalan tak jauh dengan gedung DPR itu selalu memejamkan mata rapat-rapat.
Ling pernah bertanya, kenapa anaknya sangat membenci berita politik dan hal-hal lain terkait politik. Anaknya hanya bungkam dengan mimik muak. Ling kemudian mencoba mengerti bahwa anaknya betul-betul amat sangat membenci politik.
Namun, hidup di Jakarta tentu akan selalu tersiksa jika amat sangat membenci berita politik dan semua hal yang berkaitan dengan politik, karena Jakarta merupakan pusat pemerintahan. Itulah sebabnya, Ling pernah didesak anaknya untuk menjual rumah tokonya untuk kemudian dibelikan rumah dan toko di kota lain.
Tapi Ling tak akan menjual rumah tokonya itu. “Mama pernah bersumpah anak tinggal di rumah ini sampai akhir hayat. Kelak kalau Mama sudah wafat, terserah kamu kalau ingin menjual rumah toko ini.” Ling bicara tegas kepada anaknya.
“Kenapa Mama bersumpah ingin menempati rumah ini sepanjang hayat?” tanya anaknya.
“Rumah ini tempat Mama bertemu dengan Papamu sehingga membuatmu ada di dunia ini. Jadi wajar dong kalau Mama ingin menempati rumah ini sepanjang hayat, karena Papamu sudah wafat.” Ling memberi argumentasi rasional yang membuat anaknya maklum.
***
Kini Ling merasa makin bahagia melihat anaknya sebentar lagi jadi sarjana. Tapi Ling sering mengenang masa lalu ketika dirinya hendak bunuh diri dalam keadaan hamil. Andai niat bunuh diri itu tak diurungkan, tentu sekarang dirinya sudah berada di alam baka bersama anaknya.
Ling sering tersenyum-senyum sendiri menghibur dirinya yang berhasil membesarkan anaknya. Saran Bidan untuk membohongi anaknya pun berhasil dilaksanakan dengan baik.
Sering Ling merasa berdosa karena telah membohongi anaknya. Namun Ling percaya bahwa Tuhan pasti mengampuni dosanya itu, karena kebohongan yang dilakukan merupakan keterpaksaan demi kebaikan anak gadisnya.
Ling juga sering tersenyum-senyum sendiri setiap kali ia tiba-tiba rindu kepada sejumlah pria kekar yang pernah memperkosanya. Rindunya hanya ingin bertemu dengan mereka dan kemudian memastikan siapa di antara mereka yang berhasil membuatnya hamil. Dengan tes DNA misalnya tentu dirinya akan bisa menentukan pria mana di antara mereka yang memiliki gen sama dengan dengan anaknya.
Ling juga sering membayangkan bahwa sejumlah pria yang pernah memperkosanya merasa berdosa dan ingin meminta maaf serta bersedia bertanggung jawab. Dan karena itu, Ling ingin menempati rumahnya itu sepanjang hayatnya, dengan harapan suatu saat bisa bertemu dengan salah satu pria yang pernah memperkosanya. Siapa tahu, di antara mereka tiba-tiba datang di tokonya, lantas bertemu dengannya, kemudian mengaku pernah ikut memperkosanya?
Suatu siang, ketika sedang berada di tokonya yang menjual busana anak-anak dan mainan itu, Ling melihat seorang pria bersama seorang anak gadis hendak membeli busana anak-anak dan mainan.
Ling menatap pria itu sambil mengingat tragedi yang pernah menimpanya. Sekilas wajah pria itu pernah dilihatnya. Lantas Ling menatap wajah anak gadis yang nampak sangat manja kepada pria itu. Wajah anak gadis itu sangat mirip dengan wajah anaknya.
Tiba-tiba Ling kaget melihat anaknya pulang kuliah dan langsung masuk toko. Anaknya terkejut melihat anak gadis yang datang bersama ayahnya yang sedang sibuk memilih busana anak dan mainan yang hendak dibelinya.
“Ma, gadis itu wajahnya sangat mirip dengan wajahku, ya?”
Ling mengangguk. “Ya, kamu dan dia seperti anak kembar.”
“Siapa tahu papaku punya hubungan saudara dengan ayah gadis itu, Ma?”
Ling tiba-tiba gugup. Tubuhnya bergetaran. Dan ketika pria yang datang bersama anak gadisnya itu mendekatinya hendak membayar busana anak dan mainan yang telah dipilihnya, Ling makin gugup.
Pria itu tiba-tiba tersenyum kepada Ling dan anaknya. “Anakmu dan anakku sangat mirip, seperti anak kembar, ya?”
Ling berusaha menahan gugup.
Kedua anak gadis itu kemudian saling berjabatan tangan, dan saling memperkenalkan nama masing-masing. Keduanya bahkan kemudian asyik berbincang tentang kuliahnya dan kegemaran masing-masing. Sementara pria itu menatap Ling sambil mengernyitkan kening seperti sedang bersusah payah mengingat suatu peristiwa yang sudah lama dilupakan.
Ling juga menatap wajah pria itu sambil mengernyitkan keningnya. Kini Ling menduga bahwa pria itu dulu ikut memperkosanya.
“Maaf, boleh tahu siapa suamimu sehingga kamu punya anak yang sangat mirip dengan anakku?” tanya pria itu dengan lembut.
Ling terbungkam.
Baca juga : Hanz Matthaeus dari Magelang
“Jujur saja, aku merasa pernah bertemu dengan kamu. Dan aku merasa anak gadismu adalah anakku. Asal tahu saja, sekarang aku hidup menduda karena istriku telah wafat sepuluh tahun lalu sehabis melahirkan anak kedua kami. Kalau misalnya kamu tidak punya suami, dan bersedia menikah denganku, betapa bahagianya aku.” Pria itu tiba-tiba bertutur dengan lembut.
Ling masih saja bungkam. Kali ini mulutnya betul-betul sulit digerakkan untuk menanggapi kata-kata pria itu. Trauma perkosaan masih terasa sakit di hatinya. Ling tiba-tiba ingin menyembuhkan trauma itu. Dan Ling menduga, barangkali pria itu mampu menyembuhkan trauma itu. Tapi Ling tiba-tiba sangat bimbang.
“Tadi, begitu melihat anakmu sangat mirip dengan anakku, aku yakin anakmu adalah anakku juga. Dan aku bersumpah akan berusaha membuatmu bahagia bersama anakmu, kalau kamu bersedia menikah denganku. Tragedi di masa lalu sebaiknya kita lupakan saja, dan mari kita melanjutkan hidup bersama.” Pria itu bicara lagi dengan lembut.
Ling masih saja bungkam. Ingin ia mencoba menerima ajakan pria itu. Menjadi istri seorang pria yang pernah memperkosanya? Dadanya tiba-tiba terasa meradang.
"Kesempatan untuk menghabisi pria itu ternyata datang juga," gumam Ling sambil menarik napas yang terasa sangat berat...
Kandang Roda, 05 Agustus 2021
***
Siti Siamah lahir di Grobogan 26 Desember 1977. Siti banyak menulis cerpen, puisi, novel, esai dan peneliti di Global Data Reform.
Saat ini, dia menetap di Bogor, Jawa Barat.