Kado
Aku suka mertuaku. Tapi tidak pernah suka dengan undangan makan malam mereka.
Memasuki bulan September Mas Gun, suamiku, memiliki kesibukan rutin. Mencari kado ulang tahun pernikahan orangtuanya. Sepanjang minggu di awal bulan, ia dan kedua saudaranya akan mendaftar kebutuhan atau barang yang sedang diinginkan orangtua mereka. Di sela-sela waktu kerja, mereka berdiskusi untuk memutuskan siapa memberi apa. Mereka sepakat membagi seperti itu agar jangan sampai ada kado yang sama. Biasanya, beberapa hari mendekati hari-H, mereka sudah memutuskan. Tapi, dua hari menjelang hari ulang tahun pernikahan mertua, aku mendapati Mas Gun masih kebingungan hendak memberi kado apa.
”Semakin ke sini, pilihan semakin berkurang,” katanya sambil menata meja makan.
”Kita ngomongin apa, Mas?” Suaraku beradu dengan blender.
”Kado buat Bapak-Ibu.” Aku membaca gerak bibir Mas Gun karena suaranya teredam bunyi blender. Menyadari aku tidak mendengar apa pun, ia menunggu blender berhenti melumat buah. ”Kado untuk Bapak-Ibu,” ia mengulang begitu suara blender menguap di udara.
Aku duduk setelah meletakkan segelas jus di dekat piringnya.
”Menurutmu apa yang sedang diinginkan Ba....” Mas Gun tidak melanjutkan. Ia beralih pada makanan di piring dan makan begitu sunyi. Aku dan Mas Gun, juga yang lainnya, tahu apa yang sedang diinginkan Bapak-Ibu. Tiba-tiba jus buah tanpa gula buatanku terasa semakin hambar.
Pak Ahya, ayah mertuaku, laki-laki yang hangat, jarang bicara, dan selalu tersenyum. Bu Marya, ibu mertuaku, tidak suka diam, ramah, dan menyenangkan. Aku suka mertuaku. Tapi tidak pernah suka dengan undangan makan malam mereka. Makan malam kami hanya akan membahas keinginan mereka yang belum kesampaian. Menu-menu yang disediakan tidak pernah berubah sejak pertama kali aku datang makan malam sebagai menantu. Tiram, toge, wortel, asparagus, daging merah, dan segelas susu yang rasanya aneh khusus untuk para menantu. Mereka ingin ada bayi keluar dari rahim perempuan-perempuan yang menikahi putra-putra mereka.
Aku anak pertama dengan empat adik perempuan dan satu laki-laki. Jarak kelahiran kami hanya sekitar satu sampai dua tahun saja. Ibu tidak bekerja, gaji ayah sudah cukup untuk mengenyangkan 8 perut. Ibu tidak menuntut banyak. Hanya meminta mengajak keempat adik perempuanku bermain ketika ia mengurus si bungsu. Aku tidak kerepotan. Asal tidak ada yang iri dengan mainan yang lain. Keadaan aman terkendali.
Tapi, suatu hari, saat usiaku 11 tahun, ibu menitipkan si bungsu, si anak laki-laki satu-satunya. Ibu sangat ingin ke kamar kecil. Aku membawanya ke ruang bermain, bergabung dengan kakak-kakaknya. Enam bulan usia hanya dihabiskan bersama ibu.
Wajar saja ibu tidak mau melepas si bungsu bersama kami. Ia sangat lucu, menggemaskan, dan menyenangkan. Setidaknya tidak akan berkelahi karena berebut mainan. Fokusku tertuju padanya. Aku lalai pada empat adikku hingga entah bagaimana caranya adikku yang berusia dua dan tiga tahun berebut boneka beruang. Sementara dua adikku yang lebih besar dari mereka—yang berkelahi—tidak bisa melerai. Mau tidak mau kualihkan perhatian pada empat bocah itu. Kusita boneka beruang sialan yang menjadi rebutan. Keduanya menjerit. Dua lainnya melotot padaku. Tidak pernah mereka serewel dan semenyebalkan ini.
Si bungsu terbatuk. Aku menoleh. Betapa jantungku hendak lepas dari tempatnya melihat si bungsu tergeletak dengan wajah yang pucat. Aku bergegas mendekat. Mulutnya terbuka. Kesulitan bernapas. Aku berteriak memanggil ibu. Tapi ia tidak juga muncul dari balik pintu. Kuminta adik tertuaku memanggilnya.
Ibu datang tidak lama. Bola matanya hampir menggelinding jatuh melihat si bungsu tergeletak dengan mulut terbuka dan kulit yang semakin pucat.
Sementara anaknya yang lain hanya menonton. Ibu mendudukkan si bungsu, menahan dada kemudian menepuk punggung perlahan. Si bungsu, kesayangan ibu, tidak pernah memberi reaksi apapun.
Ibu tidak marah, juga tidak bicara padaku. Bahkan, sampai akhirnya memutuskan menggantung tubuhnya di belakang rumah 11 tahun kemudian.
Ibu tersiksa begitu lama. Ayah meninggal tiga tahun berselang. Komplikasi jantung, diabetes, dan kolesterol. Sebagai anak tertua, aku tidak bisa mengurus adik-adikku. Kutitipkan mereka pada kakek-nenek. Dua di pihak ayah, dua di pihak ibu. Aku merantau.
Benar kata ibu, ”Kamu tidak becus mengurus anak,” dan aku memang tidak mau.
Suamiku juga tidak mau. Sehari sebelum pernikahan kami, Mas Gun bahkan mengantarku memasang alat kontrasepsi. Sekarang, ia juga pakai.
Ia juga anak pertama, punya dua adik. Berjarak 8 tahun dengan anak kedua, 12 tahun dengan anak terakhir. Masa remaja Mas Gun habis untuk mengurus dua adiknya, sementara kedua orangtuanya sibuk bekerja. Ia harus membuat keduanya tidur jika ingin mengerjakan yang lain. Ia tidak pernah tahu rasanya nongkrong di Sabtu malam, pulang larut, atau sekadar berkunjung ke rumah teman sebaya sepulang sekolah. Ia justru mendalami cara mengganti popok, pertolongan pertama saat tersedak, cara mendiamkan anak balita yang tantrum. Ia tidak pernah menjadi anak-anak. Tidak sempat menjadi remaja. Ia digariskan lahir sebagai laki-laki dewasa.
Bel pintu terdengar. Kulihat Mas Gun masih makan dengan sunyi. Aku beranjak ke ruang depan. Itu Sani, istri dari adik Mas Gun, Galih. Sebagai sesama menantu, hubungan kami tidak terlalu baik, juga tidak bisa dibilang buruk. Bukan karena saling iri, hanya jarang ngobrol. Melihatnya berdiri sendiri di balik pintu rumah sudah membuatku merasa heran, terlebih dengan raut yang kacau.
Kami mengajaknya ke ruang keluarga. Ia mulai dengan minta maaf karena datang sendiri dan begitu tiba-tiba. Sani dan Galih bertengkar. Terhebat selama 6 tahun pernikahan.
”Padahal aku cuma nanya, Mbak, Mas, ’kamu mau kasih kado apa untuk bapak-ibu?’ dia malah gebrak meja terus bilang, ’kamu tahu masih nanya’ sambil teriak.”
Kupikir hanya suasana di rumah tanggaku yang tidak baik jika membahas kado bapak-ibu. Sani masih bercerita. Enam tahun menikah suaminya terus meributkan masalah yang sama.
”Mas Galih mandul,” katanya. Kami dijerat bisu, tidak berani berkomentar. Bibirnya mulai bergetar. ”Ia sudah tahu sejak tiga tahun lalu. Tapi baru memberitahuku hari ini.”
Sani kembali diam. Sunyi benar-benar menguasai kami. Bahkan, aku bisa mendengar bunyi tipis perut suamiku yang belum terisi penuh karena tidak sempat menghabiskan makan malamnya.
*
Dan malam ini datang. Begitu Mas Gun memarkir mobil, mertuaku sudah berdiri di pintu. Menyambut kami. Kulihat mobil Sani dan Galih sudah terparkir di beranda. Mas Gun mendamaikan mereka malam itu. Seperti Mas Gun, Galih memutuskan merahasiakan alasan belum juga ada bayi yang tumbuh di rahim istrinya.
Kami tidak mendapati Gea, adik bungsu Mas Gun. Biasanya Gea datang paling awal. Si bungsu belum menikah. Usianya 29, bulan Desember nanti. Bu Marya tentu saja mendapatinya sebagai subyek baru untuk dicereweti soal pernikahan. Tentu saja untuk kepentingan hasratnya yang belum juga kesampaian. Di perayaan ulang tahun pernikahan mertuaku tahun lalu, Gea membawa seorang lelaki ke tengah kami. Kalau aku tidak salah ingat namanya Billy. Setelah makan malam berakhir dan lelaki itu pulang, Bu Marya marah besar. Acara makan malam hanya untuk anggota keluarga, katanya.
”Billy akan jadi bagian dari kita,” Gea membela diri.
Bukannya tenang, ibu mertuaku makin meledak. Ia tidak menyukai lelaki itu. Seorang anak band dengan tindikan di alis dan bibir. Ibu mertuaku lebih suka lelaki kantoran yang klimis. Ibu mertuaku memaksa mereka untuk putus. Gea tidak menolak, juga pasti tidak akan mengiyakan.
Aku sedikit mengenalnya dibandingkan Galih. Orang menyebutnya keras kepala, tapi yang kulihat bahwa ia hanya ingin hidup dengan caranya sendiri. Ia masih sangat belia ketika aku menikahi kakaknya. Ia sering bermalam di rumah, terutama jika ada hal yang harus diceritakan. Perempuan ini benar-benar penuh kejutan. Selalu ada cerita tidak terduga darinya.
Gea datang dengan wajah sangat cerah. Duduk diam hanya mendengarkan ketika kami berbincang sebelum makan malam. Begitu Bu Marya memanggil kami untuk makan, wajahnya semakin cerah. Tidak berkurang kadar cerahnya ketika melihat menu makanan yang selalu sama dari tahun ke tahun: tiram, toge, wortel, asparagus, daging merah, dan segelas susu yang rasanya aneh khusus untuk para menantu.
Wajahnya benar-benar semringah ketika acara buka kado. Mas Gun mengeluarkan kadonya. Bapak-Ibu membuka. Mereka tampak senang—yang hanya sekadar ekspresi mengapresiasi—begitu mengetahui mendapat sepasang jam tangan. Aku tahu Mas Gun sudah bekerja keras untuk memikirkan dan mendapat kedua benda itu. Dengan ekspresi demikian, aku merasa tersinggung. Tapi aku tetap suka mertuaku.
Mereka beralih pada kado dari Sani dan Galih. Dengan ekspresi yang sama keduanya menunjukkan gelang mutiara air laut dan sabuk dari kulit asli yang aku tahu tidak murah. Lagi-lagi aku kecewa melihat ekspresi mertuaku. Tapi aku paham. Semua yang melingkari meja makan ini tahu, bukan barang-barang itu yang mereka inginkan. Kami tahu mereka sudah menunggu terlalu lama. Kami masih membenarkan diri sendiri dengan alasan yang sama.
Baca juga : Hanz Matthaeus dari Magelang
Tiba giliran Gea. Kotak kecil berpita merah maroon. Gea masih bermuka cerah. Aku dan Mas Gun gelisah. Kejutan apa lagi yang Gea bawa kali ini. Pak Ahya menarik pita dengan pelan. Membuka penutup kotak. Diam. Ibu mertuaku penasaran. Mengambil kotak dan melihat isinya. Juga diam. Hingga tangannya bergerak untuk mengeluarkan kado dari Gea.
Test pack dengan dua garis merah melintang. Diam seperti menjalar dari satu tubuh ke tubuh lainnya. Setelah bisa menguasai keadaan, kuarahkan pandangan kepada Gea yang semakin berwajah cerah. Senyum yang sangat penuh menempel di wajahnya. Aku melewatkan satu cerita.
”Itu kado dariku dan Billy. Sayangnya, Billy sedang ada konser amal malam ini,” Gea memecah keheningan.
Mertuaku saling pandang. Entah mengapa aku merasa menang. Tapi, sekali lagi kutegaskan, aku suka mertuaku. Hanya tidak pernah suka dengan undangan makan malam mereka. Tapi malam ini aku berubah suka.
***
Riyana Rizki merupakan penulis buku Jangan Pulang jika Kamu Perempuan. Alumnus Fakultas Ilmu Budaya UGM ini pernah mengikuti Workshop Cerpen Kompas di Jakarta pada 2015. Dia terpilih sebagai Emerging Writer dalam Makassar International Writers Festival 2018. Cerita pendeknya telah dipublikasikan di beberapa media cetak dan online. Pada Maret 2019, dia menjadi satu dari 50 perempuan pekerja seni yang hadir dalam Peretas Berkumpul 01: PAKAROSO! di Poso. Selain menjadi pengajar, ia juga berkegiatan di Relawan Pendidikan NTB dan Sanggar EKS.